Minggu, 12 Mei 2024 | 01:31
OPINI

Makna Upacara Tradisional Larung Sesaji

Makna Upacara Tradisional Larung Sesaji
KRH Aryo Gus Ripno bersama Mbah KRT Parno Wibagsa ( Tokoh Spiritualis Of Metafisika Kota Malang Raya )

Oleh : KRH Aryo Gus Ripno Waluyo, SE, SP.d, S.H, C.NSP, C.CL, C.MP

ASKARA - Upacara Tradisional Larung Sesaji merupakan tradisi turun temurun setiap tanggal 1 Muharram atau Satu Suro yang dilakukan dengan nuansa spiritual sebagai refleksi rasa syukur kepada Tuhan atas melimpahnya hasil bumi bagi masyarakat.

Tradisi larung sesaji dimaknai sebagai rasa syukur nelayan kepada Tuhan atas segala sesuatu yang ada di laut.

Masyarakat di kawasan pantai selatan memiliki tradisi upacara adat Larung Sesaji atau Larungan. Ritual ini merupakan ungkapan syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun, serta harapan agar memperoleh hasil yang baik tanpa rintangan di kemudian hari.

Perayaan upacara Sedekah Laut merupakan tradisi para nelayan yang tinggal di pesisir pantai utara sebagai ungkapan rasa syukur, berkah dan rezeki dari hasil laut yang selama ini menjadi sumber pengasilan nelayan.

Perayaan sedekah laut biasanya berlangsung selama 2 hari pada bulan Suro.

Ritual ini merupakan adat dari Jawa yang tentunya tidak asing , Salah satu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir adalah sedekah laut (larung sesaji) serta ritual sejenis ini dilakukan oleh masyarakat pesisir pulau Jawa.

Tujuan diadakan upacara ini yaitu untuk menyampaikan rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selain itu, masyarakat pesisir juga memohon keselamatan supaya dalam mencari nafkah sehari-hari dihindarkan dari mara bahaya di lautan.

Larung sesaji merupakan suatu kegiatan yang disebut dengan sedekah laut. Tradisi tersebut telah menjadi sebuah adat oleh masyarakat di Desa Sambiroto, Kecamatan Tayu, Kabupaten Pati yang dilaksanakan rutin satu kali setiap tahunnya.

Adapun unsur nilai-nilai yang terkandung didalam sedekah laut meliputi nilai spiritual, ekonomis, kebersamaan, gotong royong, serta politis.

Selain fungsi dan dan unsur nilai, beraneka macam sesaji yang terdapat pada sedekah laut memiliki simbolisasi atau makna simbolik yang dijadikan sebagai pedoman hidup.

Kepala kerbau tersebut memiliki makna tersendiri bagi para nelayan di Tegal, entah itu untuk penolakan roh roh jahat atau semacam nya tetapi mereka menggunakan kepala kerbau untuk ditumbalkan dan juga berupa hasil bumi seperti sayur dan buah.

Menurut masyarakat setempat nadran berasal dari kata nazar dalam gramatikal bahasa Arab bermakna pemenuhan janji. Isi sesajen Jawa nadran biasanya berupa makanan khas, kepala kerbau segar, kembang tujuh rupa, dan lain sebagainya.

Baik sesajen berupa daging sembelihan maupun makanan selain daging seperti buah-buahan, hukumnya haram dikonsumsi menurut umat Islam. sesaji sering disebut uborampe atau kelengkapan.

Bila itu sebagai tradisi masyarakat setempat, mungkin saja orang yang melakukan sesaji menganggap sebagai “makhluk” yang memiliki kekuatan dan berharap agar alam tidak “murka” lagi.

Di masyarakat kita masih ada yang sering memberikan sesajian – atau orang jawa bilang 'sajen'. Sesaji ini bisa berupa bunga-bunga, wangi-wangian, membakar kemenyan, makanan, buah-buahan, minuman kopi atau teh. Ternyata memang makanan sesaji ini benar-benar 'dimakan' oleh jin-jin itu.

Sesajen merupakan tradisi kuno Nusantara, khususnya masyarakat Jawa. tujuan mengharapkan keselamatan kepada dhanyang, terkabulnya hajat dsb. Ada juga sesajen yg di lakukan untuk lelaku ritual yang negatif /sihir.

Sesajen pada dasarnya adalah bentuk penghormatan dan syukur dalam konteks keagamaan dan adat istiadat, dan tidak selalu terkait dengan praktik mistis atau negatif.

*) Budayawan, Penulis, Spiritualis, Advokat, Ketua DPD Jatim PERADI Perjuangan

Komentar