Senin, 21 April 2025 | 11:40
COMMUNITY

Wajah Muram dan Dendam Tak Hanya Merusak Jiwa, Tapi Juga Mengintai Jantung dan Otak

Wajah Muram dan Dendam Tak Hanya Merusak Jiwa, Tapi Juga Mengintai Jantung dan Otak
Ilustrasi

ASKARA - Dalam kehidupan yang serba cepat dan menuntut ini, banyak orang terbiasa memendam amarah, menyimpan dendam, atau bersikap sinis terhadap sesama. Tak sedikit pula yang menjadikan ekspresi muram sebagai wajah harian, seolah dunia tak pernah berpihak. Namun, siapa sangka bahwa kebiasaan emosional seperti itu tak hanya merusak relasi sosial, tetapi juga menyimpan risiko medis yang nyata dan serius: hipertensi dan stroke.

Penelitian medis modern membuktikan bahwa kondisi psikis dan emosional seseorang memiliki hubungan erat dengan kesehatan kardiovaskular. Ketegangan batin yang terus-menerus, terutama jika tidak diolah dengan baik, akan memicu respons stres kronis dalam tubuh. Hormon kortisol dan adrenalin yang terus meningkat akan mempersempit pembuluh darah, mempercepat denyut jantung, dan dalam jangka panjang, merusak sistem tekanan darah.

“Emosi negatif seperti amarah, dendam, dan perasaan tidak puas itu ibarat api dalam sekam. Ia diam-diam membakar dari dalam,” ujar dr. Lintang Pradana, Sp.PD, spesialis penyakit dalam dari sebuah rumah sakit swasta di Jakarta. “Orang yang sering marah diam-diam, menyimpan kebencian, atau punya kepribadian tertutup terhadap konflik, justru berisiko lebih tinggi mengalami lonjakan tekanan darah, bahkan serangan jantung mendadak.”

Tak hanya itu, data dari World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa stroke—penyebab kematian dan disabilitas tertinggi di dunia—banyak dipicu oleh tekanan darah tinggi yang tidak terkontrol, dan salah satu pemicunya adalah stres emosional berkepanjangan.

Muram Tak Sama dengan Sakit, Tapi Bisa Jadi Pintu Masuk

Wajah yang muram, sinis terhadap orang lain, dan sikap ‘mlengosin’ atau acuh yang menjadi kebiasaan emosional sehari-hari, sebenarnya bukan sekadar masalah kepribadian. Dalam banyak studi psikologi kesehatan, kebiasaan tersebut erat kaitannya dengan gangguan afektif seperti distimia, depresi ringan, atau bahkan gangguan kepribadian pasif-agresif.

Lebih dari itu, tubuh mencatat semuanya. Setiap ekspresi muram yang berulang, setiap pikiran negatif yang tak diurai, adalah sinyal kepada sistem saraf untuk bersiap siaga. Otot menegang, jantung bekerja lebih keras, dan tekanan darah pun perlahan naik—membentuk pola kronis yang jarang disadari, hingga semuanya terlambat.

Di sinilah titik penting kesadaran itu perlu tumbuh. Menjaga hati agar tetap lapang, menyapa orang lain dengan senyum, dan memaafkan kesalahan orang lain, bukan semata ajaran moral atau etika sosial. Ia adalah cara paling sederhana dan murah untuk menjaga jantung tetap berdetak sehat dan otak tetap dialiri darah yang lancar.

Dari Kebiasaan Batin ke Gaya Hidup Sehat

Di tengah maraknya tren gaya hidup sehat, perhatian terhadap kesehatan emosional dan spiritual sering kali terlupakan. Banyak orang fokus pada diet, olahraga, dan suplementasi, tetapi mengabaikan beban batin yang terus dipanggul setiap hari.

“Padahal, kesehatan sejati adalah perpaduan antara tubuh yang bugar dan jiwa yang damai,” kata Yulia Ermawati, seorang penyintas stroke ringan yang kini aktif menjadi edukator kesehatan holistik. “Saya dulu pendendam. Gampang tersinggung. Dan saya pikir, itu hanya soal karakter. Tapi tubuh saya ternyata tidak bisa berdamai dengan itu semua. Stroke jadi teguran keras buat saya.”

Kini, Yulia rajin meditasi, memperdalam agama, dan menularkan pentingnya melepaskan beban emosional kepada banyak orang. Ia menyebutnya “detoks hati.”

Senyum, Maaf, dan Lapang Dada: Tiga Obat yang Terlupakan

Ketika dunia semakin keras dan penuh persaingan, pilihan untuk tetap ramah, lapang dada, dan tidak menyimpan sakit hati bisa terasa sulit. Namun, di situlah letak kekuatan penyembuhan yang sering dilupakan.

Para ahli menyarankan, langkah-langkah sederhana seperti:

- Meluangkan waktu untuk berbicara dari hati ke hati dengan orang terdekat.
- Menulis jurnal rasa syukur setiap malam.
- Berlatih pernapasan dalam saat merasa emosi memuncak.
- Dan tentu saja, belajar memaafkan—bukan demi orang lain, tetapi demi kesehatan diri sendiri.

Karena pada akhirnya, kita sendirilah yang akan menanggung beban dari kemarahan yang tidak diselesaikan, dari dendam yang terus dipelihara, dan dari wajah muram yang setiap hari kita pertahankan.

Maka, jika hari ini Anda masih mudah merasa tersinggung, sering sinis kepada orang lain, atau memendam kemarahan lama yang belum selesai, ingatlah bahwa hipertensi dan stroke mungkin sedang menunggu di tikungan.

Senyum, mungkin tak menyelesaikan semua masalah. Tapi itu bisa mencegah satu masalah serius: kerusakan sistem tubuh akibat stres.

Dan ya, memaafkan, bisa jadi adalah langkah awal penyembuhan yang selama ini kita abaikan. (Dwi Taufan Hidayat)

Komentar