Pengaruh Komunikasi Digital pada Angka Perkawinan Usia Anak

Salma Azhari Fadhilah
Mahasiswi Komunikasi Digital dan Media Sekolah Vokasi IPB University
ASKARA - Perkawinan Usia Anak (PUA) adalah perkawinan yang terjadi pada anak-anak. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam kandungan. Isu perkawinan usia anak masih banyak terjadi di Indonesia. Bahkan, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan angka perkawinan anak tertinggi di dunia. Fenomena ini memiliki berbagai faktor penyebab, baik internal maupun eksternal.
Faktor Internal
Secara internal, PUA terjadi karena minimnya edukasi mengenai pernikahan usia anak dan dampaknya terhadap anak-anak. Hal ini menyebabkan normalisasi dalam pola pikir anak bahwa menikah di usia muda adalah hal yang wajar. Mereka cenderung hanya melihat dampak positif yang bersifat tentatif, sementara faktor seperti pergaulan bebas juga turut memengaruhi.
Edukasi mengenai pernikahan usia anak dan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) masih dianggap tabu di sebagian masyarakat. Padahal, edukasi tersebut merupakan pengetahuan dasar yang dapat membentuk batasan diri anak dalam bersikap dan mengambil keputusan.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal umumnya berasal dari lingkungan keluarga dan pola asuh. Orang tua seharusnya memiliki peran utama dalam memberikan pemahaman dan edukasi kepada anak tentang pentingnya mencegah perkawinan usia anak. Sayangnya, banyak orang tua yang belum siap secara mental maupun wawasan untuk menjalankan fungsi tersebut.
Komunikasi yang buruk antara orang tua dan anak, serta ketidakhadiran peran ayah atau ibu dalam kehidupan anak, bisa menyebabkan kekosongan emosional. Anak yang merasa tidak dicintai atau tidak diperhatikan oleh orang tuanya akan mencari sosok pengganti di luar, dan hal ini membuka celah terhadap pengaruh negatif seperti pergaulan bebas. Ketika hubungan semacam ini berujung pada kehamilan di luar nikah, maka marriage by accident (perkawinan karena kecelakaan) pun tak terhindarkan.
Menurut data UNICEF pada 2021, sekitar 20,9% anak-anak di Indonesia tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah, atau sekitar 2,9 juta anak usia dini kehilangan sosok ayah. Ini menandakan betapa pentingnya kehadiran dan peran aktif kedua orang tua.
Selain itu, faktor ekonomi dan adat istiadat juga kerap memaksa anak menikah di usia dini. Tak jarang, anak-anak tersebut juga mengalami putus sekolah.
Peran Komunikasi Digital
Melihat kondisi ini, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) memberikan harapan. Menteri PPPA menyampaikan bahwa angka perkawinan anak terus menurun dalam tiga tahun terakhir, dengan penurunan sebesar 8,74% pada tahun 2024.
Salah satu faktor yang mendorong penurunan ini adalah edukasi melalui komunikasi digital. Menurut penelitian UNICEF, mayoritas pernikahan usia anak terjadi pada kelompok usia 15–18 tahun, kelompok usia yang sangat akrab dengan media sosial. Inilah peluang strategis bagi pemerintah dan masyarakat untuk memanfaatkan media sosial sebagai sarana edukasi.
Komunikasi digital telah terbukti efektif. Banyaknya konten dan diskusi di media sosial tentang dampak negatif pernikahan dini, serta kisah-kisah traumatis, membuat sebagian besar remaja, khususnya perempuan, menjadi lebih waspada dan memilih menunda pernikahan.
Dengan pendekatan yang relevan dan bahasa yang dekat dengan kehidupan remaja, komunikasi digital dapat dijadikan strategi utama untuk menekan angka perkawinan usia anak di Indonesia.
Komentar