Sistem Kuota Hangus, Rakyat Terkuras

ASKARA - Bayar kuota internet tapi belum sempat dipakai sudah hangus itulah potret gelap dari sistem kebijakan operator seperti Telkomsel. Konsumen rugi, korporasi untung, dan negara diam. Ketika digitalisasi menjadi kebutuhan pokok, publik justru dipermainkan dalam logika dagang yang tidak adil dan minim perlindungan.
Di tengah gempuran digitalisasi dan ledakan kebutuhan internet, sistem kuota hangus yang masih dipraktikkan oleh operator seluler seperti Telkomsel adalah ironi besar. Rakyat diminta membayar paket data yang entah karena keterbatasan waktu, sinyal, atau perangkat tidak sempat terpakai sepenuhnya, lalu dibiarkan hangus begitu saja. Tidak ada pengembalian. Tidak ada kompensasi. Tidak ada pengalihan. Dan yang paling menyakitkan: tidak ada penjelasan.
Apa yang kita saksikan adalah wajah ketimpangan digital yang disahkan oleh kelengahan negara dan ketamakan pasar. Sistem kuota hangus bukanlah sekadar kekeliruan teknis. Ini adalah bentuk eksploitasi sistematis atas kebutuhan dasar masyarakat modern. Dalam pernyataan Nasim Khan, Anggota Komisi VI DPR RI, dijelaskan bahwa kerugian rakyat akibat kuota hangus mencapai Rp63 triliun per tahun. Sebuah angka yang fantastis untuk sebuah "fitur ketidakadilan" yang terus dipertahankan.
Dalam dunia normal, membayar untuk sesuatu yang tidak terpakai seharusnya dapat dikompensasikan atau dipindahkan ke periode berikutnya. Namun dalam dunia Telkomsel dan operator sejenis, logika dagang berjalan satu arah: konsumen membayar, operator untung, selesai urusan.
Telkomsel, sebagai anak perusahaan dari Telkom Group yang notabene BUMN, semestinya punya standar etika pelayanan publik yang lebih tinggi. Tapi realitasnya, mereka justru menjadi simbol dari kerakusan korporasi. Bukankah Telkomsel seharusnya jadi perpanjangan tangan negara dalam mewujudkan keadilan digital?
Kebijakan kuota hangus adalah bukti nyata bahwa korporasi lebih tertarik pada margin laba daripada menjaga hak digital warga. Kuota yang dibeli rakyat dengan uang nyata berubah jadi asap digital begitu masa berlaku lewat. Tak peduli apakah sisa kuota masih banyak atau tidak, sistem hanya peduli waktu bukan nilai yang sudah dibayar.
Dan lebih lucunya lagi, sistem ini dibungkus dalam bahasa pemasaran yang manis: “Kuota Keluarga”, “Data Sakti”, “Internet Hemat”, dan sejenisnya. Tapi di balik slogan-slogan itu, ada jebakan halus yang membuat konsumen kehilangan haknya secara diam-diam. Kita tertawa melihat promo, tapi menangis saat tahu kuotanya lenyap tanpa bekas.
Pemerintah melalui Komisi VI DPR RI sudah menyuarakan ketidakadilan ini. Namun, suara parlemen belum cukup kuat untuk mengubah sistem. Ketika suara rakyat dibisukan dalam sinyal yang hilang, dan suara dewan hanya berhenti di konferensi pers, maka oligarki digital menang dua kali mendapat uang dan lolos dari tanggung jawab moral.
Masalah ini bukan sekadar isu teknis antara konsumen dan operator. Ini adalah isu HAM digital. Internet bukan lagi barang mewah, tetapi kebutuhan pokok. Sama seperti listrik dan air, maka penggunaannya harus tunduk pada prinsip keadilan. Sistem data rollover yang memungkinkan sisa kuota dialihkan ke periode berikutnya sudah umum diterapkan di banyak negara. Tapi di Indonesia, rakyat justru dibiasakan dengan kehilangan.
Sinisme publik semakin menguat ketika melihat peran regulator yang pasif. Kementerian Kominfo, yang seharusnya menjadi wasit, justru absen dalam memberikan perlindungan. Seolah-olah, keberpihakan pada korporasi sudah menjadi norma yang diterima begitu saja. Bukankah aneh jika sebuah negara membiarkan warganya rugi Rp63 triliun per tahun hanya karena tidak adanya mekanisme rollover kuota?
Sistem kuota hangus juga membuka pertanyaan lebih besar: apakah benar negara hadir dalam urusan digital rakyat? Ataukah negara justru menjadi bagian dari mesin pendulang keuntungan dengan membiarkan praktik yang merugikan ini terus berlangsung?
Jawaban atas pertanyaan itu tergantung pada keberanian pemerintah dan parlemen. Jika mereka sungguh-sungguh membela rakyat, seharusnya ada regulasi tegas yang mewajibkan semua operator menerapkan sistem kuota akumulatif. Setiap rupiah yang dibayar rakyat harus dihargai, bukan dibiarkan lenyap seperti data dalam server tak bertuan.
Jika tidak, maka rakyat hanya akan menjadi sapi perah digital. Dibebani paket-paket mahal yang berakhir sia-sia. Dianggap pelanggan, tapi diperlakukan sebagai target keuntungan. Ini bukan era digital yang kita impikan. Ini adalah distopia digital, di mana kecepatan koneksi hanya mempercepat proses penipuan sistematis.
Ironi besar terjadi ketika negara mendorong transformasi digital, namun membiarkan rakyatnya menjadi korban dari kebijakan digital yang manipulatif. Setiap kali kuota hangus, bukan hanya data yang hilang, tetapi juga kepercayaan publik terhadap keadilan sistem.
Sudah saatnya suara-suara kritis seperti Nasim Khan tidak berhenti di ruang publik semata, tetapi diwujudkan dalam kebijakan konkret. Jika negara benar-benar berpihak pada rakyat, maka sistem kuota hangus harus dihapus. Sebaliknya, jika sistem ini tetap dipertahankan, maka jelas: kita sedang hidup dalam negara yang lebih berpihak pada korporasi daripada pada warganya sendiri.
Dan ketika itu terjadi, jangan salahkan rakyat bila mulai menyamakan Telkomsel dengan sindikat pencuri yang berseragam resmi karena kuota yang hilang tanpa pakai adalah pencurian yang dibenarkan sistem. Sistem yang diam-diam mencuri dari dompet rakyat sambil berkata: “Itu bukan masalah kami, Anda yang tidak pakai tepat waktu.” (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar