Konflik Israel-Palestina: Antara Trauma Sejarah dan Ketidakadilan yang Berkepanjangan
Oleh: Saur S. Turnip
Sketsa Paska Sejarah Awal
Konflik di Timur Tengah, terutama antara Israel dan negara-negara tetangganya, adalah sebuah tragedi berkepanjangan yang penuh dengan kerumitan sejarah, politik, dan agama. Akar permasalahan ini dapat ditelusuri hingga awal abad ke-20, di mana Deklarasi Balfour tahun 1917 oleh Inggris membuka jalan bagi pembentukan negara Yahudi di Palestina. Meskipun dimaksudkan sebagai solusi untuk komunitas Yahudi yang tersebar, dampaknya pada penduduk Arab di kawasan itu sangat besar. Ketika Israel secara resmi didirikan pada tahun 1948, terjadi pengusiran massal penduduk Palestina—peristiwa yang masih dikenang sebagai Nakba. Ini menjadi salah satu pemicu utama perang berkepanjangan yang terus mengguncang wilayah tersebut.
Selain itu, wilayah terus menjadi sumber ketegangan. Israel, setelah memenangkan Perang Enam Hari tahun 1967, mencaplok wilayah-wilayah strategis, seperti Tepi Barat dan Dataran Tinggi Golan. Pengambilalihan ini memperparah krisis pengungsi Palestina, dan pemukiman Yahudi ilegal yang terus berkembang di Tepi Barat memperburuk keadaan, menjauhkan prospek perdamaian. Dengan lebih dari 600.000 pemukim Yahudi yang kini tinggal di daerah-daerah tersebut, harapan untuk solusi dua negara semakin memudar.
Faktor lain yang memperumit konflik adalah Yerusalem, kota suci bagi tiga agama besar—Yahudi, Kristen, dan Islam. Klaim atas Yerusalem Timur sebagai ibu kota Palestina dan pengakuan Yerusalem oleh beberapa negara sebagai ibu kota Israel hanya menambah tensi. Perselisihan ideologis dan agama terus memperdalam jurang antara Israel dan negara-negara Arab di sekitarnya, terutama dengan kelompok-kelompok militan seperti Hamas dan Hizbullah yang melihat perlawanan terhadap Israel sebagai kewajiban agama.
Selain itu, keterlibatan kekuatan asing, terutama Amerika Serikat dan Rusia, memperparah situasi. Dukungan AS terhadap Israel sering dianggap sebagai penghalang bagi perdamaian, sementara Iran mendukung kelompok-kelompok militan di Palestina dan Lebanon sebagai bagian dari agenda anti-Israelnya.
Jika melihat pada angka, lebih dari 90.000 orang telah tewas sejak dimulainya konflik ini. Pengeluaran militer Israel, yang pada tahun 2022 mencapai 20 miliar USD, mencerminkan fokus negara itu pada keamanan nasional, sementara di pihak Palestina, perjuangan terus berlanjut untuk mendapatkan negara merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
Meskipun beberapa negara Arab telah menormalisasi hubungan dengan Israel melalui Kesepakatan Abraham, prospek perdamaian menyeluruh masih jauh dari kenyataan. Konflik ini tidak hanya berakar pada isu teritorial, tetapi juga ideologi, hak asasi, dan ketidaksetaraan yang mendalam, dan tanpa solusi yang adil, khususnya bagi rakyat Palestina, konflik ini tampaknya akan terus berlanjut.
Prinsip Bersikukuh: Bertahan dan berperang?
Perlawanan dan serangan balasan bangsa Israel merupakan refleksi atas latar belakang historis, kebutuhan akan keamanan, dan keunggulan militer yang diperjuangkan Israel dalam menghadapi ancaman di sekitar mereka. Kehadiran trauma kolektif dari Holocaust, di mana enam juta orang Yahudi terbunuh, menjadi fondasi kuat bagi keyakinan bahwa Israel harus menjaga kelangsungan hidupnya dengan segala cara. Holocaust menciptakan semangat "Never Again" yang tertanam dalam kebijakan pertahanan Israel, menjadikannya berani dan determinatif dalam menghadapi setiap ancaman, baik dari Hamas, Hizbullah, maupun negara-negara seperti Iran yang secara terbuka menyatakan penolakan atas eksistensi mereka.
Kebijakan militer Israel dipengaruhi oleh mentalitas survivalisme yang berkembang karena mereka dikelilingi oleh negara-negara yang pernah, dan dalam beberapa kasus masih, bersikap bermusuhan. Sejarah konflik seperti Perang Arab-Israel 1948 dan Perang Enam Hari 1967 memperkuat sikap Israel bahwa mereka harus menunjukkan kekuatan untuk menjaga kelangsungan negara mereka. Ketakutan terhadap ancaman eksistensial ini membuat setiap serangan, bahkan roket sporadis dari Gaza, dianggap serius dan dibalas dengan kekuatan yang jauh lebih besar sebagai bentuk strategi deterrence.
Keunggulan militer Israel, didukung oleh teknologi canggih seperti Iron Dome, menciptakan rasa percaya diri dalam menghadapi musuh-musuhnya. Serangan balasan yang dilakukan Israel seringkali dirancang secara presisi untuk menghancurkan infrastruktur teror, namun tetap menuai kritik internasional karena dampaknya terhadap warga sipil. Israel kerap dituduh menggunakan kekuatan berlebihan yang tidak proporsional dibandingkan dengan ancaman awal, khususnya dalam konflik dengan kelompok militan Palestina.
Meskipun banyak pihak mengkritik keras respons agresif Israel, dari perspektif mereka sendiri, tindakan tersebut merupakan upaya untuk memastikan bahwa ancaman apa pun tidak akan diremehkan. Dalam konteks geopolitik yang kompleks, perlawanan dan serangan balasan Israel merupakan perpaduan dari trauma sejarah, kebutuhan akan keamanan, serta superioritas militer yang dimanfaatkan untuk mempertahankan keberadaan bangsa mereka. Namun, untuk mencapai perdamaian yang sejati, diperlukan pendekatan yang lebih mengutamakan diplomasi dan rekonsiliasi daripada kekerasan yang berkepanjangan.
Tanggapan Dunia Internasional: Solutif atau Destruktif?
Dalam menelaah sikap negara-negara terhadap konflik Israel-Palestina, termasuk Indonesia, kita perlu mengedepankan pemahaman yang mendalam dan berimbang. Konflik ini bukan hanya tentang agama, tetapi juga tentang sejarah panjang pertikaian, hak asasi manusia, dan pertimbangan geopolitik yang kompleks.
Indonesia, sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar, sering memposisikan diri dengan tegas dalam mendukung Palestina. Solidaritas agama memainkan peran penting, mengingat Masjid Al-Aqsa di Yerusalem adalah salah satu situs suci dalam Islam. Oleh karena itu, banyak dari sikap politik Indonesia dipengaruhi oleh hubungan spiritual yang kuat dengan Palestina. Namun, pendekatan ini, meski dilandasi alasan kemanusiaan, sering kali tidak sepenuhnya mencakup sisi lain dari konflik—terutama terkait dengan kebutuhan keamanan Israel dan realitas politik di kawasan tersebut.
Israel, meski kecil dalam ukuran, dikenal memiliki militer dan teknologi yang canggih. Mereka tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup di tengah lingkungan yang bermusuhan, tetapi juga telah mengembangkan kekuatan militer dan intelijen yang kuat untuk melindungi warganya. Sistem pertahanan seperti Iron Dome dan kemampuan Mossad dalam menjalankan operasi rahasia adalah contoh nyata bagaimana Israel menjaga keamanannya dari ancaman, baik dari kelompok militan maupun negara tetangga yang tidak mengakui keberadaannya.
Namun, kritik sering muncul terhadap Israel karena penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dalam menghadapi Palestina, terutama dalam operasi yang mengorbankan warga sipil. Di sisi lain, serangan-serangan roket dari Gaza yang dilancarkan oleh kelompok Hamas juga jarang mendapat kecaman yang setara. Di sinilah muncul ketidakberimbangan dalam pandangan dunia internasional, yang cenderung menerapkan standar ganda dalam mengevaluasi tindakan kedua belah pihak.
Kritik juga dapat diajukan kepada negara-negara, termasuk Indonesia, yang terlalu mengutamakan sentimen agama dalam mendukung Palestina, sehingga mengabaikan kebutuhan untuk memahami kompleksitas konflik ini secara lebih rasional. Narasi yang dibangun cenderung emosional, mengedepankan agama sebagai pendorong utama, dan sering kali tidak mempertimbangkan kenyataan di lapangan yang lebih luas. Hal ini berpotensi menghalangi upaya pencarian solusi yang lebih menyeluruh.
Sikap yang hanya berfokus pada kecaman terhadap Israel tanpa mempertimbangkan solusi yang konkret cenderung tidak produktif. Diplomasi dan dialog seharusnya menjadi jalan yang lebih diutamakan, bukan hanya kecaman sepihak. Untuk mencapai perdamaian yang berkelanjutan, semua pihak harus mengedepankan solusi diplomatik yang berimbang, memahami hak dan keamanan kedua belah pihak, serta berusaha menjembatani perbedaan demi terciptanya solusi dua negara yang adil bagi semua.
Perspektif ini tidak mengabaikan penderitaan rakyat Palestina, tetapi juga menegaskan bahwa untuk mencapai perdamaian, kita perlu meninjau setiap aspek konflik dengan objektivitas, tanpa terjebak pada narasi tunggal.
Dua Kutub Keinginan yang Berbeda: Berdamai dan Hapuskan
Konflik Israel dan negara-negara sekitarnya telah menjadi isu yang sangat kompleks dan sensitif dalam politik internasional. Di satu sisi, terdapat negara-negara dan kelompok militan yang secara terang-terangan menyerukan penghapusan Israel sebagai negara, sebuah deklarasi yang memiliki implikasi serius. Iran, Hamas, dan Hizbullah, misalnya, memiliki pandangan yang ekstrem terhadap keberadaan Israel, dengan retorika yang kadang-kadang berujung pada serangan fisik terhadap negara tersebut. Seruan ini, yang didorong oleh alasan ideologis, politik, dan agama, dianggap sebagai ancaman nyata bagi Israel, yang dalam sejarahnya telah menghadapi penderitaan dan penganiayaan berkepanjangan.
Namun, narasi yang mendesak penghapusan Israel bukan hanya berpotensi memperburuk ketegangan regional, tetapi juga melanggar prinsip-prinsip dasar hukum internasional. Setiap negara, termasuk Israel, diakui haknya untuk eksis secara berdaulat oleh komunitas internasional, sesuai dengan ketetapan Piagam PBB.
Seruan untuk menghancurkan Israel, oleh karenanya, tidak hanya menciptakan ancaman bagi stabilitas regional tetapi juga berlawanan dengan norma-norma hubungan antarnegara di dunia modern.
Di sisi lain, pendekatan masyarakat internasional cenderung mendukung penyelesaian konflik ini melalui solusi damai yang berlandaskan prinsip dua negara: Israel dan Palestina hidup berdampingan sebagai negara yang berdaulat. Meskipun banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Eropa, mendukung hak Israel untuk mempertahankan kedaulatannya, mereka juga mengakui hak rakyat Palestina untuk merdeka. Pendudukan yang berlangsung selama beberapa dekade telah menciptakan ketidakadilan yang mendalam bagi Palestina, dan hak-hak mereka atas tanah serta kedaulatan diakui sebagai bagian dari hukum internasional.
Dalam konteks ini, pendekatan yang seimbang dan adil harus mengakui kedua realitas tersebut: hak Israel untuk eksis dan melindungi rakyatnya dari ancaman serta hak Palestina untuk menentukan nasib mereka sendiri. Solusi dua negara menjadi satu-satunya jalan yang realistis untuk menyelesaikan konflik ini secara damai, meskipun penerapannya masih terhambat oleh dinamika politik yang rumit di lapangan, termasuk kebijakan permukiman Israel dan perpecahan politik di kalangan Palestina.
Konflik ini tidak dapat diselesaikan melalui kekuatan militer semata. Sementara retorika keras dan tindakan ekstrem dari kedua belah pihak hanya memperpanjang siklus kekerasan, masyarakat internasional memiliki tanggung jawab untuk mendorong dialog dan upaya damai. Dukungan terhadap pendekatan yang netral dan berlandaskan prinsip-prinsip kemanusiaan serta hukum internasional sangat penting agar kawasan Timur Tengah bisa mencapai perdamaian yang berkelanjutan.
Rangkuman Penutup:
Konflik Israel-Palestina telah membentang selama beberapa dekade, berakar pada sejarah pengusiran, trauma Holocaust, perebutan wilayah, dan ketidakadilan bagi rakyat Palestina. Sementara Israel bersikukuh pada hak eksistensialnya, didorong oleh pengalaman traumatik dan kebutuhan keamanan, Palestina masih berjuang untuk hak kedaulatannya yang terus-menerus ditindas melalui pendudukan dan pemukiman ilegal.
Meski demikian, pendekatan militer dari kedua belah pihak terbukti gagal mencapai perdamaian. Sikap ekstrem yang menyerukan penghancuran Israel maupun perlawanan militer agresif Israel hanya memperpanjang siklus kekerasan yang mengorbankan banyak nyawa. Dunia internasional memiliki tanggung jawab moral untuk memfasilitasi solusi diplomatik dan mengedepankan perdamaian berkelanjutan berdasarkan keadilan, dengan pengakuan atas hak kedua bangsa untuk hidup dalam damai di tanah mereka masing-masing. @opnsjj
Komentar