Urgensi Pengenaan Cukai Ban Karet Sebagai Upaya Mitigasi Permasalahan Lingkungan
Oleh: Muhammad Iqbal
Departemen Ilmu Administrasi Fiskal Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia_
ASKARA Dalam upaya meningkatkan peran Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sebagai revenue collector dan community protector, pemerintah Indonesia terus mengembangkan kebijakan fiskal salah satunya melalui inisiasi berupa ekstensifikasi barang kena cukai
(BKC). Upaya untuk melakukan ekstensifikasi cukai tentu dilakukan bukan tanpa alasan. Barang kena cukai di Indonesia itu sendiri saat ini masih tergolong sedikit jika dibandingkan dengan negara lain. Selain itu, hingga saat ini Indonesia masih sangat bergantung dengan Cukai Hasil Tembakau (CHT) yang mana hampir 95% dari penerimaan cukai dihasilkan pada pengenaan Cukai Hasil Tembakau (CHT).
Dasar hukum ekstensifikasi cukai diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Ketentuan ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi pemerintah untuk menambah atau mengurangi daftar Barang Kena Cukai (BKC) sesuai dengan kebutuhan dan dinamika perekonomian. Proses penyesuaian tersebut akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah (PP), yang disusun berdasarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas setelah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat menciptakan fleksibilitas dalam pengelolaan cukai guna mendukung penerimaan negara dan mengendalikan konsumsi barang tertentu.
Urgensi Ekstensifikasi Cukai Pada Ban Karet
Hingga saat ini, banyak negara, termasuk Indonesia, yang mengenakan cukai atas konsumsi barang/jasa sebagai senjata untuk mengontrol eksternalitas negatif yang timbul dari konsumsi barang/jasa tersebut. Menurut laporan Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2024 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 157 juta unit kendaraan. Banyaknya pengguna kendaraan bermotor di Indonesia menimbulkan adanya tantangan baru yang dihadapi seperti terjadinya kerusakan jalan akibat masifnya pengguna motor yang melintas, timbulnya permasalahan emisi karbon akibat dari penggunaan bahan bakar fosil, hingga menyumbang limbah ban karet. Limbah ban karet membutuhkan waktu puluhan tahun untuk dapat terurai sempurna di alam bebas apabila dibuang begitu saja tanpa ada proses daur ulang. Hal tersebut menyebabkan bumi yang kita pijak saat ini tidak lagi tidak subur dan menimbulkan eksternalitas negatif bagi masyarakat lainnya. Selain itu kerusakan jalan yang disebabkan oleh tingginya volume kendaraan yang melintas dan kerusakan jalan tersebut juga berhubungan langsung dengan spesifikasi ban yang digunakan. Kerusakan yang terjadi memberikan beban baru bagi pemerintah untuk mengeluarkan biaya untuk memperbaiki dampak kerusakan yang ditimbulkan tersebut. Sehingga, pengenaan cukai atas ban karet dinilai sebagai instrumen pengendalian yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini.
Alternatif Alokasi Penerimaan Cukai Ban Karet
Penerimaan yang diperoleh melalui pungutan cukai atas ban karet dapat menjadi potensi besar untuk memberikan dampak positif yang berkelanjutan bagi banyak sektor, dana yang diperoleh melalui pungutan cukai ban karet dapat digunakan untuk menangani berbagai permasalahan yang timbul akibat limbah ban karet, termasuk perbaikan dan/atau pemeliharaan infrastruktur jalan yang rusak. Selain itu, penerimaan cukai ban karet juga dapat digunakan untuk melakukan pembangunan jalan baru dan peningkatan kualitas transportasi umum, sehingga dapat mendukung mobilitas masyarakat dan mengubah perilaku masyarakat. Lebih jauh lagi, penerimaan cukai ban karet dapat dimanfaatkan untuk penyelenggaraan program pemulihan lingkungan, seperti pengelolaan limbah ban dengan sistem daur ulang. Hal ini mencakup pendirian fasilitas daur ulang, pengembangan teknologi ramah lingkungan, serta pemberian insentif kepada industri-industri yang mengolah limbah ban karet menjadi produk yang memiliki nilai jual. Dengan demikian, dana ini tidak hanya berfungsi untuk mengatasi masalah lingkungan, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi
Analisis Tantangan Penerapan Cukai Ban Karet
Meskipun kebijakan pengenaan cukai ban karet memiliki potensi yang besar dalam meningkatkan penerimaan negara dan mencegah eksternalitas negatif yang ditimbulkan, kebijakan ini tidak lepas dari berbagai tantangan yang perlu dihadapi, salah satunya adalah mempengaruhi harga di pasar yang berdampak pada konsumen akhir, adanya tambahan pungutan berupa pungutan cukai atas ban karet menyebabkan adanya uang lebih yang perlu dikeluarkan untuk memperoleh barang tersebut. Akan jauh lebih buruk apabila nantinya adanya pungutan cukai ban karet ini akan memberikan efek domino berupa kenaikan harga komoditas lainnya. Sehingga pemerintah dirasa perlu melakukan assessment lebih lanjut untuk menerapkan kebijakan cukai ban karet.
Penerapan kebijakan cukai pada ban karet juga menuai resistensi dari kalangan industri, terutama para pelaku industri produksi ban. Penolakan ini muncul karena adanya kekhawatiran sksn beban tambahan berupa cukai akan menambah ongkos produksi secara signifikan. Akibatnya, harga jual ban di pasar menjadi lebih mahal dan mengurangi daya saing produk lokal baik di pasar domestik maupun internasional. Selain itu, pelaku industri juga mengkhawatirkan persaingan yang tidak seimbang dengan produk impor yang sering kali menawarkan harga lebih murah. Kondisi ini dapat mengancam posisi produsen domestik di pasar lokal dan mempersulit untuk bersaing di “rumah sendiri”. Jika tidak diantisipasi dengan baik, hal ini dapat berujung pada penurunan produktivitas industri ban dalam negeri dan berpotensi mengganggu keberlanjutan sektor tersebut. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan ini lebih matang dengan mendengarkan masukan dari para pelaku industri untuk menciptakan solusi yang adil dan berimbang bagi semua pihak.
Apabila nantinya cukai atas ban karet ini diimplementasikan di Indonesia, harapannya kebijakan ini dapat menjadi solusi yang tidak hanya meningkatkan penerimaan negara, tetapi juga menciptakan dampak positif yang berkelanjutan bagi lingkungan dan masyarakat. Kebijakan ini seharusnya dilakukan assessment secara komprehensif, dengan mempertimbangkan berbagai masukan dari seluruh pemangku kepentingan, termasuk pelaku industri, akademisi, dan masyarakat luas, agar dapat diimplementasikan dengan adil dan tepat sasaran.
Komentar