Minggu, 03 November 2024 | 15:55
OPINI

Pertarungan Antara Hukum, Politik, dan Demokrasi

Menelusuri Distorsi Pernyataan dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat.

Menelusuri Distorsi Pernyataan dalam Kasus Pelanggaran HAM Berat.
Ilustrasi pertarungan hukum, politik dan demokrasi (Dok Saur)
Oleh: Saur S. Turnip
 
ASKARA - Dalam dinamika politik Indonesia yang semakin intens, persoalan hak asasi manusia (HAM) kembali mencuat ke permukaan, terutama setelah pernyataan kontroversial dari Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, mengenai peristiwa 1998. Pernyataannya di Istana Kepresidenan yang menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir, disinyalir termasuk dalam peristiwa 98, menimbulkan polemik baru di tengah upaya pemerintah untuk menegakkan keadilan.
 
Mahfud MD, mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan masa Jokowi, tentunya merespons kontroversi ini secara tegas dalam narasi terbalik. Ia mengingatkan bahwa Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah satu-satunya institusi yang berwenang secara hukum untuk menentukan kategori pelanggaran HAM berat, sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. 
 
Pernyataan Mahfud ini dapat dimaknai untuk memperjelas kerancuan yang timbul dari pernyataan Yusril, tetapi juga menyoroti pentingnya menghormati hukum dalam menilai sejarah kelam bangsa ini.
 
Terminologi Hukum dalam Kontroversi HAM
 
Distorsi terminologi hukum terlihat jelas dalam perdebatan ini. Pernyataan Yusrilp yang menyebutkan bahwa "tidak semua kejahatan termasuk pelanggaran HAM berat" mungkin saja benar secara teoritis, namun apabila dianalogikan erat penafsirannya terhadap peristiwa 1998—yang oleh Komnas HAM telah ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat—akan menimbulkan  pertanyaan mengenai kredibilitas argumentasi tersebut. Penggunaan terminologi hukum yang tepat sangat krusial, terutama dalam kasus yang melibatkan sejarah kelam bangsa dan implikasi moral yang luas. Distorsi dalam interpretasi ini bisa saja mengaburkan dan menyesatkan kebenaran, tetapi juga berisiko mengurangi wibawa hukum itu sendiri.
 
Pernyataan Politik dan Distorsi Putusan Hukum
 
Penafsiran awam akibat pernyataan Yusril bukan saja dianggap sebagai bagian dari diskursus hukum, tetapi juga sarat muatan politik. Ini mencerminkan fenomena seolah-olah pejabat publik menggunakan retorika hukum untuk melayani agenda politik tertentu. Dalam konteks ini, pernyataan Mahfud MD sebaiknya untuk dilihat sebagai upaya positif untuk menegakkan supremasi hukum dan melindungi otoritas institusi-institusi yang memiliki kewenangan hukum, seperti Komnas HAM. Yusril, dengan latar belakang hukum yang kuat, diyakini PP sesungguhnya memahami betul batas-batas wewenang hukum, namun di sini terkesan bagaimana politik bisa merayu dan memengaruhi penyampaian pesan tersebut. Akhirnya ditafsirkan  sebagai upaya distorsi dalam putusan hukum yang telah diakui secara resmi.
 
Wibawa Pemerintahan dan Otoritas Hukum
 
Di tengah gejolak politik ini, pertanyaan yang gentayangan adalah apakah pemerintah akan menempatkan hukum di atas politik, atau sebaliknya. Mahfud, dalam sikapnya yang lugas, mungkin sedang mencoba menegaskan bahwa otoritas hukum tidak bisa dikesampingkan demi kepentingan politik sesaat. Wibawa pemerintahan dalam mengelola persoalan HAM berat akan diuji melalui konsistensinya dalam menjalankan proses hukum yang seharusnya netral dan objektif.
 
Pilihan Antara Hukum, Politik, dan Demokrasi
 
Dalam persimpangan ini, kita dihadapkan pada pilihan antara memprioritaskan hukum, politik, atau demokrasi. Distorsi yang muncul dari pernyataan atau pertanyaan politik pejabat tinggi negara berpotensi menggerus kepercayaan masyarakat terhadap proses dan penegakan hukum yang seharusnya demokratis. Pada akhirnya, supremasi hukum adalah pilar utama dalam demokrasi yang sehat. Mengedepankan hukum di atas politik merupakan esensi dari demokrasi itu sendiri. Insiden pemikiran ini memberikan pelajaran bahwa ketika hukum mulai dipolitisasi, maka yang dipertaruhkan bukan hanya kebenaran, tetapi juga keberlangsungan demokrasi itu sendiri.
 
Menegakkan Keadilan di Tengah Tarikan Politik
 
Jika Mahfud MD berbisik melalui tanggapannya sedang mengingatkan bahwa politik tidak boleh mendistorsi hukum. Pada saat yang sama, ia mendudukkan pentingnya Komnas HAM sebagai institusi hukum yang berwenang menilai peristiwa-peristiwa yang melibatkan pelanggaran HAM berat. Pilihan antara hukum, politik, dan demokrasi dalam kasus ini adalah gambaran dilema yang akan dihadapi pemerintahan Prabowo-Gibran. Kekuatan dan legitimasi pemerintahan mereka sedang dan akan diuji melalui bagaimana seharusnya menghormati dan menegakkan proses hukum dalam menghadapi sejarah kelam yang dianggap belum tuntas.
 

Komentar