Jumat, 03 Mei 2024 | 06:05
NEWS

Polisi Bongkar Klinik Aborsi yang Beroperasi Sejak 2002

Polisi Bongkar Klinik Aborsi yang Beroperasi Sejak 2002
Para tersangka klinik aborsi ilegal. (JPNN)

ASKARA - Subdit 4 Jatanras Polda Metro Jaya menangkap 10 orang terkait praktik aborsi ilegal di Jalan Percetakan Negara 3, Jakarta Pusat pada Rabu (9/9).

Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus merinci peran 10 orang tersebut, yakni inisial BK (30) sebagai dokter yang bertugas melakukan aborsi, LA sebagai pemilik klinik, NA sebagai registrasi pasien atau kasir, MM melakukan USG. Lalu, YA membantu dokter saat aborsi. Selain itu, RA sebagai penjaga klinik, ML membantu di ruang aborsi, ED sebagai cleaning service, SM berperan melayani pasien, dan RS seorang pasien yang sedang melakukan aborsi saat dilakukan penggerebekan. 

Menurut Kombes Yusri, pengungkapan itu berawal dari adanya laporan masyarakat. Rupanya klinik ilegal tersebut sudah beroperasi sejak tahun 2002. 

"Klinik ini sudah bekerja 2017 yang lalu, dulu pernah buka klinik sekitar 2002-2004 kemudian sempat tutup. Pada 2017 lalu dibuka lagi sampai sekarang. Klinik ini dibuka setiap hari kecuali Minggu," jelasnya, Rabu (23/9).

Klinik beroperasi pada pukul 07.00-13.00 WIB yang menerima lima sampai pasien setiap hari dengan omzet Rp 5-10 juta. 

"Total semuanya di dalam klinik tersebut ada sembilan orang kemudian satu lagi pasien sendiri," kata Kombes Yusri. 

Barang bukti yang diamankan yakni satu set alat vakum penyedot darah bakal janin, satu set tempat tidur untuk tindakan aborsi, satu alat tensi darah. Kemudian satu unit alat USG 3 Dimensi, satu unit alat sterilisasi, satu set tabung oksigen, satu buah nampan besi, selimut warna putih motif garis. Satu bungkus obat antibiotik Amoxicillin, satu strip obat anti nyeri Mefinal, satu strip Vitamin Etabion, dan dua buku pendaftaran. 

Atas perbuatannya, para tersangka dijerat pasal 346 KUHP dan atau pasal 348 ayat 1 KUHP dan atau pasal 194 junto pasal 75 Undang Undang RI Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dengan ancaman maksimal 10 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar. (jpnn)

Komentar