Sabtu, 18 Mei 2024 | 12:33
NEWS

Zoom Meeting Harteknas IBIMA Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri: Program Pembangunan Ekonomi Maritim Ibarat Tarian Poco-Poco

Prof. Rokhmin Dahuri: Program Pembangunan Ekonomi Maritim Ibarat Tarian Poco-Poco
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Dalam rangka HUT RI ke 77 - Hari Teknologi Nasional (Harteknas), Perkumpulan Masyarakat Madein Indonesia Superconnection & Yayasan IBIMA Indonesia menggelar zoom meeting pada 17 Agustus 2022. Kegiatan bertema membangun Industri Nusantara & Madein Indonesia Superconnection, Membangun Komunitas / Masyarakat untuk menggerakkan Indonesia Emas Industri Berdikari dan Rakyat Sejahtera 2030, juga untuk menyambut Pameran INAMAS di Bali pada 22 - 29 Sept. 2022.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS mengungkapkan, pertama kali dalam sejarah NKRI sejak merdeka pada 17 Agustus 1945, alhamdulillah bangsa Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami perbaikan hampir di semua bidang kehidupan.

Contohnya, kalau pada 1945 – 1955 sekitar 70 persen rakyat Indonesia masih miskin, pada 1970 jumlah rakyat miskin menurun menjadi 60 persen.  Pada tahun 2014 mejadi 12 persen, dan tahun 2019 tinggal 9,2 persen, dan 2021 jumlah rakyat miskin 10,2% dari total penduduk.

“Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10%. Sayang, karena dampak dari pandemi Covid-19, menurut BPS pada 2021 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 10,2 % atau sekitar 27,6 juta orang,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri lewat paparannya bertema “Pembangunan Ekonomi Maritim Menuju Indonesia Emas 2045”.

Saat ini, lanjutnya, ukuran ekonomi atau PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia menurut World Bank mencapai 1,1 trilyun dolar AS atau terbesar ke-16 di dunia. Namun, bila PDB sebesar itu dibagi dengan jumlah penduduk sebanyak 276 juta orang, maka per Maret 2021 GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita.

“Artinya, hingga saat ini (sudah 77 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country).  Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI per kapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Prof Rokhmin Dahuri menerangkan saat ini Indonesia terus terjebak dalam negara dengan pendapatan menengah kebawah (Trap Middle Income Country) yaitu Klasifikasi Negara menurut Tingkat Pendapatan Versi Bank Dunia (dolar AS) dimana data terbaru Pada Juli 2021 ini, Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah dengan tingkat pendapatan 3.870 USD jauh dibawah Malaysia yang mencapai 10.580 dan Thailand yang mencapai 7.050. “Padahal pada 2019 kita sudah on the track menjadi negara dengan pendapatan menengah keatas,” terangnya.

Sementara itu, klasifikasi negara berdasarkan indeks pencapaian teknologi, Indonesia juga masih berada di kelas ketiga atau kategori Technology Adoptor Countries menduduki peringkat-99 dari 167 negara. Indonesia juga menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. “Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6 persen kue kemakmuran secara nasional, sementara 10 persen orang terkaya menguasai 74,1 persen,” katanya.

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, sambungnya, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI per kapitanya belum mencapai 12.695 dolar AS (status negara makmur).

Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. “Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” katanya.

Namun, kata Prof. Rokhmin Dahuri, yang sangat mencemaskan adalah bahwa 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation.

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 71 tahun lalu.  Padahal, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80 (UNDP, 2021).

Ironisnya, dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.  Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia (UNEP, WWF; 2020).

Banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat.  Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.

“Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula.  Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian poco-poco’,” ucap Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Yang sangat mencemaskan, kata Prof. Rokhmin Dahuri, adalah 1 dari 3 anak di Indonesia mengalami stunting. Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar-Kemenkes terdapat 30,8% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi.

“Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisiknya dan rendah kecerdasannya, a lost generation. Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. Padahal, menurut UNDP, sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” sebutnya.

Ironisnya, menurut Ketua Dewan Pakar Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), dengan status masih sebagai negara berpendapatan menengah bawah, tingginya angka kemiskinan, besarnya angka stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM; berbagai jenis SDA seperti minyak dan gas, batubara, tembaga, dan hutan sudah banyak yang mengalami overeksploitasi atau terkuras habis.

“UNEP dan WWF mengungkapkan Indonesia pun merupakan salah satu negara yang mengalami kerusakan SDA dan lingkungan terparah di dunia,” kata Koordinator Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020-2024 itu.

Kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Dari 2005 – 2014, 10% orang terkaya Indonesia menambah tingkat konsumsi mereka sebesar 6% per tahun. 

Sementara, 40% rakyat termiskin, tingkat konsumsinya hanya tumbuh 1,6% per tahun.  Bahkan pada 2014, total konsumsi dari 10% penduduk terkaya setara dengan total konsumsi dari 54% penduduk termiskin (Bank Dunia, 2014). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015). “Sekarang, menurut Institute for Global Justice, 175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing,” tuturnya.

Modal Dasar Pembangunan Indonesia

Prof. Rokhmin Dahuri membeberkan, Indonesia memiliki modal dasar pembangunan yaitu jumlah penduduk 274 juta orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040. Dimana hal tersebut merupakan potensi human capital (daya saing) dan pasar domestic yang luar biasa. Kemudian potensi Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut.

Agro-Maritim, lanjut Prof Rokhmin Dahuri, merupakan keunggulan komparatif Indonesia, yang dengan sentuhan inovasi IPTEKS, Manajemen modern, dan kebijakan politik ekonomi yang tepat dan benar dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif sekaligus sebagai prime mover pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas 2045.

“Pada tataran ekonomi mikro (perusahaan), keunggulan kompetitif tercermin pada kemampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing: (1) kualitasnya unggul (top quality), (2) harganya relatif murah, dan (3) volume produksinya dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar) domestik maupun ekspor setiap saat secara berkelanjutan,” ungkap Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45% dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 triliyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2022). Catatan: Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur tranportasi laut terpadat di dunia, 200 kapal/hari. Kemudian, rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri) mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa.

Lebih dari itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, mulai tahun 2020 hingga 2035 Indonesia mendapatkan ‘Bonus Demografi’, dimana jumlah penduduk usia produktif (15 – 64 tahun) lebih besar ketimbang jumlah penduduk berusia tidak produktif (dibawah 15 tahun dan diatas 64 tahun).  Artinya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia mampu meningkatkan kualitas SDM dan menciptakan lapangan kerja bagi penduduk usia produktif tersebut; maka produktivitas, efisiensi, dan daya saing perekonomian Indonesia pun bakal melejit.  Dan, Indonesia Emas tercapai pada 2045 adalah sebuah keniscayaan.

Sebaliknya, bila pemerintah dan rakyat Indonesia gagal melakukan dua hal tersebut, maka bukan berkah ‘Bonus Demografi’ yang bakal kita peroleh, tetapi ‘Bencana Demografi’ yang diwarnai dengan banyaknya pengangguran, khususnya pengangguran terdidik serta merebaknya kriminalitas dan baragam penyakit sosial lainnya.  “Sehingga, Indonesia akan terjebak sebagai negara-berpendapatab menengah (middle-income trap), alias bakal gagal menjadi negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat sesuai dengan cita-cita Kemerdekaan RI,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Kedua, sambungnya, adalah potensi SDA (Sumber Daya Alam) yang cukup melimpah, baik di wilayah daratan, apalagi di wilayah laut Indonesia. SDA itu ada yang berupa SDA terbarukan (renewable resources) seperti ekosistem hutan, lahan pertanian, mangrove, terumbu karang, perikanan, dan material industri bioteknologi. Dan, ada juga yang berupa SDA tidak terbarukan (non-renewable resources) termasuk minyak, gas bumi, batubara, emas, tembaga, nikel, bauksit, bijih besi, mangan, mineral tanah jarang (rare earth), dan mineral lainnya.

“Artinya, Indonesia memiliki potensi produksi (supply capacity) berbagai macam komoditas, produk, dan jasa yang dibutuhkan bukan hanya oleh bangsa Indonesia (pasar dalam negeri), tetapi juga oleh bangsa-bangsa lain di dunia (pasar ekspor, global),” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) ini.

Ketiga, secara geokonomi dan geopolitik, Indonesia berada di posisi yang sangat strategis, di jantung perdagangan global (Global Supply Chain System), diapit oleh dua Samudera (Pasifik dan Hindia) dan dua Benua (Asia dan Australia).  Dimana sekitar 45% dari seluruh komoditas dan produk (barang) yang diperdagangkan di dunia, dengan nilai ekonomi sekitar US$ 15 trilyun per tahun diangkut oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) (UNCTAD, 2018).

Sayangnya, kita bangsa Indonesia bukannya memanfaatkan (to capitalize) posisi geoekonomi yang sangat strategis itu untuk memproduksi dan mengekspor berbagai produk, barang, dan jasa.  Sebaliknya, kita gunakan secara dominan sebagai media untuk mengimpor beragam komoditas, produk, barang, dan jasa dari bangsa-bangsa lain untuk memenuhi kebutuhan nasional. Tak pelak, neraca perdagangan – RI sejak 2012 hingga 2019 selalu ‘minus’ (tekor), total nilai impor lebih besar ketimbang total nilai ekpsor.  Inilah penyebab utama dari kecilnya cadangan devisa kita, yang hanya sekitar US$ 120 milyar.

“Bandingkan dengan negara kecil, tetangga kita Thailand yang saat ini punya cadangan devisa US$ 140 milyar.  Terbatasnya cadangan devisi ini berimbas pada rendahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang utama dunia lainnya,” ucapnya.

Keempat, Indonesia merupakan ‘swalayan potensi bencana alam’.  Sekitar 70% dari seluruh gunung berapi aktif terdapat di Indonesia. Indonesia pun merupakan salah satu negara dengan potensi bencana tsunami tertinggi di dunia.  Demikian juga halnya, dengan bencana hidrometri, seperti banjir dan tanah longsor. “Ini mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” ujarnya.

Belum lagi dampak negatip akibat Pemanasan Global (Global Warming) seperti gelombang panas (heat waves), kebakaran lahan dan hutan, cuaca ekstrem, pola iklim yang tidak menentu, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), dan ledakan wabah penyakit.

“Mengapa bencana alam, saya anggap sebagai hal positip bagi kemajuan bangsa Indonesia.  Karena, negara yang secara alam kaya raya (modal dasar pembangunan yang besar dan lengkap) ini, tetapi sudah 77 tahun merdeka, masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah, diyakini kualitas SDM nya masih rendah, terutama malas dan kurang produktif akibat sebagian besar pemimpin dan rakyat Indonesia menganggap tidak ada tantangan kehidupan yang serius,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Selain itu, sambungnya, dengan alam yang kaya raya dan kultur masyarakat yang ‘gotong royong’ (saling membantu), orang malas pun masih bisa makan dan hidup relative mudah.  Tidak seperti di negara bermusim empat (ada winter, semi, summer, dan gugur) dan di masyarakat kapitalis yang sangat egois dan cuek bebek.

“Maka, hendaknya para pemimpin (elit) bangsa dan rakyat Indonesia menjadikan ‘swalayan bencana alam’ ini sebagai tantangan bersama (common challenge) untuk kita meningkatkan kualitas diri, sehingga kita mampu membantu bangsa tercinta ini lebih produktif, berdaya saing, maju, dan sejahtera secara berkelanjutan (sustainable),” tandasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Wakil Ketua Dewan Pakar MN KAHMI itu juga membahas suku bunga pinjaman negara Asean, transformasi struktural ekonomi, Bahwa:

1. Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

2. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

3. Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) Elektronik, (4) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya.

4. Pengembangan industri manufakturing baru: EBT, Semikonduktor, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.

5. Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).

Sedangkan ciri ekonomi modern, menurut Prof. Rokhmin Dahuri yakni: (1) ukuran unit usaha memenuhi economy of scale, (2) menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System), (3) menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai Supply Chain System, dan (4) mengikuti prinsip-prinsip Sustainable Development: RTRW, Optimal and Sustainable.

Perikanan Budidaya dan Perikanan Tangkap

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, perikanan budi daya (akuakultur) tidak hanya menghasilkan sumber protein hewani (ikan, krustasea, moluska, dan ivertebrata); tetapi juga bahan berbagai jenis biota perairan lain yang merupakan bahan baku (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, film, cat, pelapis badan pesawat terbang, biofuel, dan beragam industri lainnya. Bahkan, tanaman pangan (sumber karbohidrat) pun sudah berhasil dibudidayakan di ekosistem perairan laut.

Maka, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu manyampaikan saran, perlunya revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

Selanjutnya, ekstensifikasi usaha di lahan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Salin, Kepiting, dan rumput laut Gracillaria spp); maupun darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).  

Kemudian diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat, serta pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Sedangkan untu Perikanan Tangkap, Prof. Rokhmin Dahuri menganjurkan, peningkatan produktivitas (CPUE, Hasil Tangkap per Satuan Upaya) secara berkelanjutan (sustainable; Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata > US$ 300 (Rp 4,2 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

Lalu, modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 300 (Rp 4,5 juta)/nelayan//bulan;Pengembangan 2.000 kapal ikan modern (> 30 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan  Kapal Ikan > 50 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas); Intensitas (laju) penangkapan = MSY; Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing.

Sedangkan potensi lestari sumber daya ikan perairan laut indonesia menurut WPP (Wilayah Pengelolaan Perikanan), total potensi lestari SDI Laut Indonesia mencapai 12,54 juta ton, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan/JTB sebesar 80% atau 10,03 juta ton.

Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan terpelihara dengan baik, dan harga jual tinggi.

Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan dan TPI supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety). “Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) ini.

Pengembangan Pariwisata Bahari

Prof. Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu menjelaskan, potensi pariwisata bahari Indonesia sangat luar biasa. Namun pemanfaatannya belum maksimal.

“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia -- yang 77 persen  wilayahnya berupa laut, dengan 17.504 jumlah pulau, 95.181 km panjang garis pantai, dan potensi mega marine biodiversity, serta ditambah keindahan alam (pantai, pulau kecil, panorama permukaan laut dan bawah laut) yang menakjubkan --  Indonesia sejatinya memiliki potensi pariwisata bahari yang luar biasa besar,” ungkapnya.

Walaupun memiliki potensi wisata bahari yang sedemikian besar, kata Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia masih dianggap kalah dengan negara-negara tetangga dalam hal mendatangkan wisatawan mancanegara. Hal ini diungkapkan oleh Ahli Kelautan dan Perikanan, Rokhmin Dahuri.

“Kemampuan Indonesia mengemas obyek wisata masih kurang, prasarana juga masih kurang. Anda bisa lihat Wakatobi, di sana kapasitas toilet masih kurang, kebutuhan akomodasi dan penginapan juga seperti itu. Begitu juga dengan Raja Ampat, padahal kalau dilihat, Raja Ampat jauh lebih bagus daripada Halong Bay tapi kemasannya yang kurang, aksesibilitas mulai dari transportasi masih kurang memadai, ditambah lagi faktor biaya yang mahal,” terangnya.

Hingga kini, sambungnya, kontribusi sektor pariwisata bahari bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa masih kecil.  Thailand dengan panjang garis pantai 6.675 km dan hanya 35 pulau, meraup devisa dari pariwisata bahari mencapai  46,5 miliar dolar AS  pada 2015. “Sementara Indonesia, total devisa sektor pariwisata pada 2015 hanya  9 miliar dolar AS,” katanya mengutip data  World Tourism Council, 2015.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri  menyampaikan gagasan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan pariwisata bahari Indonesia. Antara lain: Pertama, Revitalisasi obyek-obyek (destinasi) wisata bahari yang ada saat ini, sehingga lebih menarik bagi wisatawan, baik wisnu maupun wisman.

Kedua, Pengembangan destinasi wisata baru yang inovatif dan atraktif. Ketiga, Product development jenis-jenis wisata bahari baru yang inovatif dan atraktif. Keempat, Promosi dan pemasaran. Kelima, Peningkatan kualitas SDM yang ramah kepada wisatawan, dan Keenam, Peningkatan konektivitas dan aksesibilitas (termasuk bebas visa), prasarana dan sarana.

Dalam penjelasannya, Prof. Rokhmin Dahuri menyayangkan kalau kunjungan wisatawan mancanegara belum terlalu banyak padahal sudah banyak upaya yang dilakukan. Salah satunya dengan menggelar acara budaya.

“Selama ini, saya lihat, mentalitas mereka yang terkait dengan pariwisata masih terbatas pada ceremonial saja, setelahnya mereka cenderung cuek. Bahkan kini banyak gelaran budaya yang tak berkelanjutan akibat hal tersebut. Habis, gelaran budaya hanya dijadikan promosi diri untuk dapat jabatan. Manusia memang harus terus diingatkan biar tidak seperti itu, kalau salah beri teguran keras, sebaliknya yang bagus tarik saja dan beri penghargaan,” terangnya.

Komentar