Jumat, 26 April 2024 | 00:49
NEWS

Prof Rokhmin Dahuri: Optimalkan Potensi Agro-Maritim Menjadi Motor Perekonomian Nasional

Prof Rokhmin Dahuri: Optimalkan Potensi Agro-Maritim Menjadi Motor Perekonomian Nasional
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Jika ekonomi maritim (kelautan) dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir, maka sektor-sektor ekonomi kelautan akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya INDONESIA EMAS (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045.

Demikian disampaikan pakar kemaritiman yang juga Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS pada Webinar 3 Road to SAEGALA 2022 ”Pemanfaatan dan Efektivitas Teknologi dalam Sistem Pertanian dan Kemaritiman Berkelanjutan” Perhimpunan Pelajar Indonesia Dunia Kawasan Amerika-Eropa, Sabtu, 21 Mei 2022).

Menurutnya, walaupun kita hampir membaik di seluruh bidang kehidupan dari Tahun 1945 sampai sekarang, tetapi kalau kita mau jujur dan serius ternyata berdasarkan kriteria Bank Dunia maupun UNDP ternyata kita baru mencapai Negara berpendapatan menengah ke bawah. Karena GNI (Gross National Income) atau Pendapatan Nasional Kotor Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS per kapita. Kalau dimasukkan dalam kriteria Bank Dunia kita berada di Lower middle income country .

Artinya, hingga saat ini (sudah 76 tahun merdeka), status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan-menengah bawah (lower-middle income country). Belum sebagai negara makmur (high-income country) dengan GNI perkapita diatas 12.695 dolar AS, yang merupakan Cita-Cita Kemerdekaan NKRI 1945.

“Padahal yang dimaksud Indonesia Emas, yaitu Indonesia makmur minimal grost income per kapita minimal 12,695. Kita 3,870. Kalau kita bandingkan dengan Negara tetangga kita potensi pembangunannya jauh lebih kecil dari kita seperti di Thailand, Malaysia mereka sudah melejit tinggi. Apalagi Singapura sudah lebih kaya dari Jepang, Korea dst,” kata Prof. Rokhmin Dahuri dalam paparannya bertema, “Efektivitas & Inovasi Teknologi dalam Sistem Pertanian dan Kemaritiman Berkelanjutan”.

Indonesia pun dihadapkan pada sejumlah tantangan dan permasalahan pembangunan. Mulai dari masih tingginya angka kemiskinan, ketimpangan kelompok penduduk kaya vs miskin, disparitas pembangunan antar wilayah, deindustrialisasi, kerusakan SDA (Sumber Daya Alam) dan lingkungan, sampai stunting, gizi buruk, dan rendahnya IPM (Indeks Pembangunan Manusia).

“Dengan garis kemiskinan sebesar Rp 472.525/orang/bulan, per Maret 2021 jumlah penduduk miskin sebesar 27 juta orang atau 10,2% jumlah penduduk Indonesia (BPS, 2021). Tetapi, atas dasar garis kemiskinan internasional sebesar 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000)/orang/bulan, jumlah orang miskin Indonesia mencapai 100 juta orang atau 37% jumlah penduduk (Bank Dunia, 2021),” ungkapnya.

Prof. Rokhmin mengkritisi kebijakan politik-ekonomi (seperti moneter, fiskal, intermediasi perbankan, RTRW, infrastruktur, ekspor-impor, R & D, dan iklim investasi) yang belum kondusif bagi kinerja sektor-sektor ekonomi Agro-Maritim. Menurutnya,pendekatan pengelolaan pembangunan dan bisnis di sektor-sektor Agro-Maritim pun masih bersifat ego sektoral dan ego disiplin ilmu. 

Karenanya, ia  menawarkan konsep (peta jalan) pembangunan agro-maritim yang dapat meningkatkan produksi produk dan jasa melebihi kebutuhan nasional (national/domestic demand).  ”Sehingga, Indonesia mampu mengkespor untuk meraih devisa dan membuat neraca perdagangan serta transaksi berjalan positif,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, ada 10 permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia untuk mewujudkan Indonesia Emas. Pertama, Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), bahwa sudah Sunatullah untuk menjadi Negara yang maju dan makmur tidak seperti dikatakan Bappenas cukup 5 1/2 persen pertahun.

“Harus lebih besar dari 7 persen. Dengan tumbuh 5 persen tidak cukup. Karena itu saya sebagai anak bangsa cukup prihatin bahwa pejabat-pejabat tinggi Negara kerjaan tidak boleh ini itu, melarang, bakar, tenggelam dst. Semua miskin dan menganggur diam, asal lingkungan lestari itu tidak benar,” tandas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Kedua, sambungnya, Pengangguran Dan Kemiskinan masih membludak. Sebagai muslim, Prof Rokhmin Dahuri mengaku tertampar, ternyata ketimpangan ekonomi terburuk ketiga di dunia. Orang miskin di Indonesia masih 100 juta. “Itulah di tanah air ini banya suami membunuh istri, ibu membunuh anak, rampok, begal. Kefakiran mendekatkan pada kesesatan dan kekufuran,” katanya.

Kemudian ketiga, Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia. Pertumbuhan ekonomi selama 2014-2019 tumbuh hanya 5 persen, tidak seperti yang kita targetkan yaitu 7 persen, karena 2020 karena Covid-19 hanya 3,5 persen. “Kita itu termasuk terburuk ketiga dalam menumpuk harta, 1 persen orang kaya menguasai 45 persen kekayaan Negara,” katanya.

Keempat, Disparitas Pembangunan Antar Wilayah. Sesuai kontek poros maritim dunia dan program kemaritiman  ini masalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Akibatnya, P. Jawa mengalami beban ekologis yang sangat berat, dengan luas tutupan hutan kurang dari 15% total luas lahannya. Padahal, untuk suatu pulau bisa berkelanjutan (sustainable), luas tutupan hutannya minimal 30% total luas lahannya (Odum, 1976; Clark, 1989).

“Maka, jangan heran, di saat musim penghujan P. Jawa dilanda banjir dan tanah longsor dimana-mana. Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah,” ujar Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) ini.

Sementara wilayah yang luasnya 85 persen seperti Kalimantan, Sulawesi, Papua hanya 21 persen. “Dari perspektif wilayah Negara kita tidak mungkin maju dan makmur kalau disparitas pembangunan antara wilayah terlalu menjomplang seperti ini. Karena biaya logistik akan mahal, Pulau Jawa ekologinya over beban, sementara sumber daya di luar Pulau Jawa mubazir,” tuturnya.

Kemudian berikutinya, Kelima, Fragmentasi Sosial-Politik Yang Mengancam Persatuan Dan Kesatuan Bangsa. Keenam, Deindustrialisasi. Suatu keadaan dimana ditenggarai kontribusi manufakturingnya sudah menurun, tetapi pendapatan perkapita penduduknya belum mencapai 1,695 Dolar AS. “Lihat tahun 1996 jaman Pak Harto akhir itu kontribusi sektor manufacturing hampir 30% memenuhi syarat minimal 30%, sekarang tinggal 19%,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selanjutnya, Ketujuh, Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah; Kedelapan, Inovasi, Daya Saing & IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Rendah; Kesembilan, Kerusakan Lingkungan & SDA, dan Kesepuluh, Volatilitas & Disrupsi  Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Rusia vs Ukraina, Industry 4.0, dan Pandemi Covid-19).

Di era dunia yang ‘highly interconnected’ (berkat teknologi transportasi, komunikasi, dan digital) dan Globalisasi; bangsa-bangsa yang maju, makmur, dan berdaulat adalah mereka yang mampu membangun perekonomiannya berbasis pada keunggulan kompetitif (competitive advantages) (Porter, 2007; Stiglitz, 2002; dan Krugman, 2018). “Keunggulan kompetitif akan lebih mudah, murah, dan cepat dibangun atas dasar keunggulan komparatif (comparative advantage) yang dimiliki suatu negara-bangsa (Porter, 2007),” ungkap Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Karena kondisi alam dan posisi geoekonomi, terangnya, Agro-Maritim merupakan keunggulan komparatif Indonesia, yang dengan sentuhan inovasi IPTEKS, Manajemen modern, dan kebijakan politik ekonomi yang tepat dan benar dapat ditransformasi menjadi keunggulan kompetitif sekaligus sebagai prime mover pembangunan ekonomi yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable) menuju Indonesia Emas 2045.

Pada tataran ekonomi mikro (perusahaan), keunggulan kompetitif tercermin pada kemampuan perusahaan tersebut dalam menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang berdaya saing: (1) kualitasnya unggul (top quality), (2) harganya relatif murah, dan (3) volume produksinya dapat memenuhi kebutuhan konsumen (pasar) domestik maupun ekspor setiap saat secara berkelanjutan.

Menteri kelautan dan perikanan di era Kabinet Gotong Royong  memaparkan berbagai hal terkait Peran Strategis Agro-Maritim Bagi Kemajuan, Kesejahteraan, dan Kedaulatan Indonesia, antara lain:

1. Sebagai negara agraris tropis dan kepulauan terbesar di dunia, yang 75% wilayahnya berupa laut, Indonesia memiliki potensi pembangunan ekonomi Agro-Maritim yang sangat besar yang hingga kini belum dimanfaatkan secara optimal.

2. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan demand terhadap berbagai jenis SDA, produk, dan jasa-jasa lingkungan (environmental services).  Maka, peran Agro-Maritim bakal semakin penting dan strategis.

3. Sejak merdeka sampai sekarang, sektor pertanian dan maritim merupakan tulang punggung (the backbone) perekonomian NKRI: (1) menyerap sekitar 30% - 60% angkatan kerja; (2) menyumbang 20% - 60% PDB; (3) 30% total nilai ekspor; (4) penentu kedaulatan pangan, energi, dan farmasi; dan (5) menciptakan multiplier effects yang luas.

4. Pada umumnya, investasi dan bisnis di sektor-sektor ekonomi Agro-Maritim cukup – sangat menguntungkan, dengan modal yang relatif kecil, relatif mudah dikerjakan oleh kebanyakan rakyat (its not a rocket science), menyerap banyak tenaga kerja, dan berkelanjutan (sustainable). Mengatasi pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial-ekonomi.

5. Sebagian besar aktivitas ekonomi sektor Agro-Maritim berlangsung di wilayah perdesaan, pesisir, pulau kecil, laut, dan perbatasan.”Maka kalau Agro-Maritim benar-benar dikelola dengan benar tentunya akan mengurangi problema yang dinamakan disparitas pembangunan (kesejahteraan) antar wilayah,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020- 2024 itu.

6. Lokasi NKRI secara geoekonomi dan geopolitik sangat strategis (Pusat Lalu Lintas Perdagangan Global atau Global Supply and Value Chain Network), dimana 45% total barang (komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia dengan nilai US$ 15 triliun/tahun diangkut dengan ribuan kapal melalui laut Indonesia; dan gugusan pulau Nusantara merupakn choke points transportasi laut dari Samudera Pasifik ke S. Hindia, dan sebaliknya.

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tiga perempat wilayahnya berupa laut dengan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) dan jasa-jasa lingkungan kelautan (potensi pembangunan) yang sangat besar, yang sampai sekarang belum didayagunakan secara optimal. Sangat logis bila pemerintah ‘Kabinet Kerja Jilid 2’ bakal lebih mengoptimalkan sektor-sektor ekonomi maritim (kelautan) sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru untuk mensejahterakan seluruh rakyat indoensia secara adil dan berkelanjutan.

Sebagian besar investasi dan bisnis (usaha) di sektor-sektor ekonomi Agro-Maritim dilakukan secara tradisional dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, kurang produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan. Masih banyak nelayan, petani, dan pelaku usaha AGRO-MARITIM lainnya masih miskin, dan kontribusi Agro-Maritim bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Usaha ekonomi Agro-Maritim tradisional bercirikan: (1) tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale), (2) tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System, (3) tidak menggunakan teknologi mutkahir (state of the art technology) pada setiap rantai pasok, dan (4) tidak berpedoman pada prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Posisi Petani dan Nelayan dalam “Sistem Bisnis Agro-Maritim” sangat tidak diuntungkan. “Umumnya jiwa nasionalisme nya itu payah. Tidak bekerjasama dengan UMKM, kontribusi untuk kemajuan masih minimal, gaji karyawannya kecil. Ironinya, orang-orang terkaya di bidang kelapa sawit gaji pekebunnya RP5 juta, padahal bekerja sudah 20 tahun,”

Perusahaan-perusahaan besar dan modern (BUMN, Swasta Nasional, maupun MNC/asing) Agro-Maritim yang sangat produktif, efisien, berdaya saing, dan berkelanjutan; kurang bekerjasama dengan UMKM; dan kontribusinya bagi kemajuan, kemakmuran, dan kedaulatan bangsa (seperti kesejahteraan karyawan, kapasitas inovasi, PDB, dan nilai ekspor) belum signifikan. Bahkan sebaliknya, terjadi ‘regional leakage’.

Selain itu, infrastruktur dan sarana pembangunan Agro-Maritim belum memadai. Lalu dukungan inovasi IPTEKS bagi proses perencanaan, pelaksanaan, dan MONEV pembangunan; dan investasi dan bisnis di Agro-Maritim masih rendah.Pada umumnya, kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, work ethics, dan akhlak) masih rendah. Belum ada Konsep (Road Map, Blueprint Pembangunan) Agro-Maritim yang holistik dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan.

RTRW umumnya tidak memihak sektor pertanian, perikanan, dan konservasi . Alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian; Belum ada “Sistem Logistik Nasional Agro-Maritim” (maritime logistics and inter-island connectivity).

Dukungan fiskal untuk pembangunan Agro-Maritim sangat rendah, dibandingkan dengab potensi ekonominya.  Contoh APBN KKP 2021 hanya Rp 6 trilyun, dan APBN Kementan 2021 hanya Rp 20 trilyun (60% nya untuk gaji pegawai); Fungsi intermediasi perbankan bagi investasi dan usaha di bidang Agro-Maritim sangat tidak memadai: suku bunga tinggi, persyaratan rumit dan susah, dan alokasi kredit sangat kecil.

Kebijakan ekspor – impor komoditas, produk, dan jasa Agro-Maritim acap kali tidak mengutamakan kepentingan nasional, seringnya malah dikalahkan oleh kepentingan para ‘MAFIA’ dan pihak asing; Pencemaran, perusakan ekosistem alam, biodiversity loss,  species extinction, dan jenis-jenis kerusakan; Perubahan Iklim Global, tsunami, bencana hidrometri, dan bencana alam lainnya; Iklim investasi dan kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business) yang kurang kondusif; Budaya maritim bangsa masih rendah; Kebijakan politik-ekonomi belum kondusif bagi kinerja (performance) Agro-Maritim.

Ada 11 sektor ekonomi kelautan yang bisa dikembangkan yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan, (5) ESDM, (6) pariwisata bahari, (7) perhubungan laut, (8) industri dan jasa maritim, (9) kehutanan pesisir (coastal forestry), (10) sumber daya wilayah pulau-pulau kecil, dan (11) SDA kelautan non-konvensional.  Total nilai ekonomi kesebelas sektor itu sekitar 1,4 triliun dolar AS/tahun, hampir 1,4 PDB Indonesia saat ini atau 8 kali APBN 2020.  “Sementara, potensi lapangan kerja yang bisa diciptakan sekitar 45 juta orang,” ujar Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Dari 11 sektor ekonomi maritim di atas, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bertangggung jawab langsung atas pemanfaatan dan pengelolaan sektor perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi perairan, dan sebagian SDA kelautan non-konvensional.  Sedangkan, untuk sektor-sektor ekonomi maritim lainnya, KKP berperan sebagai pendukung kementerian lain yang menjadi penanggung jawab terhadap masing-masing sektor.

Sementara itu, lanjut Prof. Rokhmin, potensi total nilai ekonomi sektor perikanan tangkap diperkirakan sekitar US$ 20 miliar/tahun, sektor perikanan budidaya US$ 210 miliar/tahun, sektor pengolahan hasil perikanan dan seafood US$ 100 miliar/tahun, sektor industri bioteknologi perairan US$ 180 miliar/tahun, dan sektor SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) non-konvensional sebesar US$ 200 miliar/tahun. 

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin mengatakan road map pembangunan ekonomi maritim untuk peningkatan daya saing dan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan, antara lain:

1. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan sustainability) seluruh sektor dan bisnis Agro-Maritim yang ada sekarang (existing); 2. Pengembangan sektor dan bisnis Agro-Maritim konvensional (established sectors) di wilayah pesisir dan laut baru, seperti: perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, ESDM, dan industri maritime;

3. Pengembangan sektor-sektor Agro-Maritim baru (emerging sectors), seperti: industri bioteknologi kelautan, nanoteknologi,  shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea mining, marine-agriculture, dan deep sea water industry.

4. Pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi (kemakmuran) baru di: (1) 8 Provinsi Kepulauan, (2) wilayah pesisir sepanjang ALKI, (3) pulau-pulau kecil, dan (4) wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu  berskala besar (big-push development model).

5. Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim: TOL LAUT dan konektivitas digital:

a) Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam - Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).

b) Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri

c) Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman).

d) Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.

6. Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles (Blue Economy).

7. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (zero emission, CO2) dan zero waste; 8. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.

9. Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity); 10. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya; 11. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan

12. Penguatan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS; 13. Penciptaan iklim investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif; 14. Peningkatan budaya maritim bangsa; 15. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

Komentar