Antara Saksi Hidup dan Kebenaran Publik: Menakar Ijazah, Integritas, dan Literasi Informasi di Era Demokrasi Digital

Oleh: Dwi Taufan Hidayat
ASKARA - Antara Realitas dan Representasi
Di era ketika suara digital sering lebih keras daripada suara nurani, narasi tentang “saksi hidup” dan isu keaslian ijazah mantan Presiden Joko Widodo kembali mencuat ke permukaan. Dalam gempita arus informasi, masyarakat terombang-ambing antara kebenaran faktual dan konstruksi persepsi. Ketika seseorang tampil dalam video mengklaim bahwa Jokowi tak pernah menerima gaji sebagai Wali Kota Solo, dan ketika ijazahnya kembali dipertanyakan, kita seolah-olah masuk ke dalam pusaran kabut yang tebal—kabut yang menutupi batas antara klarifikasi, propaganda, dan keadilan informasi.
Dalam rangka menanggapi fenomena ini secara lebih menyeluruh dan kritis, tulisan ini mencoba menelaah beberapa aspek utama dari narasi “saksi hidup” dan tuntutan klarifikasi terhadap keaslian ijazah, dengan pendekatan multidisipliner: dari ilmu komunikasi, sosiologi politik, etika informasi, hingga psikologi sosial.
Sosiologi Politik: Kredibilitas Kekuasaan dan Simbol Pendidikan
Dalam sosiologi politik, pendidikan formal bukan hanya simbol kompetensi, melainkan juga sumber legitimasi kekuasaan. Seorang pemimpin, apalagi presiden, diharapkan memiliki latar belakang pendidikan yang dapat diverifikasi, sebagai bagian dari kontrak sosial dengan rakyat. Tuduhan terhadap keaslian ijazah Jokowi, walaupun berkali-kali ditepis, tetap hidup karena simbol akademik telah menjadi medan pertarungan simbolik antara yang pro dan kontra terhadap kekuasaan.
Kecurigaan semacam ini tumbuh subur karena adanya krisis kepercayaan pada institusi—baik itu institusi politik maupun akademik. Dalam konteks ini, UGM sebagai lembaga yang terafiliasi dengan narasi tersebut, tidak hanya ditantang untuk menjawab tuduhan, tetapi juga untuk menunjukkan keunggulan dalam membangun kepercayaan publik berbasis transparansi dan akuntabilitas.
Ilmu Komunikasi: Literasi Informasi dan Diseminasi Narasi
Fenomena “saksi hidup” dalam bentuk potongan video pendek adalah contoh klasik dari bagaimana selective framing bekerja dalam lanskap media digital. Video bisa menjadi bukti, namun juga bisa menjadi alat distorsi. Komunikasi massa modern menunjukkan bahwa narasi bisa diolah untuk mempengaruhi opini tanpa memperhatikan verifikasi data.
Dalam hal ini, peran literasi informasi menjadi krusial. Masyarakat yang tidak dibekali kemampuan untuk menelaah sumber informasi, membedakan antara opini dan fakta, akan mudah menjadi korban manipulasi persepsi. Maka, edukasi publik tentang bagaimana mengkaji kesaksian personal, pentingnya sumber primer, dan proses klarifikasi institusional adalah bagian dari upaya membangun democratic resilience di era pascapenemuan digital.
Etika Informasi dan Logika Verifikasi
Etika informasi mengajarkan bahwa dalam menyebarkan klaim, apalagi terkait reputasi seseorang, diperlukan standar moral dan intelektual. Dalam dunia jurnalistik, prinsip cover both sides dan fact-checking adalah fondasi. Kesaksian satu individu tidak dapat menjadi kebenaran tunggal tanpa uji silang. Di sisi lain, membungkam kesaksian tanpa memberikan ruang verifikasi yang sah juga bertentangan dengan prinsip keadilan informasi.
Di sinilah klarifikasi Sekda Solo menjadi menarik. Ia bukan sekadar membantah, tapi mengungkap prosedur, otoritas administratif, dan data transaksional (SP2D) sebagai bukti. Hal ini menunjukkan bagaimana klarifikasi yang berbasis sistem dan bukti lebih kuat dibanding argumen berbasis persepsi semata.
Psikologi Sosial: Pola Penerimaan dan Bias Kognitif
Mengapa isu lama seperti ijazah atau klaim "tidak digaji" bisa terus hidup di ruang publik? Salah satunya adalah confirmation bias: kecenderungan manusia hanya percaya pada informasi yang mendukung keyakinannya. Dalam studi psikologi sosial, ini diperkuat oleh fenomena echo chamber di media sosial, di mana algoritma memperkuat narasi yang disukai pengguna.
Maka, terlepas dari klarifikasi mana pun, publik yang telah memosisikan diri sebagai anti-Jokowi akan terus mencari bukti pembenaran terhadap prasangka mereka. Demikian pula sebaliknya. Dalam situasi ini, demokrasi bisa terjebak dalam polaritas yang tidak produktif: memperdebatkan hal-hal yang sebenarnya sudah bisa diurai dengan pendekatan rasional dan sistematis.
Kajian Hukum dan Hak Informasi Publik
Dari perspektif hukum, tuntutan publik untuk mendapatkan kejelasan mengenai keaslian ijazah seorang pejabat publik tidak bisa begitu saja dianggap hoax atau fitnah, selama prosesnya mengikuti jalur legal-formal dan tidak menyerang secara pribadi. Namun, lembaga pendidikan seperti UGM juga dibatasi oleh aturan perlindungan data pribadi.
Maka, jalan tengah yang adil adalah mengedepankan prinsip transparansi terbatas: menyampaikan data valid tanpa melanggar hukum, misalnya melalui penyataan resmi yang dapat diuji, audit independen, atau uji dokumen berdasarkan permintaan pengadilan. Di sinilah negara dan lembaga publik diuji: apakah bersedia membuka ruang dialog berbasis hukum dan data, bukan emosi dan loyalitas buta.
Menjaga Rasionalitas Publik dalam Demokrasi
Narasi “saksi hidup” bisa menjadi bahan refleksi sejarah, tapi tidak bisa berdiri sendiri sebagai sumber kebenaran. Ia harus dilengkapi dengan data, diverifikasi secara ilmiah, dan disandingkan dengan sistem informasi yang adil. Begitu pula klarifikasi institusional: tidak cukup hanya dengan pernyataan satu paragraf. Harus ada penjelasan metodologis dan aksesibilitas publik yang terjaga.
Sebagai warga negara, kita tidak boleh terjebak dalam kutukan politik identitas yang membelah akal sehat. Demokrasi tidak berarti membenarkan segalanya atas nama suara mayoritas. Ia adalah upaya terus-menerus untuk mengedepankan logika, transparansi, dan keadilan dalam setiap kontestasi.
Akhirnya, di tengah suara gaduh dan gemuruh digital, mari kita rawat akal sehat dan etika berpikir. Karena bangsa ini tidak dibangun oleh mereka yang paling lantang, tetapi oleh mereka yang paling jujur dan berpikir waras.
Komentar