Makhluk Tangguh
Seorang teman karib bertanya, "Mbak, menurutmu aku ini pemalas, apatis, wegah berdaya upaya atau tidak?".
Aku jelas melongo. Selama bergaul dengan dia, tak pernah kulihat dia males-malesan apalagi apatis. Prinsip kami sama: yang penting bergerak, soal rezeki apa kata Gusti Allah.
Selama mau obah ya bisa mamah (selama mau bergerak ya tetap bisa makan), yen gelem ubet yo iso ngliwet (jika mau berusaha pasti bisa menanak nasi). Kami retjeh warrior yang bersedia mengejar puluhan KM demi cepek ceng, dibelain jari melepuh demi beberapa puluh ribu. Mosok dia masih nanya sih? Rupanya, dia abis diceramahin temannya yang menilai dia pemalas, nggak mau berusaha dan apatis.
Aku ngakak mendengarkan curhatannya, ketawa getir sih. Selalu ada tim penilai yang menjatuhkan mental. Ngapain mikirin lambe turah yang gak ngerti apa-apa soal struggling, bikin mental drop pun.
Aku pun pernah dinilai begitu, beberapa kali malahan. Yawis ben lah. Urip mung sawang sinawang, bahasa bulenya don't judge a book by its cover. Nyawang dan menilai itu gampang banget, modal mata dan mulut doang, gak perlu berpeluh pun.
Temanku bukan pemalas tak bertanggung jawab. Dia pekerja keras. Pencari nafkah tunggal (saat ini) dan care giver beberapa bulan lalu. Ringan? Sumpah nggak. Aku bertahun dan masih berada di posisi yang sama dengan dia saat ini. Akrobatik jangka panjang mengatur waktu, uang, pikiran dan tenaga antara merawat si sakit dan mencari nafkah. Nggak depresi lalu bunuh diri, sudah sangat bagus itu.
Kalaupun ada kekurangannya, ya wajar to. Sendirian mengatasi semua persoalan hidup, jelas kepontal-pontal. Apalagi di masa pandemi, pekerja lepas harus lebih giat banting tulang sembari membagi diri untuk anak-anak. Jika saja sehari diisi 28 jam, itu masih belum cukup untuk menyelesaikan urusan.
Selow Bulik, pegangan kita hanya satu: Gusti Allah. Cuma DIA yang nggak nyocotan. Kita kembalikan semua masalah yang tak bisa kita urus kepadaNya. Mau bagaimana lagi? Ikhtiar mati-matian sudah dilakukan, sisanya biarkan DIA yang menyelesaikan. Soal lambe turah, nggak usahlah dimasukkan kuping apalagi dipikir jeru. Wong duit beras dan duit untuk keperluan pendidikan kita upayakan sendiri kok, gak minta mak lambe turah.
Sepertinya kita harus bangga pada diri sendiri. Sanggup menerima dan menjalani APAPUN model kehidupan tanpa mengeluh (sesekali nangis sebab lelah lahir batin, yo wajar lah).
Kita tak pernah sambat saat menjadi guru, sopir, koki untuk anak-anak sekaligus pencari nafkah tunggal, apalagi ngeluh: kenapa harus aku? Kita, orang yang bersedia nguntal (menelan) bulat-bulat apa yang jadi tanggung jawab kita. Masio punya pilihan tinggal glanggang colong playu (melarikan diri dari arena pertempuran), itu tak pernah kita lakukan.
Zaman sekarang Bulik, buanyak orang menyerah pada keadaan, katok njedog njalani kesulitan hidup. Tapi kita memilih untuk bertarung, menang atau kalah urusan nanti. Jadi, bangga o pada dirimu sendiri. Jadikan cacatan dan cocotan sebagai cemeti pelecut semangat. Nggak usah baper.
Salut dan hormat tertinggi untuk semua perempuan pencari nafkah dan ibu tunggal. Makhluk tangguh pilihan Tuhan.
Rahayu Sagung Dumadi. Rahayu Kang Kapilih
Komentar