OPINI
Dr.Rahmat Mulyana: Keluarga Sebagai Ujung Tombak Dakwah

Menyelami Al-Baqarah 133 dan Urgensi Menjaga Poros Tauhid
Oleh: Dr. Rahmat Mulyana, Wakil Rektor 1 Universitas Ummi Bogor
ASKARA - “Apakah kalian hadir ketika Ya‘qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: ‘Apa yang kamu sembah sepeninggalku?’ Mereka menjawab: ‘Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Isma‘il dan Ishaq, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya berserah diri kepada-Nya.’”
(QS. Al-Baqarah: 133)
Ayat ini bukan sekadar narasi wafatnya seorang nabi, tetapi merupakan poros teologis dan sosiologis tentang keluarga sebagai institusi pewarisan tauhid. Ya‘qub, di saat-saat terakhir hidupnya, tidak bertanya tentang harta, tanah, atau kedudukan anak-anaknya. Ia bertanya tentang apa yang mereka sembah setelah ia tiada—sebuah pertanyaan kunci dalam membangun kesinambungan peradaban tauhid.
Mengapa ini penting? Karena agama tidak diwariskan melalui darah, tetapi melalui nilai dan pendidikan. Dan arena utama dari pendidikan ini bukanlah sekolah, bukan pula masjid, melainkan rumah. Keluarga adalah madrasah pertama, tempat pertama anak mengenal Tuhan, manusia, dan dirinya sendiri.
---
Al-Qur’an dan Keluarga: Sumber Tertinggi Sistem Sosial Islam
Banyak yang tidak menyadari bahwa Al-Qur’an memiliki cakupan sangat luas dan mendalam tentang keluarga. Jika kita menghitung ayat-ayat yang secara langsung maupun tidak langsung berbicara tentang: Pernikahan, mahar, hubungan suami istri; Hak dan kewajiban suami-istri; Pendidikan anak dan akhlak orang tua; Warisan, perceraian, iddah: Aurat, pergaulan, dan perlindungan moral keluarga
Maka jumlahnya mencapai lebih dari 180 ayat. Ini artinya, tema keluarga merupakan tema makro dalam Al-Qur’an, lebih banyak dari ayat jihad, haji, zakat, bahkan puasa.
Berikut beberapa contohnya:
Tema Contoh Ayat Keterangan
Pernikahan An-Nur: 32 Perintah menikah bagi yang lajang
Kepemimpinan rumah tangga An-Nisa: 34 Suami sebagai qawwam
Pendidikan anak Luqman: 13–19 Nasihat Luqman tentang tauhid dan akhlak
Warisan An-Nisa: 11–12 Rincian distribusi waris
Etika seksual & aurat An-Nur: 30–31 Menjaga pandangan dan kehormatan
Perceraian & rujuk Al-Baqarah: 228–232 Tata cara perceraian dan hak-hak wanita
Al-Qur’an tidak melihat keluarga sebagai urusan privat semata, tetapi pondasi umat dan negara. Maka, siapa pun yang ingin membangun peradaban Islam, harus memulainya dari institusi keluarga.
---
Dakwah: Pewarisan atau Penaklukan?
Sepanjang sejarah tauhid, kita menyaksikan dua bentuk utama dakwah:
1. Pewarisan generasi dalam keluarga (vertikal)
2. Ekspansi geografis melalui penaklukan atau perdagangan (horizontal)
Nabi Ibrahim menanamkan tauhid kepada Ismail dan Ishaq, lalu kepada Ya‘qub, dan seterusnya. Model ini adalah dakwah jangka panjang, perlahan tapi dalam.
Sementara itu, Rasulullah SAW dan para sahabat mengembangkan dakwah hingga ke luar jazirah: Yaman, Persia, Syam, hingga Nusantara. Ini adalah dakwah meluas cepat, membentuk basis massa yang besar.
Melalui pendekatan model probabilistik, kita bisa perkirakan bahwa 85–90% umat Islam hari ini adalah hasil pewarisan keluarga, bukan konversi atau ekspansi luar. Artinya, keluarga masih menjadi ujung tombak utama kelangsungan agama, bukan media sosial, bukan negara, bukan pasar.
---
Keluarga dalam Krisis: Musuh Islam Menyerang di Titik Paling Strategis.
Sayangnya, musuh-musuh Islam justru menyadari ini lebih awal. Mereka tahu bahwa meruntuhkan Islam bisa dilakukan tanpa menutup masjid atau melarang shalat, tapi cukup dengan menghancurkan keluarga. Dan inilah yang sedang terjadi hari ini:
Angka pernikahan menurun drastis: Di Indonesia, menurut BPS, terjadi penurunan jumlah pernikahan 10–15% dalam dekade terakhir.
Perceraian meningkat tajam: Data PA tahun 2022 mencatat lebih dari 500.000 kasus perceraian per tahun.
Konsep keluarga didistorsikan: Kampanye LGBTQ+, feminisme radikal, individualisme gaya hidup—semuanya mengikis fondasi fitrah keluarga.
Peran ayah melemah, ibu dilelahkan, anak terabaikan. Orang tua sibuk bekerja, pendidikan anak diserahkan ke sistem yang sekuler, algoritma digital mendidik anak 6 jam per hari.
---
Ironi: Haji Diurus Serius, Keluarga Tidak
Di Indonesia, hanya ada 4 ayat utama tentang haji dalam Al-Qur’an: Al-Baqarah: 196, Ali Imran: 97, Al-Hajj: 27, 28
Namun untuk urusan ini, negara memiliki:
Menteri khusus urusan haji
Dirjen dan direktorat
Komisi DPR
Dana triliunan rupiah tiap tahun
Sistem kuota dan logistik kelas dunia
Sementara keluarga, yang diatur dalam 180+ ayat, hampir tak punya perhatian serius setara dari negara, apalagi umat. Tidak ada Kementerian Ketahanan Keluarga, tidak ada Anggaran Pendidikan Parenting Nasional, tidak ada Strategi Dakwah Keluarga Nasional yang serius.
Jangan-jangan kita ini serius beragama hanya pada sektor yang ramai, mahal, dan simbolik—sementara Allah justru serius pada hal yang sederhana tapi fundamental: keluarga.
---
Renungan: Kembalikan Arah Dakwah kepada Porosnya
Keluarga bukan saja ladang pahala, tapi juga benteng peradaban. Rasulullah SAW sendiri memulai dakwahnya dari rumah: Khadijah, Ali, Zaid, Abu Bakar. Dan sampai akhir hayatnya, rumah adalah tempat ia membangun peradaban—bukan mimbar, bukan istana.
Jika kita ingin Islam bertahan dan tumbuh di zaman post-truth, era transhumanisme dan AI, maka kita harus serius membangun keluarga. Karena hanya dari keluarga yang kuat, akan lahir generasi yang kuat. Dan hanya dari generasi yang kuat, akan lahir umat yang bermartabat.
---
Penutup: Sudah Saatnya Kita Berpindah Fokus
Islam tidak hanya butuh mujahid di medan perang, tetapi juga mujahid di ruang tamu yang mengajarkan tauhid kepada anaknya.
Tidak cukup kita berdakwah ke jalanan, tapi gagal berdakwah di meja makan.
Kita mungkin bangga bisa berhaji sekali seumur hidup,
...tapi bisa jadi lupa bahwa menjadi suami/istri/orang tua yang saleh adalah haji setiap hari.
Sudah saatnya kita menempatkan keluarga sebagai urusan negara, urusan umat, dan urusan iman.
Karena jika kita gagal membangun keluarga,
...maka kita sedang menyaksikan kehancuran umat dari dalam.
Komentar