Napak Tilas Sejarah Pers Sumut, Mari Gugah Kesadaran Nasional
ASKARA - Di era digital ini, menapaktilasi perjuangan yang dilakukan pers di masa lalu kian penting. Mengingat selama ini perjuangan pers, khususnya di Sumut jarang sekali diekspose. Celakanya, masih secuil yang telah diabadikan ke dalam tulisan. Menapaktilasi perjuangan pers kita amatlah penting. Setidaknya untuk menggugah kesadaran nasional kita yang lahir dari pers.
Mempelajari sejarah pers seperti menjelajah ke dalam memori sejarah politik suatu bangsa, sejarah agama, sejarah budaya, sosial dan ekonomi. Pers bukan sekadar aksara sunyi. Ia justru sejarah pemikiran panjang bahkan sejarah alam yang kaya. Dengan memahami sejarah pers, generasi hari ini berpeluang memahami pergulatan pemikiran yang mengonstruksi negara kita di masa lalu, bahkan jauh sebelum negara itu ada.
Apa yang tersaji dalam berita, bukan sekadar teks semata. Dan berita-berita itu tidak hanya menampilkan perjuangan satu era tertentu. Melainkan satu rangkaian yang kaya untuk dipelajari yang berfaedah lintas era.
Dengan menilik sejarah pers, kita bisa mempelajari gerakan nasionalisme Indonesia. Jika selama ini gerakan nasionalisme kita telah dikonstruksi secara keliru baik oleh kebanyakan sejarawan Indonesia, sejarawan Belanda maupun sejarawan asing lainnya, jejak rekam pers bercerita lain.
Seperti dikatakan Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial (PUSSIS) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr. Ichwan Azhari, selama ini kita dicekoki pelajaran sejarah dengan kontruksi gerakan nasionalisme hanya berarus utama di pulau Jawa dengan tonggak-tonggak gerakan berada di sekitar tahun 1908 (Budi Utomo), 1928 (Sumpah Pemuda) dan 1945 (periode kemerdekaan). "Kontruksi beginian mereduksi gerakan nasionalisme sesungguhnya," kata Ichwan.
Seolah-olah gerakan nasionalisme, sambung Ichwan, hanya ada di organisasi tertentu dengan tokoh-tokoh yang ada di dalam organisasi itu. Seakan-akan, di luar arus utama itu tidak ada arus nasionalisme lain yang tidak berasal dari atau mengalir ke Jakarta.
Sejarah gerakan nasionalisme Indonesia, menurut Ichwan, gagal membedakan tiga kategori penting. Pertama, gerakan yang dilakukan oleh orang atau organisasi-organisasi yang sebenarnya tidak berpengaruh dalam mengkonstruksi ide nasionalisme pada banyak orang di zamannya, tapi terlanjur dibesar-besarkan dalam wacana sejarah dan kemudian dilegitimasikan negara.
Kedua, gerakan yang dilakukan oleh orang atau organisasi yang sebenarnya punya pengaruh nyata dalam menumbuhkan benih-benih nasionalisme langsung baik kepada anggotanya maupun mereka yang bukan anggotanya. Gerakan ini tidak mendapat legitimasi dari negara dan dalam banyak kasus perannya tidak disinggung dalam buku sejarah tentang gerakan nasionalisme di Indonesia.
Ketiga, gerakan pada media massa yang jauh lebih besar pengaruh penyebaran ide nasionalismenya dibanding lewat organisasi manapun. Gerakan pada media ini berlangsung baik yang terkait maupun tidak dengan organisasi-organisasi yang ada di dalam kategori dua di atas.
Ichwan mencontohkan, Budi Utomo yang terlanjur dimitoskan sebagai tokoh penting dalam gerakan nasionalisme Indonesia. Padahal, dibandingkan dengan Budi Utomo, sebetulnya Indische Vereiniging dengan tokohnya Soetan Kacahyangan asal Sumatera Utara jauh lebih hebat. Lantas, mengapa hari kebangkitan nasional justru dirujuk ke hari lahirnya Budi Utomo? Jawabannya, legitimasi negara. Dominasi negara menentukan memori bangsa sehingga menutup pemain lain yang berperan dalam periode kebangkitan nasional.
Selain itu, sambung Ichwan, organisasi lain yang jelas membawa ide nasionalisme dan menyebarkannya, tak lain, adalah Syarikat Islam. Organisasi ini memiliki perwakilan di berbagai kota di Sumatera. Dominasi negara pula yang mendepak peran penting Syarikat Islam bagi perkembangan gerakan nasionalisme di tanah air.
Gerakan nasionalisme sebenarnya menyebar di banyak tempat, di banyak organisasi yang sudah dikenal maupun belum dikenal. Tak terkecuali di media yang merupakan bagian dari organisasi ataupun media independent. Jika kita melihat sejarah pers yang muncul sejak akhir abad ke 19 dan awal abad 20, nampak gagasan itu tidak hanya menyebar di pulau Jawa, tapi juga muncul menyebar di berbagai kota dari mulai Medan, Padang, Manado ataupun Makassar. Tidak hanya di kota besar tapi juga di pelosok-pelosok desa, yang lewat media meniupkan gagasan-gagasan “nation yang dibayangkan” kepada pembaca.
Gerakan nasionalisme Indonesia, masih menurut Ichwan, serupa mozaik yang kepingannya terserak di berbagai tempat dalam berbagai gelombang waktu tanpa ada pusat, tokoh atau organisasi yang dapat diklaim sebagai pionir yang menggerakkannya.
Anderson sendiri, menurut Ichwan, terjebak melihat Jawa sebagai awal dari arus nasionalisme. Anderson gagal melihat media-medua yang terbit di Sumatera sebagai awal pergerakan nasionalisme dan bukan koran yang diterbitkan oleh Tirto Adi Suryo bernama Medan Priyayi di tahun 1907.
Ichwan menegaskan, meluruskan sejarah nasionalisme harus dimulai dari mengoreksi sejarah pers yang juga disesatkan dari sudut pandang Jawa. Pada peringatan satu abad pers Indonesia, negara memulainya dari surat kabar Tirto yang terbit 1907. Seakan sebelum tahun 1907 belum ada surat kabar di Indonesia.
Sejarah pers tidak bisa dilihat semata sebagai sejarah media, tapi yang lebih penting adalah sejarah pemikiran, termasuk sejarah nation yang dibayangkan. Karena itu sejarah nasionalisme dan kontribusi orang atas gagasan itu tidak dilacak pada organisasi, apalagi pada organisasi seperti Budi Utomo, tapi pada media cetak tempat gagasan itu diwujudkan, dikembangkan, ditularkan kemana-mana.
Menurut Ahmat Adam (1995) di Padang sudah terbit surat kabar berbahasa Melayu pertama, Bintang Timor, pada Desember 1864. Kemudian menyusul terbit di Padang beberapa surat kabar lainnya, seperti Bintang Purnama (1872), Bentara Melajoe (1877), Palita Ketjil (1886), Pertja Barat (1890?), Sinar Minangkabau (1894?), Warta Berita (1895), Tjahaja Sumatra (1897?), dan Tapian na Oeli (1900?). Memasuki abad ke-20 makin banyak surat kabar pribumi yang terbit di Padang: Insulinde (1901), Wasir Hindia (1903), Bintang Sumatra (1903), Alam Minangkerbau (1904), Taman Hindia (1904), Sinar Sumatra (1905), Binsar Sinondang Batak (1905), Al-Imam (1906), Minangkabau (1908), Warta Hindia (1908), Bintang Tionghoa (1910), Al-Moenir (1911), Oetoesan Melajoe (1911), Soenting Melajoe, koran wanita pertama di luar Jawa (1912), Soeara Rakjat (1912), Soeara Melajoe (1913), Soeloeh Melajoe (1913), Al-Achbar (1913), Saudara Hindia (1913; terbit di Bukittingi), Extra-Maloemat (1918?), Soeara Perempoean (1919), dan masih banyak lagi.
Di Sumatera Utara juga tidak kalah ramainya penerbitan pers. Menurut Mohammad Said (1976:281), dalam kurun waktu antara 1885 sampai 1942 terdapat 143 surat kabar yang pernah terbit di Sumatera Utara. Salah seorang tokoh pergerakan kebangsaan Sumut yang tidak dikenal dalam sejarah yang ditulis dari Jakarta adalah Dja Endar Moeda.
Dja Endar Moeda muncul dari sekolah warisan Willem Iskander di Padang Sidempuan dan tidak terpetakan masuk dalam arus gerakan nasionalisme di Jawa. Moeda sudah memimpin surat kabar berbahasa Indonesia bernama “Pertja Barat” sejak 1892, lebih dulu dari surat kabar “Medan Prijayi” yang terbit 1907 di Pulau Jawa.
Di samping Dja Endar Muda juga juga ada Mangaradja Salemboewe yang menjadi pemimpin redaksi Koran “Pertja Timor” yang terbit tahun 1902 di Medan. Koran pertama di Indonesia yang berani menggunakan kata "merdeka" untuk nama surat kabar tidak muncul di Jawa tapi di Medan, yakni koran Benih Merdeka yang terbit 1916.
Koran Medan dengan direktur perusahaan Tengkoe Radja Sabaroeddin, pemimpin redaksi Mohammad Samin dan redaktur Mohamad Joenoes itu blak-blakan mempunyai motto di kepala koran Benih Merdeka : “Orgaan oentoek Menoentoet Keadilan dan Kemerdekaan”. Isi koran ini sarat dengan gerakan kebangsaan, nasion yang dibayangkan bahkan secara konkret gerakan kemerdekaan, jauh sebelum para founding father berani menyatakannya terang-terangan di media massa di pulau Jawa.
Melalui media cetak di Sumatra akan nampak salah satu mozaik gerakan nasionalisme itu tumbuh dan berkembang melalui media massa. Dapat dikatakan media massa memiliki peran sentral dan kontribusi yang besar dalam gerakan nasionalisme di berbagai daerah tanpa harus dikaitkan dengan arus nasionalisme yang di mulai dan bermuara ke Jawa.
"Orang dan organisasi di balik media itu tidak disebut-sebut apa lagi ditulis dengan benar dalam sejarah yang terdistorsi oleh jawasentrisme historiografi Indonesia," pungkas Sejarawan Unimed itu.
Komentar