Kamis, 18 April 2024 | 20:47
OPINI

Menyelamatkan Pancasila dari Gerakan Deideologisasi yang Terus Menggerogoti: Peluang dan Tantangan

Varian baru

Menyelamatkan Pancasila dari Gerakan Deideologisasi yang Terus Menggerogoti: Peluang dan Tantangan
Dok Gerakan Pemuda Marhaenis

Di edisi sebelumnya telah dijelaskan, pasca-surutnya Sukarno gerakan desukarnoisasi yang berlangsung secara terstruktur dan sistematis masih terus terjadi. Bukan rahasia gerakan politik yang bertujuan menegasikan ketokohan dan menafikan jasa Sukarno itu berdampak sangat masif. 

Ironis, mengingat Sukarno pejuang kemerdekaan, proklamator, dan presiden pertama RI yang peran dan jasanya sangat besar untuk bangsa ini.

Di bidang ideologi, gerakan deideologisasi, varian baru "virus" desukarnoisasi mengakibatkan Pancasila selain terdistorsi dari segi istilah, juga predikat, kedudukan, fungsi, dan maknanya terdegradasi. 

Anehnya pula, gerakan deideologisasi muncul dan merebak justru pasca-reformasi. Bukti keran kebebasan yang terbuka lebar pasca-otoritarianisme Orde Baru membuat Pancasila makin lemah dan termarjinalkan. 

Mirisnya, layaknya virus Corona, gerakan deideologisasi menyebar cepat dan menyasar target tanpa pandang bulu. Siapa tidak waspada kena. Tidak peduli kelas Marhaen atau pemilik modal alias orang kaya. Kaum muda atau golongan tua. Rakyat atau pejabat. Institusi swasta atau lembaga negara, MPR salah satunya. Padahal MPR isinya kaum cerdik pandai, pula terhormat pilihan rakyat.

Contoh paling gres penggunaan kata "pilar" oleh MPR dalam program sosialisasi yang ketika pertama digulirkan tahun 2005 bernama "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". 

Keempat "pilar" dimaksud, yaitu: 1) Pancasila, 2) UUD NRI 1945, 3) NKRI, 4) Bhinneka Tungal Ika. Artinya, sama atau sederajat dengan tiga lainnya, Pancasila "pilar" juga. Sejak itulah perdebatan dimulai, pro-kontra makin luas. Apalagi sosialisasi "Empat Pilar" terus giat dilakukan.

Sosialisasi "Empat Pilar" ilegal 

Riak-riak penolakan pun mulai bermunculan. Selain memicu kontroversi istilah, masyarakat menilai sosialisasi "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara" ilegal. Hingga beberapa tahun kemudian, akhirnya UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik disahkan. Itulah dasar hukum yang melegitimasi MPR melanjutkan sosialisasi "Empat Pilar". Sebagaimana tersebut dalam Pasal 34 ayat (3b), Pancasila adalah "pilar" berbangsa dan bernegara.
 

Atas jasanya mencetuskan gagasan "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara", pada Maret 2013, Taufik Kiemas (Ketua MPR RI 2009-2014) dianugerahi gelar doctor honoris causa oleh salah satu perguruan tinggi terkemuka di Jakarta. Sejak itulah "Empat Pilar" booming dan makin gencar disosialisasikan ke berbagai daerah dan pelbagai komunitas. Metodenya pun makin beragam, seperti kongres, seminar, FGD, dan ceramah (biasanya dipadu dengan acara hiburan). 

Namun demikian perlawanan juga makin marak. Selain ramainya pemberitaan di media-media cetak dan elektronik menentang penggunaan istilah "Empat Pilar" dan sosialisasinya, protes berbagai elemen masyarakat terjadi di mana-mana. 
Antara lain unjuk rasa atau demo massa/ mahasiswa di berbagai kota, seperti Lampung, Riau, Jakarta, Yogyakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Malang, Bali. Tidak ketinggalan PBNU dan PKB.

Frasa "Empat Pilar" dibatalkan

Perlawanan juga dilakukan melalui forum ilmiah. Contohnya Kongres Pancasila IV di UGM (Juni 2012), Kongres Pancasila V di UGM (Juni 2013), Sarasehan Nasional di UGM (Agustus 2013). Selanjutnya pada November 2013 sekelompok masyarakat (MPP Joglosemar/ PSP UGM) mengajukan judicial review Pasal 34 ayat (3b) UU Nomor 2 Tahun 2011 ke MK melalui gugatan perkara Nomor 100/PUU-XI/2013. Karena Pasal/ ayat itulah yang menjadi biang muncul dan merebaknya istilah "pilar".  

April 2014 MK mengabulkan permohonan gugatan. Dengan kata lain MK membatalkan frasa "Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara". Demi hukum, praktis sejak tanggal itu istilah tersebut tidak dapat lagi digunakan. Tetapi tidak seperti Lemhannas, UGM, dan beberapa institusi negara lainnya, MPR bergeming. 
Seakan-akan sudah menjadi "brand" terkenal yang sudah melekat dan tak tergantikan, MPR memilih bertahan. Tetapi karena publik terus menekan, MPR memodifikasinya menjadi "Empat Pilar MPR RI". Segampang dan sesederhana itu.

GPM benteng Pancasila

Dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Sukarno sendiri mengatakan bahwa Pancasila adalah dasar negara. Demikian pula ditegaskan di alinea-4 Pembukaan UUD NRI 1945. Upaya mengganti istilah "dasar negara" dengan nama lain, seperti "pilar", selain mencederai nilai-nilai perjuangan dan mengingkari kesepakatan para pendiri bangsa, juga sangat-sangat berpotensi mengancam keselamatan negara. 

Pertanyaannya, kenapa MPR masih ngotot dan mati-matian mempertahankan "pilar"?! Arogansi semacam itu memunculkan spekulasi dan tanda tanya besar di balik kampanye "Empat Pilar". Ada apa?! Bukankah "pilar" tak ubahnya tiang penyangga?! Di sinilah kebangkitan Gerakan Pemuda Marhaenis (GPM) menjadi sangat penting dan tak dapat ditunda-tunda. 

Karena GPM-lah yang diharap mampu menjadi benteng, baik terselubung maupun terang-terangan setiap upaya mendeideologisasi Pancasila sebagi dasar negara. MERDEKA!!!


Komentar