Minggu, 19 Mei 2024 | 01:32
NEWS

Ini Skenario yang Terjadi Jika Seniman Diabaikan Pemerintah

Ini Skenario yang Terjadi Jika Seniman Diabaikan Pemerintah
Seniman perempuan (Dok Kompasiana)

ASKARA - Diperkirakan, ada empat skenario yang bisa terjadi jika negara gagap memulihkan krisis dan terus meminggirkan seni di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya, hilangnya peran negara dan digantikan oleh swasta dan individu.

Demikian penjelasan dari Koordinator Peneliti Kebijakan Seni dan Budaya Koalisi Seni, Ratri Ninditya, Jumat (19/6). 

"Indikatornya kita ambil dari dua sumber kegelisahan dalam ekosistem seni hari ini, yakni ruang berinteraksi virtual atau fisik dan relasi antarpelaku, yaitu ekonomi ataukah afektif. Empat skenario ini sifatnya sangat mungkin beririsan, atau terjadi secara bersamaan," kata Ratri. 

Skenario pertama, membayangkan pelaku berinteraksi hanya di ruang virtual dan digerakkan oleh motif ekonomi. Seniman sibuk di depan layar, terobsesi dengan pembuatan konten sensasional setiap hari. Namun, jumlah penonton nol, karena semua orang menjadi seniman live streaming. 

"Obsesi akan status melampaui urgensi untuk memonetisasi pertunjukan. Banyak kebutuhan dasar tidak terpenuhi, selain itu mengikuti kenaikan listrik, tarif internet akan semakin mahal, begitu pula platform streaming musik dan film," tuturnya. 

Kemudian, muncul generasi prekariat. Yakni terjebak dalam situasi tak menentu dan tanpa jaminan masa depan, yang masif tapi tidak terlacak. Kredit macet, seniman terikat utang yang tidak akan bisa terbayar.

Jika interaksi terjadi di ruang virtual namun relasinya bersifat afektif, timbul beragam komunitas yang keterikatannya tumbuh sejak sebelum pandemi. 

Mereka kemudian menyiasati mahalnya akses internet dengan membangun jaringan internet mandiri. Melalui media sosial, komunitas memperluas jaringan, memobilisasi sumber daya, dan melibatkan diri dalam jejaring serta gerakan global. Bisa jadi mereka melakukan inovasi radikal agar praktik seninya lebih ramah lingkungan, serta menemukan cara supaya interaksi daring lebih bermakna.

"Tapi, hilangnya kesempatan berkumpul dalam jumlah besar di ruang fisik mengakibatkan rendahnya rasa memiliki dan keterikatan antarkomunitas di luar lingkup lokal. Daya tawar komunitas ke kalangan di luarnya pun lemah," ucap Ratri.

Skenario ketiga ialah seni sebagai keseharian. Jika interaksi hanya dimungkinkan di ruang fisik dan relasi antarpihak bersifat afektif, desa jadi unit yang paling bisa bertahan. 

Menurut dia, desa berinovasi memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui sumber daya yang dimiliki secara komunal. Sistem ekonomi alternatif akan diterapkan di desa ini, seperti barter, dan seni bisa jadi salah satu alat tukarnya. 

Sementara jika di kota, muncul eksperimen seni partisipatif. Pelaku seni berkumpul dalam jumlah kecil untuk mendiskusikan estetika baru dan melibatkan diri dalam proses pemulihan warga. Gerakan seni radikal di lingkup lokal tumbuh. Namun, dampaknya terasa hanya dalam lingkup kecil.

Terakhir, jika seniman dan masyarakat terisolasi secara fisik dan relasinya berbasis kepentingan ekonomi, seni menjadi hiburan warga. Seniman makin akrab dengan orang sekitarnya dalam menjual keahlian seninya. 

Dalam pengamatan Ratri, banyak orang menghibur diri dengan pertunjukan berbayar dari warga sekitar atau memutar koleksi bajakan yang dikumpulkan sebelum streaming populer. 

Para tenaga teknis bekerja membangun panggung pertunjukkan berskala kecil. Perupa mendapat pekerjaan untuk menunjang usaha kecil menengah, seperti melukis mural di warung kopi atau menghias panggung seni warga. 

Namun, karena seni berfungsi sebagai hiburan semata, mayoritas seniman menampilkan karya orang lain yang sudah terkenal, sehingga hanya sedikit karya baru dihasilkan. Saat ini seni hidup selama bisa dinilai dengan uang, mengikuti selera populer, dan bersandar pada mekanisme pasar di tingkat lokal.

Dengan skenario tersebut, tidak ada cara lain jika hanya pemerintah yang mendorong masa depan seniman Indonesia di tengah pandemi Covid-19 saat ini.

"Bagaimanapun juga, inisiatif kolektif perlu dukungan negara agar bisa bertahan lebih lama. Peran negara harus dipertimbangkan dalam mendorong potensi dan keberlangsungan simpul-simpul seni di daerah, memperkuat jejaring antarsimpul, mendorong pertukaran ide dan sumber daya alam dan budaya antarwilayah, memastikan semua bisa tumbuh bersamaan," ungkap Ratri.

Ratri menilai, upaya negara mendorong kegiatan seni di masa pandemi patut diapresiasi, namun belum cukup. Prasyarat dasar yang harus dipenuhi negara terlebih dahulu adalah kebutuhan dasar pelaku seni sebagai jaminan kelangsungan hidupnya, pengakuan status seniman, dan pelindungan kebebasan berkesenian.

Adapun dukungan pemerintah untuk menjaga keberlangsungan komunitas dan meluaskan gaungnya dapat berupa pendanaan skala komunitas, pemerataan akses internet dan bekal literasi digital, serta  pengembangan akses informasi lewat media publik dan jaringan komunikasi lokal. 

Pemerintah bisa juga mengaktifkan kembali ruang berkesenian fisik dengan memberlakukan protokol kesehatan khusus, mendorong lebih banyak pihak mendukung seni, dan terus menggulirkan wacana tentang dampak penting seni bagi masyarakat.

"Sasaran kebijakan pun perlu digeser ke dinamika pergerakan di daerah, karena kota besar perlu belajar dari berbagai eksperimen yang dilakukan simpul seni budaya di pinggir dan pelosok," tuturnya.

Dengan begitu cita-cita ekosistem seni yang sehat dapat terwujud. Pelaku seni bukan saja berdaya secara finansial. Tetapi, mereka juga bisa meningkatkan kepekaan dan daya refleksi kritis dari pengalaman hidup yang terus berubah.

"Semoga kita tidak sedang menuju kenormalan baru karena sejatinya, seni budaya terus bergerak dan ‘normal’ adalah jalan buntu yang harus dihindari," kata Ratri.

Komentar