Sabtu, 27 April 2024 | 10:31
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Digitalisasi Keuangan Sosial Islam Menuju Ekonomi Biru Islam

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong Digitalisasi Keuangan Sosial Islam Menuju Ekonomi Biru Islam
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, dari perspektif makroekonomi, Kapitalisme telah berhasil mendorong pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata 3,4% per tahun, dari PDB Global (Produk Domestik Bruto) hanya US$ 0,5 triliun pada tahun 1753 (awal Revolusi Industri Pertama) hingga US$ 100 triliun pada 2019 (Sach, 2015; Bank Dunia, 2020).

Demikian dikatakan Prof. Rokhmin Dahuri saat memberikan mata kuliah Islamic Economics Winter Course 2022, Department of Islamic Economics, Fakultas Ekonomi dan Manajemen – IPB University, Selasa, 20 September 2022, digelar secara daring megambil tema “Digitalization Of Islamic Social Finance Towrads Islamic Blue Economy (Digitalisasi Keuangan Sosial Islam Menuju Ekonomi Biru Islam)”.

Menurutnya, Kapitalisme juga telah memfasilitasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tercermin dalam empat Revolusi Industri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memang telah membuat kehidupan manusia menjadi lebih sehat, mudah, cepat, dan nyaman.

“Namun, Kapitalisme telah gagal memberantas kelaparan, pengangguran, kemiskinan. Sebaliknya, Kapitalisme telah menyebabkan melebarnya ketimpangan sosial-ekonomi, degradasi lingkungan yang masif (misalnya polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati), dan Pemanasan Global,” ujarnya.

Hingga tahun 2021, jelasnya, menurut Bank Dunia hampir separuh penduduk dunia, lebih dari 3 miliar masih miskin dengan pengeluaran harian kurang dari US$ 2,5, dan sekitar 813 juta orang berada dalam kemiskinan parah dengan pengeluaran harian kurang dari US$ 1,90.

Sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses listrik, 900 juta tidak memiliki akses ke air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses ke sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses ke jalan raya yang tahan cuaca dan terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016).

“Menurut Bank Dunia dan UNDP, di antara 194 negara anggota PBB, hanya 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi (kaya). 103 negara (53%) adalah negara berpenghasilan menengah, dan 36 negara (19%) masih miskin,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2001 – 2004 itu.

Peta Jalan Menuju Ekonomi Biru Islam

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, kelemahan utama (kekurangan) paradigma pembangunan konvensional (Kapitalisme) dalam pembangunan ekonomi, khususnya di sektor ekonomi kelautan adalah: sebagian besar nelayan, pembudidaya ikan, dan warga pesisir lainnya masih miskin, kontribusinya terhadap perekonomian nasional. (PDB) masih rendah, ketimpangan ekonomi tinggi, dan tidak berkelanjutan.

Prof. Rokhmin Dahuri meyakini penerapan Ekonomi Islam dalam Blue Economic Development sangat mampu mengatasi semua kekurangan tersebut. “Sekaligus memanfaatkan seluruh potensi pengembangan Ekonomi Biru untuk kemajuan, kemakmuran, perdamaian, dan kebahagiaan masyarakat dunia, secara adil dan berkelanjutan,” tuturnya.

Lebih lanjut Prof Rokhmin Dahuri menguraikan, tiga konsep fundamental dari dasar pandangan dunia Islam. Ini termasuk Tauhid (Keesaan dan Keesaan Tuhan), Khilafah (wakil dari manusia) dan Adalah (keadilan) dan Falah.

Tauhid menjadi konsep inti karena dua lainnya membentuk turunan logisnya. Tauhid berarti desain dan penciptaan Alam Semesta dengan anggun oleh Yang Maha Esa yang Esa dan Unik dan bahwa alam semesta tidak muncul secara kebetulan atau kebetulan dan apa pun yang diciptakan di Alam Semesta memiliki tujuan.

Khalifah atau khalifah dan memiliki semua sumber daya yang dimilikinya. Dia adalah ciptaan Tuhan yang memiliki pengetahuan sempurna tentang karakter mereka yang tepat, positif dan negatif. Hanya Tuhan yang memiliki otoritas untuk menyediakan bagi mereka dan membimbing yang memenuhi sifat dan kebutuhan mereka.

“Tuhan dari Rahmat-Nya yang tak terbatas telah membimbing umat manusia dengan mengungkapkan hukum perilaku, nilai, keyakinan melalui rantai utusan termasuk Abraham, Musa, Yesus dan Muhammad SAW,” terang Wakil Ketua Dewan Pakar FKA-ESQ itu.

Manusia dikaruniai kehendak bebas, hak untuk menerima atau menolak hidayah, tetapi untuk mencapai kesejahteraan (falah) yang hakiki perlu menerima dan menerapkannya dalam kehidupan individu dan kolektif mereka.

“Pada saat yang sama status khalifah membuat manusia bertanggung jawab untuk hidup sesuai atau tidak dengan bimbingan dan mereka akan dihargai atau dihukum untuk hal yang sama di akhirat,” sebutnya.

Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyampaikan berdasarkan akal Ketuhanan (Dalil Naqly): (1) Islam adalah agama yang sempurna dari Allah (Tuhan) Yang Maha Kuasa (QS. 5:3); (2) Islam memberikan pedoman yang lengkap bagi kehidupan manusia tidak hanya untuk akhirat (di akhirat) tetapi juga untuk semua aspek kehidupan manusia (termasuk ekonomi dan keuangan) di dunia (QS. 2: 208; Hadits);

Dan (3) barang siapa yang tidak memutuskan (memutuskan) suatu perkara (sesuatu) dengan apa yang diturunkan Allah (Hukum Allah: Al-Qur'an dan Hadits), itulah orang-orang Kafirun (QS. 5:44), Zalimun (QS. 5:45), atau Fasiqun (QS.5:47). Patut dicatat bahwa semua Kafirun, Zalimun, dan Fasiqun akan menjadi penghuni Neraka (An-Nar) di akhirat (akhirah).

Alasan Rasional (Dalil Aqly): setiap penciptaan (makhluk) akan berhasil jika penciptaan (termasuk manusia) mengikuti petunjuk (buku pedoman) yang dibuat olehnya, dia, dan penciptanya (Allah, Tuhan Yang Maha Esa).

Alasan Empiris: pedoman hidup manusia selain Islam, yaitu Komunisme telah mati (tidak ada pengikut) sejak 1989 (runtuhnya Uni Soviet), dan Kapitalisme sebenarnya telah gagal dalam mencapai tujuan kemanusiaan yaitu: kemajuan, kemakmuran, keadilan, perdamaian, dan kelestarian lingkungan.

“Sementara itu, setelah ummat Islam menerapkan syariat Islam secara holistik (kaffah) dan sesuai dengan hadits (‘ittiba) pada masa Fathu Makkah hingga abad ke-16, ummat Islam semakin maju,” kata Wakil Ketua Dewan Pakar MN - KAHMI itu.

Sebelumnya, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan dalam 250 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata (Sach, 2018). Misalnya, pada tahun 2010, orang terkaya di dunia dari 388 orang memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh separuh bawah populasi dunia (3,3 miliar orang).

Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi setengah populasi dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi telah terjadi tidak hanya antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

“Saat ini, negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% dari energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019),” kata Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 – 2024 itu.

Sepuluh Negara dengan Konsumsi Minyak Tertinggi 

Pertumbuhan ekonomi global selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan besar-besaran yang didorong oleh keserakahan manusia, kegagalan pasar, dan kebijakan yang buruk (Weizsaker dan Wijkman, 2018). Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global.

Perubahan Iklim Global secara langsung dapat merugikan perekonomian dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad ini karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, kenaikan permukaan laut, banjir, pengasaman laut, dan gagal panen yang menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019).

“Jika suhu Bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019),” terang Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Di seluruh dunia, jelasnya, terutama di daerah perkotaan, terjadi peningkatan tingkat stres, ketegangan dan perselisihan dalam urusan manusia, disertai dengan dan peningkatan semua gejala anomie (penyakit sosial), seperti frustrasi, kejahatan, alkoholisme, kecanduan narkoba, HIV/AIDS, perceraian, pemukulan anak, penyakit mental dan bunuh diri, semuanya menunjukkan kurangnya kepuasan batin dalam kehidupan individu (Brown, 2003; Chapra, 2014).

Kemudian, ketidakadilan ekonomi (keimpangan ekonomi), pengangguran, kemiskinan absolut, dan diskriminasi politik telah banyak dilaporkan dan diyakini sebagai akar penyebab radikalisme, terorisme, dan perang (Cavanagh dan Mander, 2004; Yunus, 2017).

Pandemi Covid-19 telah mengungkap kemunafikan negara-negara maju (Kapitalis) dengan memproduksi dan menimbun vaksin yang jauh lebih besar dari kebutuhan mereka. Sementara itu, negara miskin (berkembang) kekurangan vaksin dan sangat sulit dibeli dari negara maju (Sundaram dan Chowdury, 2021).

Contohnya, Uni Eropa menimbun 3 miliar dosis vaksin (6,6 dosis/orang); AS memiliki 1,3 miliar dosis vaksin (5 dosis/orang); Kanada memiliki 450 juta dosis vaksin (12 dosis/orang); Inggris memiliki 500 juta dosis vaksin (8 dosis/orang); dan Australia menghemat 170 juta dosis vaksin (7 dosis/orang) (WHO, 2021).

Pada 7 Juli 2021 lebih dari 3,32 miliar dosis vaksin telah diberikan, dengan 85% ditujukan ke negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, dan hanya 0,3% ke negara berpenghasilan rendah. Tingkat vaksinasi Afrika (sejauh ini 4%) adalah yang paling lambat dari semua benua, dengan beberapa negara belum memulai, sementara tingkat infeksi meningkat dengan cepat.

Karena tingkat vaksinasi yang jauh lebih tinggi (> 60% total populasi, persentase minimum untuk membangun komunitas kawanan), korban kematian di negara maju (kaya) turun dari 59% dari total resmi dunia pada Januari menjadi 15% pada Mei 2021. kematian pandemi di negara-negara berkembang sekitar 85%, tetapi tetap meningkat pesat (WHO, 2021 dalam The Jakarta Post, Kamis 15 Juli 2021, hlm.7).

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara maju pada tahun 2021 meningkat dari 4,9% menjadi 5,2%. Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi negara berkembang menurun dari 6,7% menjadi 5,9% (IMF, 2021) Ketimpangan antara negara kaya vs negara miskin semakin melebar.

Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme): 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global.

Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan (UNEP, 2011).

Pada dasarnya, Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) (UNEP, 2012). “Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan” (Uni Eropa, 2019).

“Ekonomi kelautan (Blue Economy) mencakup semua kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di wilayah darat yang menggunakan bahan baku atau sumber daya alam yang berasal dari pesisir dan lautan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Selanjutnya, Ketua Perhimpunan Akuakultur Indonesia itu menjelaskan, ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menggunakan infrastruktur hijau, teknologi dan praktik, mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif, dan pengaturan kelembagaan proaktif untuk memenuhi tujuan kembar melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap ekonomi berkelanjutan. pembangunan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologis. (PEMSEA, 2011; UNEP, 2012).

Pemanasan Global telah terjadi

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Menurutnya, laut tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan lingkungan dan kelangsungan hidupnya. Terangnya, batas wilayah pesisir adalah kawasan peralihan (interface area) antara ekosistem laut dan darat. “Di mana batas ke arah darat meliputi Ekologis, yaitu kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh proses-proses kelautan seperti pasang surut, interusi air laut, dll,” katanya.

Ketua Majelis Ahli MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu menjelaskan, dalam enam tahun terakhir, jelas Bumi telah mengalami rekor suhu global terpanas sejak pengukuran dimulai pada tahun 1880 (era pra-industri), dan laju kenaikan permukaan laut telah mencapai rekor baru dengan peningkatan lebih dari dua kali lipat sejak pengukuran. dimulai pada tahun 1992 (WMO, 2022).

IPCC (2015) telah menetapkan 1,50C di atas tingkat pra-industri sebagai ambang suhu global tertinggi. Namun, WMO (2022) memprediksi, jika laju emisi CO2 dan GRK lainnya per hari ini, maka dalam lima tahun ke depan suhu global akan melebihi ambang batas. Sebenarnya, ini sudah terjadi di beberapa wilayah Bumi saat ini.

Lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan makanan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Laut tidak hanya vital bagi perekonomian dunia, tetapi juga keseimbangan dan kelangsungan hidup lingkungan (Noone et al., 2013), yaitu: 1. Ekonomi, 2. Rekreasi dan spiritual, 3. Keamanan dan pertahanan, 4. Ekologi, ddan 5. Penelitian dan pendidikan.

“Hampir tiga perempat (72%) dari planet Bumi ditutupi oleh perairan laut (5 samudera dan banyak lautan), 97% dari air bumi terletak di laut dan samudera, dan di dalam laut dan samudera terletak 97% dari permukaan Bumi. ruang hidup,” ujarnya.

Kemudian, sambungnya, zona pesisir hanya mencakup sekitar 8% dari luas daratan bumi, tetapi menghasilkan sekitar 45% sumber daya alam dan jasa lingkungan bumi (Costanza, 1998). Sekitar 65% dari populasi dunia tinggal di wilayah pesisir, dan pada tahun 2030 jumlahnya diperkirakan akan mencapai tiga perempat dari populasi dunia (UNDP, 2010). Tiga perempat kota besar dunia berada di wilayah pesisir (UNDP, 2010).

Mengutip Prager dan Earle, Rokhmin Dahuri menyatakan bahwa melalui proses ekologi, siklus biogeokimia, dan sistem pendukung kehidupan, pantai dan lautan telah menopang dan membentuk keberadaan manusia di Bumi sejak kehidupan pertama kali muncul dari laut purba.

Pantai dan lautan memainkan peran penting dalam keamanan, pertahanan, dan kedaulatan negara mana pun, terutama negara pantai. Pesisir dan lautan memiliki informasi ilmiah yang tak terhitung jumlahnya di berbagai bidang yang merupakan kunci bagi pembangunan ekonomi dan peradaban manusia yang berkelanjutan.

“Ekonomi kelautan (Blue Economy) meliputi semua kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan di wilayah darat yang menggunakan bahan baku atau sumber daya alam yang berasal dari pesisir dan lautan,” jelas Duta Besar Kehormatan Jeju Island Korea Selatan tersebut.

Ekonomi maritim meliputi transportasi laut, pembangunan dan pemeliharaan kapal, konstruksi dan operasi pelabuhan, serta industri dan jasa terkait (Stopford, 2004). Hampir tiga perempat (72%) dari planet Bumi ditutupi oleh perairan laut (5 samudera dan banyak lautan), 97% dari air bumi terletak di laut dan samudera, dan di dalam laut dan samudera terletak 97% dari permukaan bumi. ruang hidup.

Nilai ekonomi total dari 11 sektor ekonomi kelautan Indonesia diperkirakan sekitar US$ 1,338 triliun/tahun (1,4 PDB Indonesia). Total kesempatan kerja dari 11 sektor ekonomi kelautan: 45 juta orang (35% dari total angkatan kerja). Pada tahun 2018 kontribusi sektor ekonomi kelautan Indonesia terhadap PDB negara adalah 10,8% (Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, 2019).

Permasalahan Dan Tantangan Blue Economy

Terlepas dari peran dan fungsi penting pantai dan lautan, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, hampir di mana-mana, ekosistem pesisir dan laut berada di bawah tekanan pembangunan yang luar biasa. Di beberapa wilayah pesisir dan laut tekanan pembangunan tersebut telah mencapai tingkat yang mengancam kelestariannya yang tercermin antara lain pada:

(1) tingkat pencemaran perairan laut yang tinggi; (2) penangkapan ikan yang berlebihan; (3) kerusakan terumbu karang, mangrove, dan ekosistem pesisir lainnya; (4) erosi dan sedimentasi; (5) hilangnya keanekaragaman hayati; (6) konflik pemanfaatan ruang; dan (7) kemiskinan.

“Hal ini terutama terjadi di wilayah pesisir dengan intensitas pembangunan (industrialisasi) yang tinggi dan/atau kepadatan penduduk yang tinggi, seperti Teluk Jakarta, Teluk Thailand, Teluk Manila, Muara Sungai Thames, Teluk Boston, Teluk Chesapeake, dan wilayah pesisir di sekitar Timur Laut Cina,” ungkapnya.

Kecuali, lanjutnya, industri pertambangan (minyak, gas, dan mineral), industri maritim, dan wisata bahari; sebagian besar unit usaha di bidang perikanan tangkap (perikanan), budidaya pesisir dan laut, dan industri pengolahan ikan adalah usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang belum: (1) memenuhi skala ekonomi, (2) menerapkan teknologi seni (teknologi Industri 4.0), (3) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan dan Nilai Terpadu, dan (4) prinsip Pembangunan Berkelanjutan.

Akibatnya, sebagian besar unit usaha di tiga sektor ekonomi kelautan (ekonomi biru) kurang menguntungkan, kompetitif, dan berkelanjutan Kondisi bisnis ini membuat mayoritas nelayan tradisional, pembudidaya (pembudidaya ikan), pengolah dan pedagang ikan masih berkutat pada kemiskinan dan kontribusi sektor kelautan dan perikanan terhadap PDB sebagian besar negara pantai masih rendah, misalnya 2,85% untuk Indonesia.

Sebagian besar perusahaan modern dan besar di Sektor Ekonomi Biru berasal dari ibu kota nasional atau kota-kota besar, dan luar negeri (MNCs) yang membawa 'sewa ekonomi' (keuntungan) mereka ke markas mereka (nasional dan luar negeri) Hal ini pada gilirannya menghasilkan 'penghasilan regional kebocoran'.

Infrastruktur dan talenta digital yang tidak memadai di sebagian besar wilayah pesisir, pulau kecil, dan laut telah menghambat penerapan teknologi Industri 4.0 (misalnya Big Data, AI, IoT, Blockchain, Cloud Computing, drone, dan robotika) dalam pengembangan, investasi, dan pengembangan Blue Economic. dan unit bisnis.

Kurangnya akses bagi UMKM di Sektor Ekonomi Biru untuk memperoleh investasi dan modal kerja dari Sektor Perbankan (Bank credit line), infrastruktur, inovasi teknologi, pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya.

Kualitas sumber daya manusia (human capital) sebagian besar masih rendah. Selanjutnya, kebijakan politik-ekonomi umumnya kurang kondusif bagi Pembangunan Ekonomi Biru.

Teknologi Blue Economi dan Industri 4.0

Untuk mengatasi berbagai permasalahan dan tantangan diatas, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan beberapa langkah dan strategi diantaranya; pertama, menetapkan rencana tata ruang terpadu daerah dataran tinggi-pesisir-laut di wilayah tertentu.

“Sekurang-kurangnya 30% dari luas kawasan tersebut harus disisihkan sebagai kawasan lindung (konservasi), dan sisanya (<70%) dapat dialokasikan sebagai kawasan pembangunan yang dapat digunakan untuk berbagai sektor pembangunan antara lain: perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pertanian, pertambangan dan energi, kawasan industri, dan pemukiman (perumahan),” ujarnya.

Kedua, Tingkat pemanfaatan sumber daya terbarukan seperti stok ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan sumber daya hayati lainnya tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan.

Ketiga, Pemanfaatan sumber daya tak terbarukan termasuk minyak dan gas bumi, serta sumber daya mineral harus dilakukan secara ramah lingkungan, dan rente ekonominya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir, mengembangkan bahan pengganti, dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.

Keempat, Untuk menjamin produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit usaha dalam ekonomi kelautan, setiap unit usaha harus: (1) memenuhi skala ekonomi, (2) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan/Nilai Terpadu, (3 ) memanfaatkan teknologi tercanggih era Industri 4.0, dan (4) dilakukan secara ramah lingkungan dan sosial.

Kelima, Semua kegiatan pembangunan (sektor ekonomi) harus menggunakan teknologi zero-waste dan zero-emission.

Keenam, Berhenti menggunakan energi tak terbarukan (minyak, batubara, dan gas), dan gunakan energi terbarukan dan bersih termasuk matahari, angin, air (PLTA), panas bumi, bioenergi, dan energi laut (misalnya pasang surut, ombak, arus, dan OTEC).

Ketujuh, Konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem.

Kedelapan, Pengendalian polusi dengan menerapkan teknologi zero-waste, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle), instalasi pengolahan air limbah, ekonomi sirkular, dll.

Kesembilan, kegiatan desain dan konstruksi di wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika unit tertentu dari zona pesisir dan laut.

Kesepuluh, Menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi menghindari atau mengurangi risiko Perubahan Iklim Global, tsunami, badai, dan bahaya alam lainnya.

Kebijakan dan Program

Untuk itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan perlunya menetapkan perencanaan tata ruang terpadu dari daerah dataran tinggi-pesisir-laut di wilayah tertentu. Sekurang-kurangnya 30% dari luas kawasan tersebut harus ditetapkan sebagai kawasan lindung (konservasi), dan sisanya (<70%) dapat dialokasikan sebagai kawasan pembangunan yang dapat digunakan untuk berbagai sektor pembangunan antara lain: perikanan tangkap, budidaya perikanan, pariwisata, pertanian, pertambangan dan energi, kawasan industri, dan pemukiman (perumahan).

Tingkat pemanfaatan sumber daya terbarukan seperti stok ikan, hutan bakau, terumbu karang, dan sumber daya hayati lainnya tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan. 3. Eksploitasi sumber daya tak terbarukan termasuk minyak dan gas bumi, dan sumber daya mineral harus dilakukan secara ramah lingkungan, dan rente ekonominya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir, untuk mengembangkan bahan pengganti. , dan mengembangkan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan.

Untuk menjamin produktivitas, efisiensi (profitabilitas), daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan setiap unit usaha dalam ekonomi kelautan, setiap unit usaha harus: (1) memenuhi skala ekonomi, (2) menerapkan Sistem Manajemen Rantai Pasokan/Nilai Terpadu, (3) memanfaatkan teknologi tercanggih era Industri 4.0, dan (4) dilakukan secara ramah lingkungan dan sosial.

Semua kegiatan pembangunan (sektor ekonomi) harus menggunakan teknologi zero-waste dan zero-emission. 6. Berhenti menggunakan energi tak terbarukan (minyak, batubara, dan gas), dan menggunakan energi terbarukan dan bersih termasuk matahari, angin, air (PLTA), panas bumi, bioenergi, dan energi laut (misalnya pasang surut, ombak, arus, dan OTEC )

Konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem. 8.Pengendalian polusi dengan menerapkan teknologi zero-waste, teknologi 3 R (Reduce, Reuse, and Recycle), instalasi pengolahan air limbah, ekonomi sirkular, dll. Kegiatan desain dan konstruksi di wilayah pesisir dan laut harus sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika dari setiap unit zona pesisir dan laut tertentu.

Menerapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi untuk menghindari atau mengurangi risiko Perubahan Iklim Global, tsunami, badai, dan bahaya alam lainnya. Memastikan bahwa semua orang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia. yaitu pangan, sandang, perumahan, kesehatan, pendidikan, dan transportasi.

Meningkatkan akses masyarakat lokal terhadap teknologi, infrastruktur, permodalan, pasar, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. Transformasi gaya hidup, dari konsumtif, hedonis, dan rakus menjadi lebih sederhana (sederhana), tidak berlebihan, dan peduli dan berbagi. Peningkatan kapasitas masyarakat lokal dan penguatan kelembagaan. Kebijakan ekonomi politik yang kondusif bagi implementasi Ekonomi Biru dan Industri 4.0.

Komentar