Kamis, 25 April 2024 | 06:48
OPINI

Guru

Guru
Refol Malimpu, guru yang mengabdi di pedalaman Papua (Dok Istimewa)

Tidak akan ada seorang presiden atau menteri, pun dokter serta ahli pakar kini tanpa sentuhan didikan guru. Ki Hajar Dewantara, bapak guru dalam arti sejatinya untuk bangsa ini, tidak hanya merangkum laku mendidik menjadikan bangsa ini menyongsong kemerdekaan sebagai pemimpin dengan laku teladan sebuah proses olah nilai-nilai yang diharapkan mendarah daging, tak hanya kata di mulut pintar tetapi diwujudkannya dalam tindakan yang pantas dijadikan contoh buat masyarakat.

Inilah keteladanan laku hidup di depan mesti jadi teladan, di tengah senantiasa membangun, merajut tekad kuat atau karsa dan dibelakang bila sudah lanjut usia, rendah hati mau menjadi peneguh, penyentausa gerak masyarakat. Bahwa rangkuman ini adalah proses terus menerus budi dan hati dirumus dalam nuansa rasa Jawa berbahasa Jawa, yang bukan semboyan atau slogan. Sebab slogan adalah pengerdilan kualitas isi proses menghayati nilai menjadi sekedar semboyan teriak tegas suara di mulut, namun essensi makna proses mencapainya direduksi, dikerdilkan. Lihat puisi laku hayat prosesnya secara literasi Jawa: “Ing ngarso sun tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”. Ironi dan tragisnya sebuah slogan (semboyan) terjadi karena budaya pintas ingin memintas cepat, hingga lupa bahwa hidup itu pada dasarnya sebuah proses. Coba bandingkan laku pembatinan yang: baik, benar, suci sebagai ‘nilai’ itu setelah dihayati jatuh bangun dalam pengolahan akhirnya mengendap dalam 3 sesanti Ki Hajar, Bapak pendidikan itu. Maka saat peringatan hari Guru Nasional beberapa minggu lalu, dalam syukur terima kasih untuk para guru dalam “the teachers day”, saya menerima foto Ki Hajar Dewantara disertai pesan warisan hidupnya dalam ungkapan: (bila kalian menghayati dan berterimakasih pada para gurumu), akan terwujudlah: “setiap orang adalah guru (untuk diri sendiri dan orang lain) dan setiap rumah adalah sekolah (bagi kehidupan)”. 

Betapa futuristiknya pesan mutiara itu di saat pendemi ini, semua tanpa kecuali kini menjadi guru untuk saling mengingatkan “3M” protokol kesehatan: masker, mencuci tangan dan mengambil jarak. Tiga M ini, belum lama dalam kampanye sehat di saat Covid-19 oleh Butet Kertaradjasa divisualisasikan menukik, menyapa dalam ambilan para seniman-seniman yang terus kreatif tanpa henti melukis, bernyanyi dan meneguhkan harapan dengan ajakan khas Si Butet: Ayo Mangawis (bahasa Jawa akrab) yaitu: Masker-an, Nga-doh: ambil jarak dan wisuh (cuci tangan!). Ojo lali, “jangan lupa”. 

Tepat di hari guru, kita di ajak tidak melupakan ‘pahlawan tanpa tanda jasa’, yang dinyanyikan untuk menggugah generasi now oleh Kaka (dari Slank), dengan kidung nyanyian bervisual yang menyentuh kita semua, lantaran menyadari kita ini bisa begini karena jasa guru-guru kita. Terungkap ucapan syukur dalam kalimat di kesempatan visual lilin nyala menjadi habis untuk memberikan terang sebagai berikut: “kegigihanmu mendidik tidak akan kami lupakan karena di saat gelap susah melihat, guru-guruku menjadi nyala lilin yang menerangi. Menjadi mata yang membuat kami bisa melihat jalan setapak”. You were my eyes when I could not see!

Hening merenungi hal pokok-pokok di atas, kami sewaktu Sekolah Dasar Pangudi Luhur Surakarta di tahun 1960-an, benar memahami apa yang dalam teori canggih ilmu-ilmu sosial sekarang disebut teori induksi. Maksudnya, hayatilah, alamilah lebih dahulu, baru kemudian kalian tulis dalam kalimat padat pengalaman itu. Apa itu? bila mau merasakan segarnya air, reguk minumlah karena mulut adalah anugerah alat uji dan termometer “rasa dari Tuhan”. Jangan bicara terlalu banyak mengenai minum air (yang sama dengan teori abstraksi deduksi, alias berbicara ‘tentang’, talking about, tetapi rasailah segarnya. Seperti ajakan Sang Guru di Injil Yohanes awal, ketika murid-murid pertama ingin mengenalNya, Yesus menyapa dalam ajakan ramah, “mari datanglah dan lihatlah ke pondokku…, lalu seharian para murid berada disana, induktif”.

Kami belajar rasanya berjalan kaki ke Sungai Bengawan Solo, lalu di pinggir yang tidak berbahaya, kami diajak mencelupkan kaki, merasakan air sungai menyentuh kaki kami sambil mengungkapkan bersama: “ini lho Sungai Bengawan Solo, airnya menerpa perlahan kaki kami”. Kemudian saat mesti mengarang pengalaman diarak jalan ke sana, kami menuliskannya (secara deduktif, istilah ilmiahnya), pengalaman berjalan ke sungai dan merasai dengan kaki kami, basahnya air yang dingin dari Sungai Bengawan Solo. Inilah yang menjawab salah satu persoalan negeri ini, antara mereka yang duduk di meja teoretis versus mereka yang di lapangan? Yang satu menuding, kalian ini teoretis. Sedangkan yang kedua balas menjawab, kami aktivis lapangan yang tahu rasa tanah dan debu-nya. Padahal, antara keduanya bisa saling mengisi dan menapak maju. Ambil saja pengandaian bila pengatur lajur jalan dan pemindah-mindah route dari DLLAJR yang dimeja, mendengarkan dan survey ke sopir-sopir dan pengemudi bis-bis jalanan atau mobil di lapangan untuk perubahan arah jalan…, pasti hal teori dan praxis, deduktif dan induktif itu bisa sinergi mau saling belajar rendah hati, batas antara rasionalisme: yang benar itu hasil akal budi (rasio) versus empirisme, yang benar itu hasil pengalaman, betapa jasa para guru kita, anak-anak didiknya yang kini sudah saling menjadi guru, pasti akan membuat Indonesia jauh-jauh lebih maju daripada sekarang. Tak hanya itu, saat merasa paling benar untuk dikotomi teori versus praktek pengalaman lapangan menjadi ‘mengerikan’ (ekstrim menyatakan) lantaran kelupaan kita pada jasa kegigihan mendidik guru-guru kita yang mengajari bahwa anugerah paling mulia dari Tuhan Sang Pencipta untuk manusia adalah akal budinya dan hati nuraninya, itulah yang harus menjadi panduan saat hasrat menggelegak untuk berkuasa dan serakah mau memiliki semuanya seperti Erich Fromm menegaskan dalam cara hidup having yang tidak akan stop sebelum ditangkap KPK Having life style versus being: adalah 2 cara hidup yang bertolak belakang karena yang satu disumberi ‘hasrat’. Desire mau menelan semuanya tanpa mau berbagi ke sesama, inilah having. Sedang hidup yang mau berbagi adalah being, menghayati diri bagian semesta, bagian sosialitas yang hanya bisa terus berlangsung imbangan semesta dan sesama manusia yang Sang Penciptanya bila manusia mau berbagi. Inilah sebabnya Mahatma Gandhi, Sang Guru cara hidup being itu menggali warisan nasehat dan peringatan: bahwa semesta ini tidak akan mampu memuasi orang serakah. Namun, semesta ini mampu menghidupi penghuninya, asal mau berbagi dengan sesamanya. Hasrat, sumbernya keserakahan, kelobaan pernah dilukis sebagai serigala yang karena serakah, lidahnya luka berdarah lalu didepan korbannya yang berdarah, ia melahapnya terus sampai tidak sadar bahwa itu darahnya sendiri. Akhirnya, ia mati kekenyangan darah hasratnya.

Di sini kebenaran visioner Bung Hatta untuk negeri tercinta ini bahwa hasrat, nafsu berkuasa, memiliki dan korupsi, hanya bisa ditaklukkan oleh kontrol akal budi dan nurani bangsa ini. Itulah inti sari proses mencerdaskan kehidupan bangsa Bung Hatta, Sang Guru Bangsa yang menunjuk essensi peradaban negeri satu-satunya jalan ya hanya melalui edukasi cerdas budi dan bening nurani. Hanya manusia Indonesia seperti cita-cita Hatta, Sang Guru Bangsa yang sampai tahap cerdas budi dan jernih nurani akan mampu bersama, sesama-sesama manusia Indonesia lain merajut, merancang, menenun, dengan darah dan keringat sistem hidup bersama yang adil, beradab, majemuk saling menghormati sesama yang bhineka karena religiositas sama-sama meyakini sesamanya, sama-sama kalifatullah Allah dan citra gambar Allah sendiri! Mengapa? Dalam hidup bertata negara modern, sistem adalah cara mengatur sesuatu untuk mencapai tujuan hidup bersama lebih baik: “A rational ordering of being together” dalam sebuah negara Republik Indonesia seperti dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 1945. Untuk konsep masyarakat yang pluralistik bhineka suku, agama, identitas kultural, maka dikonsepsuskan sistem politik tata negara demokrasi. Untuk ekses ekstrim laku demokrasi yang menuju anarki tanpa jernih disepakatilah oleh para pendiri bangsa yang juga guru-guru sistem negara hukum agar kepastian hukum positiflah yang diacu dan bukan kuasa liar atau anarki. 

Renung-renung di hari guru ini, menajamkan 2 hal buat kita, guagatan sadar siapa kita ini, tak lain adalah buah-buah keringat dan kegigihan pendidikan dari para guru, maka tolong menyadari agar tidak insomnia atau ‘lupa jasa mereka sebagai guru’. Yang kedua, bila Anda kini jendral, atau big boss atau merasa supreme being (untung ‘b’-nya belum angkuh menjadi ‘b’ besar), pastilah selalu mulai dari benih kecil. Guru besar, mulai dari guru kecil, lalu guru setengah besar, baru akhirnya guru besar! Tetapi tetaplah Anda pada relung tulus nurani Anda, adalah guru, sebagai mana kata dahsyat Ki Hajar, kita semua, entah besar, entah kecil, satu sama lain adalah guru bagi sesama. Mengesankan dan menyentuh, manakala di saat prihatin pandemi ini, ibu-ibu yang tinggi profesi dan gelarnya, belum lama mengakui betapa sulit, namun mulialah menjadi guru untuk anak-anaknya, yang harus WFH (work from home), lalu mengajari anak-anaknya yang SD di rumah, betapa harus sabar, betapa kini diakui mereka profesi guru itu bukan main. Ketika kesadaran kita dibangunkan, saya pun terbangun oleh kiriman murid, lagu bagus sekali di hari guru ini, yang lirik-liriknya menggores dan membuat riang bersyukur dan berterima kasih pada para guru, tersebab dinyanyikan oleh anak-anak lucu dan penuh semangat riang, yang kita butuhkan di saat pandemi ini. Hati yang gembira dan riang serta musik yang menyapa menghibur adalah obat paling mujarab bagi yang sedang sakit. Simaklah lirik-liriknya sebagai berikut:

1.  Pagiku cerahku,
    Matahari bersinar,
    Kugendong tas merahku,
    Di pundak.

2.  Slamat pagi semua,
    Kunantikan dirimu,
    Di depan kelasmu,
    Menantikan kami.

3.  Guruku tersayang,
    Guruku tercinta,
    Tanpamu, apa jadinya aku,
    Tak bisa baca tulis,
    Mengerti banyak hal,
    Guruku terima kasihku.

4.  Nakalnya diriku,
    Kadang buatmu marah,
    Namun segala maaf,
    Kau berikan, 

5.  Guruku tersayang,
    Guruku tercinta,
    Terimalah kasihku!

Saat senandung lagu indah mulai melenyap, terngiang kembali Ki Hajar Dewantara mengucap tegas: “semua akan menjadi guru, rumah menjadi sekolah!”. Terselip pula pepatah saat kami di akademi belajar latin, non scholae sed vitae discimus, artinya untuk hiduplah kita belajar dan bukan untuk sekolah! Kita belajar untuk hidup berharkat dan peduli sesama dengan bahagia!

 


Mudji Sutrisno, SJ
Budayawan, Guru
      

Komentar