Kamis, 02 Mei 2024 | 04:47
OPINI

Memudarnya Demokrasi Amerika Serikat

Memudarnya Demokrasi Amerika Serikat
Kerusuhan Gedung Capitol (Dok Reuters)

Ketika menyaksikan pelantikan Joe Biden dan Kamala Harris, Rabu (20/1) di Gedung Capitol Hill, saya segera membayangkan beban berat yang akan diemban Presiden dan Wakil Presiden AS yang baru tersebut. Mereka mewarisi ekonomi yang benar-benar compang-camping. Sebagai gambaran, Trump merupakan presiden pertama sejak 1939 yang mengakhiri pemerintahannya dengan pertumbuhan negatif penyerapan tenaga kerja (The Jakarta Post, 20/1). Tapi bukan itu tantangan terberatnya.

Sebagaimana disorot Joe Biden secara lebih tegas dalam pidato pelantikannya, masalah terbesar yang mesti diatasi pemerintahannya adalah demokrasi yang tak jelas lagi batas-batas, garis demarkasi atau rambu-rambunya. Dengan kata lain, Joe Biden dan Kamala Harris mewarisi sebuah demokrasi yang “kebablasan” dan dengan itu semakin terang kerapuhan demokrasi sebagai sebuah sistem politik, bahkan di sebuah negara yang mengklaim diri “puncak pencapaian peradaban dunia”.

Masyarakat yang Tebelah

Dalam pidato pelantikannya, Biden berjanji akan menjadi presiden bagi semua warga AS. Janji tersebut semakin menegaskan opini global saat ini bahwa AS sedang mengalami keterpecahan yang parah sebagai ekses dari gaya berpolitik “adu-domba” yang diterapkan Trump dengan berlindung pada kebebasan demokrasi.

Melalui saluran-saluran komunikasi yang dimungkinkan oleh demokrasi, Trump berhasil memelihara fanatisme pendukungnya terutama golongan kulit putih kelas menengah ke bawah yang merasa tersingkir oleh pertumbuhan ekonomi yang lebih eksklusif. Trump barangkali dapat disebut sebagai salah satu politisi tercerdik dalam pemamfaat media untuk “membakar” emosi massa pendukungnya. Dengan gigih dia merawat cerita bahwa kejayaan telah dicuri dari masyarakat kulit putih dan tugasnya adalah mengembalikan kejayaan tersebut.

Karena itulah tagline pemerintahannya “Make Amerika Great Again” lebih bernuansa rasisme (white supremasi) daripada sebuah semboyan kebangsaan. Itu dilakukannya dengan klaim-klaim yang belum terbukti benar. Menurut Washington Post, sepanjang pemerintahannya Trump telah mengeluarkan tak kurang dari 25 ribu klaim palsu atau misleading. Para pendukung fanatiknya menerima begitu saja semua klaim-klaim tersebut tanpa memeriksa kebenarannya dan dengan itu mereka mengabaikan fakta-fakta kegagalan pemerintahan Trump.

Dia berhasil menggiring para pendukungnya untuk hidup dalam “echo chamber”. Maka kita bisa memahami mengapa dia tetap berhasil mengumpulkan 74 suara warga AS sekalipun fakta-fakta kegagalan pemerintahnya telah terbuka demikian terang.

Di sinilah letak kerapuhan dari demokrasi itu sendiri, bahwa tanpa bukti-bukti keberhasilan yang valid, seorang politisi tetap dapat meraih simpati besar dari masyarakat. Para politisi populis seperti Trump sepertinya memahami peluang seperti ini sehingga percaya diri mengabaikan semua kritik. Dia kukuh mempraktikkan gaya berpolitik “menambah teman sekaligus memperbesar musuh”. Untuk membangkitkan fanatisme pendukungnya, dia tak segan-segan mengeluarkan klaim yang membuat marah kelompok tertentu terutama kaum imigran.

Dalam hitungan-hitungan politik elektoral, pendekatan Trump cukup masuk akal dan telah terbukti berhasil memberinya kemenangan 4 tahun lalu. Untuk memenangani Pilpres dengan sistem electoral college yang berlaku di AS, seorang politisi tidak perlu merebut simpati masyarakat secara nasional. Dia bisa saja membakar amarah masyarakat di daerah tertentu atau golongan tertentu untuk meraih simpati daerah atau golongan lainnya yang memiliki electoral vote lebih banyak.

Menurut The US National Archive (Arsip Nasional AS), sudah ada 700 proposal yang pernah diajukan berbagai pihak ke Kongres untuk memperbaiki atau bahkan menghapus sistem Electoral College yang diterapkan AS dalam pemilihan presiden. Sistem ini dinilai tidak sesuai dengan prinsip elektoral demokrasi di mana pemenang kontestasi ditentukan berdasarkan suara terbanyak (popular vote).

Untuk memperjelas, mari kita tarik perbandingan, di Indonesia pemenang Pilpres ditentukan berdasarkan jumlah suara secara nasional yang diperoleh tiap pasangan kandidat. Dengan sistem seperti itu, one man one vote benar-benar terwajantahkan. Artinya, suara dari setiap pemegang hak pilih menentukan pemenang kompetisi. Karena itulah, margin kemenangan atau kekalahan di setiap daerah akan berpengaruh pada perolehan suara secara nasional. Misalkan pasangan kandidat tertentu kalah jumlah suara di propinsi tertentu, jumlah suara yang diperoleh kandidat tersebut di propinsi tertentu itu tetap penting untuk menambah perolehan suaranya secara nasional.

Dengan sistem electoral college di AS, perolehan suara pasangan kandidat yang kalah di sebuah negara bagian akan tidak berguna atau hangus. Pemenang menggambil semua (the winner takes all). Demikian juga dengan margin kemenangan di negara-negara bagian tertentu, tidak berpengaruh dalam penentuan kemenangan secara nasional. Tidak ada bedanya menang tipis atau menang telak di negara-negara bagian kecuali di Maine atau Nebraska.

Gaya berpolitik “adu-domba” yang diterapkan oleh Trump, dimasukkan untuk mencari peluang yang tersedia dalam celah sistem electoral college. Karena itu, semakin banyak pegiat demokrasi mengkritik sistem tersebut dan kita baru saja menyaksikan bahwa sistem tersebut justru menunjukkan dengan telak kerapuhan demokrasi yang akhirnya membelah masyarakat AS.

Bagi Joe Biden-Kamala Harris tentu bukan pekerjaan mudah untuk meyakinkan 74 juta lebih pemilih Trump untuk melangkah maju bersama. Mereka tidak mungkin mengabaikan begitu saja bahwa keterbelahan masyarakat AS sudah sedemikian dalam sebagaimana terbukti pada penyerangan gedung Capitol Hill baru-baru ini. Inilah penyerangan pertama pada Capitol dalam sejarah setelah Inggris pernah membakarnya pada tahun 1814.

 


Putu Suasta 
Alumnus UGM dan Universitas Cornell

 

 

 

 

 

Komentar