Sabtu, 04 Mei 2024 | 13:18
OPINI

Zaman Kerajaan Payung Sebagai Simbol Status Sosial Pemiliknya

Zaman Kerajaan Payung Sebagai Simbol Status Sosial Pemiliknya
Perayaan adat Jawa

Oleh : KRH Aryo Gus Ripno Waluyo, SE, SP.d, S.H, C.NSP, C.CL, C.MP *)

ASKARA - Dalam budaya kerajaan Jawa, payung dikenal sebagai ‘songsong’. Biasanya seorang raja memiliki tiga jenis songsong: songsong gilap gubeng, songsong bawat, dan songsong agung. Pemegang songsong yang disbeut dua terakhir berhak ‘disembah’ tanpa batasan ruang dan waktu. Sementara songsong gilap biasanya dimiliki oleh para pangeran dan hanya berhak disembah sebanyak lima kali.

Payung atau yang dalam bahasa Jawa disebut songsong merupakan simbol jabatan dan derajat (kemuliaan hidup) dari orang yang memiliki. Semakin tinggi dan/atau lebar payung, semakin terhormat pula pemiliknya.

Lingkungan priayi menobatkan payung sebagai penanda seberapa tinggi jabatan mereka dalam struktur pemerintahan sehingga penggunaannya pun diatur. Keraton Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono IV, misalnya. Ia menerapkan larangan bagi siapapun untuk menggunakan payung di area keraton kecuali keluarga raja yang bergelar pangeran.

Jika kita lihat dalam potret keluarga atau tokoh kerajaan tradisional, terdapat satu benda yang selalu muncul namun seringkali dianggap tidak penting. ia adalah payung. Benda satu ini rupanya memiliki akar sejarah cukup panjang di tanah Jawa. Payung menempati posisi krusial pada masanya. Tidak main-main: benda ini menjabat sebagai simbol prestis yang menunjukkan dari kalangan bangsawan mana ia berasal.

Keistimewaan payung tidak hanya sampai di sana. Keberadaannya yang sangat vital membuat ia diperlakukan secara khusus layaknya benda pusaka. Biasanya terdapat seorang abdi dalem yang ditugaskan untuk membawa payung bagi tuannya.

Mereka akan melindungi tuannya dari cuaca, dan juga menemani tuannya dalam pertemuan antar bangsawan. Payung yang digunakan sebagai simbol di sini menunjukkan bahwa benda tersebut memang memiliki hubungan yang erat dengan kalangan bangsawan.

Setiap keturunan raja memiliki songsong ( payung ) yang bentuknya sama. Yang membedakan hanya cat dan streepnya. Warna dasar seperti emas, putih, hijau, biru, merah tua dan hitam merupakan pembeda pangkat dalam lingkungan priayi. Kelir atau warna emas disepakati sebagai warna paling tinggi, sedang yang terendah ialah hitam.

Ketika Indonesia memasuki zaman revolusi, di mana kaum ningrat harus mensejajarkan diri dengan rakyat, fungsi payung atau songsong ini pun perlahan menghilang. Pihak priayi kolot banyak terhuyung. Tidak ada lagi abdi dalem yang kemana-mana membawa payung.
 

Ia akhirnya hanya jadi seonggok benda biasa sejak revolusi dimulai, dan panggilan ‘Bung!’ jadi panggilan favorit zaman perjuangan kemerdekaan. setelah sekian lama menanggung beban cukup berat sebagai simbol kelas bangsawan, payung pun harus tutup cerita. 
‘bambu runcing menusuk payung’ tersebut merupakan sebuah gambaran bagaimana akhirnya priayi jawa harus kehilangan perlakuan khusus yang mereka dapatkan ketika revolusi dimulai.

Berkat revolusi, hari ini siapapun bebas menggunakan payung tanpa larangan dan syarat-syarat yang merepotkan. Tidak ada lagi abdi dalem yang lari terbirit-birit yang menyongsong tuannya supaya tidak kena semprot. Tidak ada lagi metafor ‘bambu runcing menusuk payung’. Semua bisa pakai payung.

*) Budayawan, Spiritualis, Penulis, Advokat, Ketua DPD Jatim PERADI Perjuangan 

Komentar