Jumat, 26 April 2024 | 06:13
OPINI

Wahyu Kaprabon dan Sabdo Pandito Ratu

Wahyu Kaprabon dan Sabdo Pandito Ratu
Ilustrasi raja (Dok Pixabay)

Menurut konsep politik kekuasan berdasarkan budaya Jawa, seseorang bisa menjadi pemimpin atau penguasa publik yang tertinggi dalam sebuah negara atau menjadi raja/ratu (dalam negara kerajaan) ataupun menjadi presiden/perdana menteri (dalam negara modern berbentuk Republik) karena yang bersangkutan dipilih oleh Tuhan Yang Maha Esa melalui pemberian "Wahyu Kaprabon" (Wahyu Raja). Wahyu Kaprabon ini bisa diberikan sebelum ataupun sesudah seseorang itu mendapatkan jabatan raja/presiden.

Pemberian Wahyu Kaprabon tidak seperti cheque kosong, tetapi disertai beberapa syarat (amanah), seperti antara lain, sebagai raja atau presiden, yang bersangkutan harus memerintah secara adil; senantiasa mengedepankan kepentingan rakyatnya daripada kepentingan pribadi/keluarga ataupun kelompoknya; harus senantiasa bersikap welas asih terhadap rakyatnya, dan pemimpin harus bersikap konsisten antara perkataan dengan perbuatannya, atau dikenal juga dengan istilah "Sabdo Pandito Ratu".

Wahyu Kaprabon ini juga bersifat dinamis, artinya bisa semakin kuat ataupun sebaliknya melemah sampai akhirnya keluar dari diri yang bersangkutan (koncatan wahyu) dan berpindah kepada orang lain yang akan menjadi raja/presiden berikutnya. 

Dinamika Wahyu Kaprabon ini dapat dilihat dan dirasakan dari sikap rakyatnya terhadap raja/presiden yang bersangkutan, jika rakyatnya semakin mencintainya maka berarti raja/presiden tersebut telah melaksanakan syarat/amanah yang melekat pada Wahyu Kaprabon termaksud.

Sehingga dikatakan juga cahaya Wahyu Kaprabon semakin terang atau aura yang bersangkutan sebagai pemimpin semakin kuat dan dia semakin berwibawa di mata rakyatnya. 

Tetapi sebaliknya, jika pemimpin tersebut tidak melaksanakan syarat-syarat/amanah Wahyu Kaprabon, maka cahaya Wahyu Kaprabon itu akan melemah/meredup sampai mati, dan jika ini terjadi maka Wahyu Kaprabon tersebut akan loncat/berpindah ke orang lain yang akan menggantikan yang bersangkutan sebagai raja/Pemimpin atau dinamakan juga sebagai “Koncatan Wahyu”. 

Melemahnya Wahyu Kaprabon ini bisa dilihat dan dirasakan melalui menurunnya wibawa sang pemimpin/raja/presiden di mata rakyatnya dan berlanjut bahkan kemudian menjadi bahan sindiran dan cemoohan di kalangan rakyatnya.

Koncatan Wahyu bisa terjadi karena yang pemimpin bersangkutan tidak amanah di dalam menjalankan tugasnya sebagai raja/presiden, atau jika yang bersangkutan merasa tidak sanguup lagi melaksanakan tugasnya sebagai raja/presiden. 

Contohnya terjadi pada diri Presiden Kedua RI, Soeharto yang merasa tidak sanggup mengatasi krisis yang dialami bangsa dan negara ini pada tahun 1997(?). Lalu beliau mengundurkan diri sebagai presiden.

Salah satu syarat atau amanah yang melekat pada Wahyu Kaprabon adalah "Sabdo Pandito Ratu", yang maksudnya seorang pemimpin (apakah raja atau presiden) haruslah konsisten antara ucapannya dengan perbuatannya. 

Pada prinsipnya apapun ucapan raja/presiden haruslah terwujud di dalam kehidupan nyata di mata rakyatnya. Ucapan pemimpin tidak boleh berubah-ubah dan tidak boleh dibantah ataupun dikoreksi oleh bawahannya di depan publik. 

Sekalipun ucapan itu kadang kala keliru tetapi harus tetap diwujudkan, baru kemudian dikeluarkan lagi ucapan yang akan memperbaiki kerugian akibat kekeliruan termaksud. 

Semakin seorang pemimpin berpegang teguh pada prinsip Sabdo Pandito Ratu, maka cahaya Wahyu Kaprabon-nya akan semakin terang. Artinya dia akan semakin berwibawa dan dicintai oleh rakyatnya. 

Tetapi jika sebaliknya, ucapan sang pemimpin mencla-mencle dan berubah-ubah apalagi tidak sesuai dengan tindakan/perbuatannya, maka cahaya Wahyu Kaprabon-nya akan meredup, dan kewibawaannya di mata rakyat akan menurun bahkan jika hal ini terus terjadi maka kepecayaan rakyat terhadap diri sang pemimpin akan hilang dan dia mulai menjadi bahan sindiran dan bahan lelucon/ejekan di antara rakyatnya. 

Dan jika hal ini terus terjadi bukannya tidak mungkin akan terjadi Koncatan Wahyu dimana Wahyu Kaprabon yang ada pada dirinya akan keluar (loncat) dan berpindah ke orang lain, yang akan menggantikannya sebagai pemimpin.

Berikut ini adalah beberapa contoh ucapan dan tindakan pemimpin yang tidak sejalan dengan prinsip Sabdo Pandito Ratu:

1). Pada suatu ketika seorang pemimpin menyerukan agar rakyatnya membenci baju yang berwarna jingga buatan luar negeri, tetapi beberapa hari kemudian sang pemimpin justru membeli dan mengenakan baju impor yang berwarna jingga;

2). Pemimpin mengutarakan niatnya untuk mengubah atau merevisi sebuah peraturan, tetapi ketika bertemu/rapat dengan lembaga yang mengurusi perubahan peraturan, sang pemimpin tidak mengajukan usulannya untuk mengubah peraturan yang dimaksud.

Contoh di atas hanya berapa saja yang dikemukakan tentang tidak dipegangnya prinsip Sabdo Pandito Ratu, yang akan mengakibatkan rakyat akan menjadi tidak percaya lagi terhadap ucapan yang dikeluarkan oleh pemimpinannya.

Sehingga ketika kemudian sang pemimpin mengatakan, "Saya tidak niat dan tidak minat minum susu untuk gelas yang ke-3 (maka rakyat di dalam hatinya menyambung: …… kecuali jika diminta masak saya akan menolak”).

Artinya, jika pemimpin tidak konsisten antara ucapan dengan perbuatannya, maka rakyat akan cederung memaknai ucapan sang pemimpin secara kebalikannya, karena tidak percaya lagi.

Tulisan ini bertujuan semata-mata untuk mengingatkan (kalau seandainya lupa) agar pemimpin di negeri ini senantiasa berpegang teguh pada prinsip “Sabdo Pandito Ratu” yang dikenal dalam budaya Politik Jawa, agar tercegah terjadinya “Koncatan Wahyu”.

 

Jakarta, 18 Maret 2021
Muchyar Yara
Dosen HTN-FHU (Pensiun)

Komentar