Senin, 16 Juni 2025 | 07:07
OPINI

Miras Lokal: Tradisi yang Dikriminalisasi Ketika Hukum Tak Lagi Mengayomi

Miras Lokal: Tradisi yang Dikriminalisasi Ketika Hukum Tak Lagi Mengayomi
Petugas menyita minuman tradisional (Dok Yanssen)

Oleh: Yanssen Naikofi

ASKARA - Di berbagai pelosok desa Indonesia, terutama di wilayah timur, miras lokal seperti tuak, arak, atau ciu bukan sekadar minuman. Ia adalah denyut nadi ekonomi, simbol tradisi, dan sumber penghidupan. Namun, realitas pahitnya: aparat kepolisian kerap datang dengan dalih penegakan hukum untuk menyita miras lokal tersebut, sembari "menutup mata" terhadap peredaran miras industri yang terang-terangan dijual di toko berlisensi.

Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: benarkah hukum ditegakkan demi keadilan, atau sekadar instrumen kekuasaan yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas?

Legalitas vs Realitas
Memang benar, secara hukum, produksi miras tanpa izin dianggap ilegal. Namun, perlu digarisbawahi bahwa miras lokal kerap diproduksi secara turun-temurun, dengan cara-cara tradisional yang telah lama menjadi bagian dari kehidupan sosial dan budaya masyarakat desa. Banyak kepala keluarga menyekolahkan anak hingga menjadi sarjana bahkan dosen dari hasil penjualan miras lokal. Ini bukan perkara sepele, tapi tentang keberlangsungan hidup.

Sementara itu, miras bermerek yang beredar di pusat perbelanjaan tidak pernah disentuh aparat, karena dilindungi oleh izin usaha, cukai, dan label legalitas. Padahal dari sisi risiko konsumsi berlebih atau penyalahgunaan, keduanya memiliki potensi bahaya yang setara.

Diskriminasi Penegakan Hukum
Penegakan hukum yang hanya menyasar masyarakat kecil menunjukkan adanya diskriminasi sistemik. Hukum seharusnya menjadi pelindung, bukan penindas. Ketika hukum hanya digunakan untuk memberangus penghidupan rakyat kecil tanpa solusi alternatif, maka kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum pun akan terus terkikis.

Lebih jauh, tindakan penyitaan tanpa upaya pembinaan atau pemberian solusi justru memperparah kemiskinan struktural. Padahal negara seharusnya hadir sebagai fasilitator, bukan sekadar regulator.

Budaya yang Tak Diakomodasi
Miras lokal tidak dapat dilepaskan dari konteks budaya. Di banyak tempat, ia menjadi bagian dari upacara adat, ritual keagamaan, bahkan simbol persaudaraan. Ironisnya, negara belum berhasil membuat regulasi yang mampu membedakan antara produksi miras untuk keperluan budaya dan konsumsi, dengan produksi untuk kepentingan komersial tanpa standar.

Alih-alih menyita dan memidanakan, negara seharusnya mencari jalan tengah: membantu legalisasi usaha kecil berbasis tradisi ini, sekaligus memastikan kualitas dan keamanan produknya Sehingga masyarakat merasa adil.

Perlu Pendekatan Humanis dan Solutif
Penanganan miras lokal tidak bisa diselesaikan hanya dengan razia dan penyitaan. Aparat penegak hukum harus diajak memahami konteks sosial-budaya yang melatarbelakanginya. Pemerintah daerah pun perlu turun tangan, memberikan edukasi, membantu perizinan, dan membuka akses pasar yang legal bagi produsen miras lokal. Dan jika ingin diterima oleh masyarakat maka aparat penegak hukum dan pemerintah daerah perlu membuka ruang diskusi dengan masyarakat bukan langsung mengambil tindakan dengan menyita miras lokal tanpa memperhatikan nasib masyarakat yang selama ini notabene memproduksi miras lokal sebagai mata pencarian.  

Lebih penting lagi, jika pemerintah benar-benar ingin mengurangi peredaran miras, maka fokuslah pada edukasi publik, peningkatan pengawasan konsumsi, dan pembinaan komunitas — bukan sekadar tindakan represif yang menyasar masyarakat marginal.

Kriminalisasi terhadap miras lokal adalah bentuk ketidakadilan yang nyata. Ketika tradisi, ekonomi rakyat, dan budaya diperlakukan seperti kejahatan, maka yang dilukai bukan hanya hukum, tapi juga rasa keadilan itu sendiri. Sudah saatnya negara hadir dengan kebijakan yang adil, bijak, dan memihak pada rakyat kecil — bukan pada kekuasaan dan kepentingan industri semata.

 

 

Komentar