Ketika Preman Merajalela, Petrus Jadi Romantisme Lama yang Dirindukan

ASKARA - Di negeri ini, hukum sering kali terdengar seperti puisi, indah di teks, tapi hampa di jalanan. Premanisme tumbuh subur, mulai dari terminal hingga lahan parkir minimarket. Sementara aparat sibuk berbicara soal pendekatan humanis, rakyat justru bertanya: “Apa kabar Petrus?”
Petrus, penembak misterius yang dulu menjadi momok di era Soeharto, kini bukan sekadar kisah kelam, melainkan nostalgia yang ganjil. Bukan karena rakyat haus darah, tapi karena rakyat haus ketegasan.
Warga biasa bosan melihat preman dibekuk pagi hari, viral sore hari, lalu nongkrong lagi malamnya. Mereka jenuh menyaksikan hukum yang lebih takut pada kamera ponsel ketimbang pada suara rakyat. Maka, nama Petrus pun kembali dibisikkan. Bukan sebagai solusi sah, tapi sebagai simbol rindu akan negara yang (dulu) punya nyali.
Tentu kita sadar, Petrus bukan tanpa dosa. Ia melabrak hukum, meminggirkan proses, dan mengandung aroma kekuasaan absolut. Tapi dalam logika rakyat kecil, lebih baik takut mati daripada hidup dihantui preman yang kebal hukum.
Apakah ini ajakan untuk kembali ke masa gelap? Tentu tidak. Tapi jika negara tetap membiarkan preman tampil sebagai penguasa jalanan, jangan salahkan rakyat jika mereka mulai memanggil hantu lama itu dari lorong sejarah.
Hukum yang lemah akan melahirkan dua hal: kriminal yang berani dan rakyat yang putus asa. Dan di saat keputusasaan menguat, suara untuk “Petrus jilid dua” bukan lagi sekadar satire, melainkan jeritan.
Komentar