Jumat, 26 April 2024 | 20:33
JAYA SUPRANA

Menghidupkan Kembali Jabatan Perdana Menteri di Indonesia

Menghidupkan Kembali Jabatan Perdana Menteri di Indonesia
Ilustrasi kursi jabatan (Dok Pixabay)

ASKARA - Ketika Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menjadi presiden Indonesia, saya memperoleh kesempatan nyantrik kenegaraan dan kebangsaan dari beliau. Pada masa itu saya amati bahwa tugas presiden Indonesia teramat sangat terlalu berat akibat merangkap jabatan eksekutif sekaligus representatif. Manajerial sekaligus seremonial.

Beban tugas kepresidenan Indonesia jelas lebih berat ketimbang tugas kepresidenan Jerman dan Singapura di mana presiden hanya mengemban tugas representatif, sementara tugas eksekutif di Jerman diserahkan kepada kanselir dan di Singapura sama dengan Malaysia diserahkan kepada perdana menteri.

Sejak Joko Widodo atau Jokowi terpilih oleh rakyat untuk menjadi presiden keempat Indonesia, beliau menugaskan Luhut Binsar Panjaitan untuk berperan multi rangkap sebagai:

1. Wakil Ketua Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional;
2. Koordinator PPKM Wilayah Jawa-Bali; 
3. Ketua Tim Nasional Peningkatan Penggunaan Produk dalam Negeri;
4. Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan 15 Danau Prioritas Nasional;
5. Ketua Tim Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia;
6. Ketua Komite Kereta Cepat Jakarta-Bandung;
7. Ketua Dewan Sumber Daya Air Nasional;
8. Ketua Bidang Dukungan Penyelenggaraan Acara di G-20;
9. Kepala Kantor Staf Kepresidenan;
10. Menko Polhukam ;
11. Menko Maritim dan Investasi.
Belum terhitung tugas-tugas yang diberikan secara tidak resmi oleh Presiden Jokowi kepada Luhut Binsar Panjaitan.

Menyimak fakta bahwa Presiden Jokowi menyerahkan begitu banyak jabatan dan tugas penting kepada Luhut Binsar Panjaitan sebenarnya sang putra terbaik Indonesia kelahiran Silaen, Sumatra Utara, secara de facto sudah berperan sebagai perdana menteri.

Mumpung Pilpres 2024 masih dua tahun, maka lembaga legislatif negara berkesempatan untuk meninjau demi mempertimbangkan amandemen konstitusi ketatanegaraan, memberikan peran representatif sepenuhnya kepada presiden dan peran eksekutif sepenuhnya kepada perdana menteri. Dengan demikian, sejak 2024 secara konstitusional presiden berbagi tugas dengan perdana menteri demi bukan hanya mengurangi beban tugas tetapi juga membatasi kekuasaan presiden.

Jika gagasan saya dianggap mengada-ada, silakan diabaikan saja.

Namun sebenarnya saya bukan mengada-ada sebab sejarah membuktikan bahwa selama 14 tahun sejak 1945 sampai dengan 1959 jabatan perdana menteri sudah pernah resmi secara konstitusional hadir di Republik Indonesia.

Perdana Menteri pertama dijabat oleh Sutan Syahrir, disusul Amir Sjafruddin, lalu Muhammad Hatta, kemudian Susanto Tirtoprodjo, Abdoel Halim, Mohammad Natsir, Sukiman Wirosandjojo, Wilopo, Ali Sastroamidjojo, Burhanuddin Harahap, Djoeanda Kartawijaya sebelum akhirnya dirangkap oleh Bung Karno.

Berarti secara historis-politis sebenarnya tidak melanggar konstitusi apabila mulai tahun 2024, jabatan perdana menteri dihidupkan kembali di sistem ketata-negaraan Repulik Indonesia demi mengurangi beban tugas presiden seperti yang telah terbukti de facto maupun de jure pernah nyata ditatalaksanakan sejak 1945 sampai dengan 1959.

Merdeka

Komentar