Minggu, 28 April 2024 | 05:54
NEWS

Di Konferensi Internasional ICMMBT ke-4, Prof. Rokhmin Dahuri: Negara Yang Menerapkan Bioteknologi Kelautan Akan Lebih Cepat Maju

Di Konferensi Internasional ICMMBT ke-4, Prof. Rokhmin Dahuri: Negara Yang Menerapkan Bioteknologi Kelautan Akan Lebih Cepat Maju
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (ist)

ASKARA - Konferensi Internasional ke-4 bidang Integrated Coastal Management (ICM) and Marine Biotechnology atau pengelolaan pesisir dan bioteknologi (4th ICMMBT 2023) dengan tema "Good Practices and Inovations Towards Blue Ecobomy" yang di selenggarakan Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University (PKSPL-IPB) di Grand Inna Kuta, Bali, Rabu, 23 September 2023.

Tercatat sebanyak 15 negara, di antaranya: Timor Leste, Australia, Fiji, Madagaskar, Philipina, Vietnam, China, Indonesia, Australia, Argentina, Papua Nugini, Malaysia, Thailand, dan lainnya, sekaligus dihadiri lebih dari 70 institusi untuk menyukseskan konferensi. Sedangkan, total 225 peserta turut mengambil bagian dalam mempresentasikan hasil penelitiannya.

Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan - IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjadi salah satu pembicara kunci dari Indonesia menyatakan penerapan bioteknologi kelautan saat ini sudah sangat relevan dan penting demi mewujudkan ekonomi biru pada pembangunan berkelanjutan di kawasan laut serta pesisir.

“Penerapan bioteknologi kelautan, khususnya rekayasa genetika yang menghasilkan benih berkualitas tinggi (Specific Pathogen Free, Specific Pathogen Resistance, dan Fast Growing) dari biota laut dan bahkan organisme darat, telah mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan dari budidaya pesisir dan laut," ujar Prof. Rokhmin Dahuri  dengan materi yang berjudul "Lesson Learned from the Implementation of ICM and Marine Biotechnology for Futute Blue Economy".

Pendiri sekaligus Penasehat Utama Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan (PKSPL), IPB University itu mengungkapkan, penerapan bioteknologi kelautan, khususnya rekayasa genetika yang menghasilkan benih berkualitas tinggi (Specific Pathogen Free, Specific Pathogen Resistance, dan Fast Growing). Dari biota laut dan bahkan organisme darat, telah mampu meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan dari budidaya pesisir dan laut.

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, sudah banyak bukti bahwa negara-negara yang menerapkan bioteknologi akan lebih cepat maju bukan hanya dari sisi perekonomiannya, tapi sosial budayanya juga ikut terpengaruh. Bahkan di Indonesia sendiri sejumlah pilot project penerapan bioteknologi dan pengelolaan manajemen pesisir yang baik, sudah berhasil diterapkan di antaranya di Bontang dan Balikpapan Kalimantan Timur sebelum ada tumpahan minyak, Teluk Lampung, dan di Tangerang, Banten.

“Kuncinya adalah kepedulian bersama seluruh masyarakat, pemangku kepentingan dan swasta sehingga tiga tujuan utamanya yakni ekonomi kesejahteraan, pemerataan ekonomi sosial dan pelestarian lingkungan betuk-betul tercapai. Karena selama ini pesisir banyak menerima dampak dari perubahan iklim yang mayoritas disebabkan aktivitas di daratan,” jelas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) itu.

Dalam kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan tentang peningkatan peran pantai dan laut bagi pembangunan berkelanjutan dan peradaban manusia. Pertama, secara alamiah, wilayah pesisir yang merupakan wilayah transisi antara ekosistem darat dan laut, telah memainkan peran penting bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan peradaban manusia sejak zaman dahulu.

Sekitar 72% permukaan bumi ditutupi oleh lautan (NOAA, 2010). Meskipun hanya 8% dari permukaan bumi, wilayah pesisir menyediakan sekitar 45% dari total sumber daya alam dan jasa lingkungan yang tersedia di Bumi (Costanza, 1998). Secara global, karena kesuburan tanahnya, wilayah pesisir merupakan gudang makanan utama dunia (FAO, 2000).

Lebih dari 60% populasi global tinggal dalam jarak 50 km dari pantai (FAO, 2014). Sekitar 65% kota-kota besar di dunia terletak di wilayah pesisir. Lebih dari tiga miliar orang (40% populasi dunia) bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk mata pencaharian mereka (PBB, 2014).

90% dari total komoditas dan produk yang diperdagangkan secara global diangkut melalui lautan, lautan, dan wilayah pesisir; dan 40% dari total perdagangan global dilakukan melalui Jalur Laut Indonesia (UNCTAD, 2012).

Pesisir dan lautan memainkan peran penting dalam sistem pendukung kehidupan di Planet Bumi kita termasuk siklus hidrologi, siklus nutrisi, penyerap karbon, dan asimilasi (netralisasi) berbagai limbah (Preager, 2001; Pawlak, Kullenberg, dan Chua, 2008) .

Kedua, populasi dunia yang terus meningkat dan pendapatannya (daya beli) telah meningkatkan permintaan manusia terhadap makanan, pakaian, produk farmasi, mineral, energi, dan sumber daya alam lainnya (komoditas) serta jasa lingkungan termasuk perumahan dan tempat tinggal, tujuan wisata, siklus hidrologi, dan penyerapan karbon.

Ketiga, sementara itu, sumber daya alam dan jasa lingkungan di darat (ekosistem terestrial) semakin berkurang atau semakin sulit dimanfaatkan dan dikembangkan.

Keempat, karena sekitar 72% planet bumi kita ditutupi oleh lautan dan samudera yang diberkahi dengan potensi besar dari berbagai sumber daya alam dan jasa lingkungan maka pesisir, laut, dan samudera menawarkan potensi besar untuk memenuhi kebutuhan manusia akan sumber daya alam dan sumber daya alam yang semakin meningkat. pelayanan lingkungan.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk memperbaiki kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) antara lain: 1 miliar warga dunia berada dalam kemiskinan ekstrem, 3 miliar orang masih miskin, 800 juta orang kelaparan, meningkatnya kesenjangan ekonomi, dan tiga krisis ekologi (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) (UNEP, 2011; Bank Dunia, 2022).

Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan Ekonomi Hijau dan Ekonomi Biru muncul sebagai respon untuk mengoreksi kegagalan Paradigma Ekonomi Konvensional (Kapitalisme) dimana 1,8 miliar orang masih miskin, 700 juta orang kelaparan, ketimpangan ekonomi yang semakin melebar, krisis ekologi, dan Pemanasan Global. Ekonomi Hijau adalah ekonomi yang menghasilkan peningkatan kesejahteraan manusia dan kesetaraan sosial, sekaligus mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi secara signifikan (UNEP, 2011).

Selain itu, mengutip (UNEP, 2012). Rokhmin menyebutkan, pada dasarnya, Blue Economy merupakan penerapan Ekonomi Hijau di wilayah laut (in a Blue World) Ekonomi Biru berarti penggunaan laut dan sumber dayanya untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan.

Menurut Word Bank, Ekonomi Biru adalah penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan pekerjaan dan kesejahteraan umat manusia, dan  secara simultan menjaga kesehatan serta keberlanjutan ekosistem laut. Ekonomi Biru adalah semua kegiatan ekonomi yang terkait dengan lautan dan pesisir.

“Ekonomi biru didefinisikan sebagai model ekonomi yang menerapkan: (1) infrastruktur, teknologi, dan praktik ramah lingkungan; (2) mekanisme pembiayaan yang inovatif dan inklusif; (3) dan pengaturan kelembagaan yang proaktif untuk mencapai tujuan ganda yaitu melindungi pantai dan lautan, dan pada saat yang sama meningkatkan potensi kontribusinya terhadap pembangunan ekonomi berkelanjutan, termasuk meningkatkan kesejahteraan manusia dan mengurangi risiko lingkungan dan kelangkaan ekologi,” jelasnya mengutip PEMSEA.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, “kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (up land area) yang memanfaatkan sumber daya alam pesisir dan lautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan umat manusia secara berkelanjutan.”

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri yang juga Penasihat Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2020 - 2024 menjabarkan peran, fungsi, dan kegunaan pesisir dan samudera. Bahwa lautan global menyediakan barang dan jasa ekosistem yang penting bagi umat manusia yang mencakup pengaturan iklim Erath, sistem pendukung kehidupan serta penyediaan pangan, mineral, energi, sumber daya alam lainnya, rekreasi, dan nilai-nilai spiritual.

Laut tidak hanya penting bagi perekonomian dunia, namun juga keseimbangan dan kelangsungan hidup lingkungan (Noone et al., 2013). Yakni: 1. Ekonomi, 2.Rekreasi dan spiritual, 3. Keamanan dan pertahanan, 4. Ekologi.

“Total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun atau 7 kali lipat APBN tahun 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 PDB Nasional tahun 2022,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri mengklaim bahwa potensi Blue Economy Indonesia dapat menyerap lapangan kerja 45 juta orang atau atau 30 persen total angkatan kerja Indonesia. Kenyataannya, Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4% padahal negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya lebih 30 persen.

Ancaman Terhadap Keberlanjutan Pantai Dan Laut

Disisi lain, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan ancaman terhadap keberlanjutan pantai dan laut. Antara lain: Berkelanjutan. Polusi, penangkapan ikan berlebihan, perusakan ekosistem pesisir (misalnya muara, hutan bakau, padang lamun, dan terumbu karang), hilangnya keanekaragaman hayati, dan degradasi lingkungan lainnya di banyak wilayah pesisir di dunia telah mengancam keberlanjutannya.

Degradasi lingkungan tersebut diperparah dengan dampak Perubahan Iklim Global (Global Boiling) antara lain gelombang panas, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, genangan pantai (banjir), badai, dan pengasaman laut.

Dalam mengatasi degradasi lingkungan ekosistem pesisir dan laut, sekaligus memanfaatkan dan mengembangkan sumber daya alam dan jasa lingkungannya. untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan.

“Terlebih lagi, dalam tiga dekade terakhir, penerapan bioteknologi kelautan telah secara fenomenal meningkatkan kapasitas produksi sumber daya (hidup) terbarukan dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Melalui bioteknologi kelautan, juga tercipta nilai tambah dan efek pengganda ekonomi dari sumber daya terbarukan pesisir (biota laut),” kata Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Dikombinasikan dengan teknologi Industri 4.0 (misalnya IoT, AI, Robotika, Blockchain, Drone, dan Nanoteknologi), penerapan ICM dan Bioteknologi Kelautan harus memastikan pembangunan berkelanjutan ekosistem pesisir dan laut untuk lingkungan yang lebih baik, sejahtera, dan berkelanjutan.

“Revolusi Industri keempat (Industri- 4.0) ditandai dengan pengembangan teknologi baru khususnya berbasis teknologi digital dan biologi termasuk IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Big Data, Block-chain, Cloud Computing, dan Robotika. serta Bioteknologi, Nanoteknologi, dan Material Baru, ” jelas Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Klaus Schwab, 2015.

Arti Pembangunan Berkelanjutan

Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan, kutip Prof. Rokhmin Dahuri, Pembangunan berkelanjutan adalah paradigma pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.

Pedoman Umum

Laju (intensitas) pembangunan (total kebutuhan manusia akan sumber daya alam dan jasa lingkungan) tidak boleh melebihi daya dukung suatu wilayah pesisir dan lautan untuk menghasilkan sumber daya alam dan lingkungan tersebut.

Permintaan = f (jumlah penduduk, kebutuhan ruang/kapita, konsumsi sumber daya alam/kapita, produksi sampah/kapita, dan ekspor).

Daya dukung = f (ukuran wilayah pesisir, potensi sumber daya alam terbarukan, sumber daya alam tak terbarukan, daya tampung sampah, fungsi penunjang kehidupan, teknologi, dan impor).

Pedoman Ekologis

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan pedoman ekologis, yaitu: Pertama, Penyelenggaraan Penataan Ruang Terpadu Wilayah Dataran Tinggi-Pesisir-Lautan berdasarkan satuan Daerah Aliran Sungai (Catchment). Sekurang-kurangnya 30% dari total luas wilayah harus diperuntukkan bagi kawasan lindung, dan maksimal 70% dari total luas dapat dialokasikan untuk zona pengembangan (pemanfaatan).

Kedua, tingkat pemanfaatan sumber daya terbarukan pesisir (misalnya stok ikan, mangrove, dan sumber daya hayati lainnya) tidak boleh melebihi kapasitas terbarukan seperti MSY (Maximum Sustainable Yield) untuk perikanan, dan TAH (Total Allowable Harvest) untuk hutan mangrove

Ketiga, setiap eksploitasi sumber daya tak terbarukan (misalnya minyak dan gas, batu bara, mineral, dan sumber daya pertambangan lainnya) harus dilakukan dengan cara yang ramah lingkungan, dan manfaat ekonominya harus digunakan untuk meningkatkan kapasitas dan kesejahteraan masyarakat pesisir. , untuk mengembangkan bahan pengganti, dan untuk mengembangkan kegiatan ekonomi berkelanjutan.

Keempat, tidak Ada Limbah Beracun Berbahaya (misalnya logam berat, radioaktif, dan pestisida) yang dibuang atau dibuang ke lingkungan perairan pantai. Limbah biodegradable (Limbah Beracun Tidak Berbahaya) dapat dibuang ke lingkungan laut yang beban pencemaran totalnya lebih rendah dibandingkan dengan kapasitas asimilasi lingkungan laut. Hal ini dapat dicapai dengan menerapkan: Teknologi Zero-Waste, Teknologi 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle), Instalasi Pengolahan Air Limbah, dan Ekonomi Sirkular.

Kelima, konservasi keanekaragaman hayati pada tingkat genetik, spesies, dan ekosistem melalui teknologi in-situ dan ex-situ.

Keenam, kegiatan perancangan dan konstruksi pada wilayah pesisir dan lautan harus sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamikanya

Ketujuh, pergeseran paradigma dari mania pertumbuhan ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan inklusif, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi.

Pedoman Ekonomi

1. Pergeseran paradigma dari mania pertumbuhan ekonomi menuju pertumbuhan ekonomi yang seimbang dan inklusif, keadilan sosial, dan keberlanjutan ekologi.

2. Mengembangkan dan memanfaatkan Teknologi Tercanggih (termasuk Industri 4.0) yang meningkatkan daya dukung wilayah pesisir, serta mengurangi limbah dan emisi GRK (Gas Rumah Kaca).

3. Dalam melakukan Analisis Biaya-Manfaat pada setiap proyek atau program pembangunan, aliran biaya harus mencakup total nilai ekonomi ekosistem pesisir dan laut.

4. Setiap sektor ekonomi (pembangunan) pesisir serta aktivitas manusia harus menghasilkan emisi karbon (GRK lainnya) yang rendah atau, jika mungkin, dan tanpa limbah.

5. Meminimalkan penggunaan bahan bakar fosil (minyak, batu bara, dan gas) dan sekaligus menggunakan energi terbarukan dan bersih termasuk energi surya, tenaga angin, energi gelombang, energi pasang surut, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), dan biofuel (misalnya alga dan lamun). ).

6. Mengembangkan industri akuakultur dan bioteknologi kelautan yang berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas, produksi makanan laut, pangan fungsional, produk farmasi, kosmetik, dan bahan baku untuk berbagai industri secara berkelanjutan.

7. Mengembangkan dan menggunakan teknologi tercanggih (Industri 4.0) untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan Sektor Ekonomi Biru.

8. Menerapkan tunjangan penipisan sumber daya (fee) dari industri (kegiatan) pertambangan untuk diinvestasikan dalam kegiatan ekonomi berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat pesisir.

9. Meningkatkan akses masyarakat pesisir terhadap aset ekonomi produktif, misalnya. permodalan, pinjaman lunak, teknologi, infrastruktur, pasar, dan informasi.

10. Perdagangan yang bebas dan adil untuk melindungi masyarakat pesisir dan perekonomian nasional dari perdagangan yang tidak adil dan eksploitasi berlebihan.

11. Memperkuat dan meningkatkan Penelitian & Pengembangan untuk menghasilkan informasi ilmiah dan inovasi di bidang pesisir dan lautan.

12. Kebijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, iklim investasi, dan Kemudahan Berusaha) harus kondusif bagi pembangunan pesisir dan laut yang berkelanjutan.

Pedoman Sosial

1. Menjamin bahwa setiap anggota masyarakat pesisir harus mampu memenuhi kebutuhan dasarnya yang meliputi pangan, sandang, perumahan, kesehatan, transportasi pendidikan, dan keamanan. Dan, penghasilan minimal USD 480 (Rp 7,2 juta) per orang per bulan dari angkatan kerja (usia 15 – 64 tahun). Catatan: garis kemiskinan = USD 3,2/orang/hari (Bank Dunia, 2022).

2. Setiap anggota masyarakat pesisir dapat menikmati kebutuhan sekunder (misalnya kulkas, TV, telepon genggam, mobil, dan rekreasi) berdasarkan pendapatan dan prestasinya sendiri, dan tidak berlebihan.

3. Peningkatan kapasitas (pengetahuan, keterampilan, keahlian, dan etos kerja) masyarakat pesisir melalui program gizi, kesehatan, pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan yang lebih baik.

4. Kerukunan beragama dan budaya untuk menjamin stabilitas politik dan perdamaian.

5. Jaring pengaman sosial.

Pedoman Kelembagaan

1. Penerapan Good Governance: profesional, melayani rakyat, transparan, akuntabilitas, dan demokratis.

2. Indikator Kinerja Utama (keberhasilan) Presiden (Kepala Negara), Menteri, Anggota DPR, Gubernur, Walikota/Bupati, dan CEO tidak boleh hanya didasarkan pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan sosial (keadilan), dan kelestarian lingkungan (ESG) secara proporsional.

3. Segala proses perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan harus didasarkan pada informasi ilmiah (science-based Planning and Decision Making Process).

4. Penataan Kelembagaan yang baik, berdaya saing, dan berkesinambungan.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan industri bioteknologi kelautan untuk keamanan pangan, farmasi, dan energi menuju ekonomi biru berkelanjutan. Antara lain: Minat terhadap bioteknologi kelautan telah mendapatkan momentum di seluruh dunia dan kegiatan ini diperkirakan akan menghasilkan pertumbuhan tahunan sebesar 10 – 12% di tahun-tahun mendatang (FAO, 2014);

Lebih dari 50% obat-obatan yang digunakan saat ini berasal dari produk alami (senyawa bioaktif) biota laut, dan persentase ini jauh lebih tinggi untuk bahan pengobatan antikanker dan antimikroba; Bioteknologi kelautan merupakan ceruk dalam industri berbasis kelautan (BLUE ECONOMY). Diproyeksikan bahwa pada tahun 2030 banyak industri berbasis kelautan akan melampaui pertumbuhan ekonomi global secara keseluruhan, dengan menyediakan sekitar 40 juta pekerjaan penuh waktu yang setara.

“Diperkirakan pasar bioteknologi kelautan akan tumbuh secara signifikan di tahun-tahun mendatang, dengan pertumbuhan tambahan sebesar 2,5 miliar dolar dari tahun 2020 hingga 2024,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan RI 2001 – 2004 itu mengutip Daniotti & Haria, 2021.

Bioteknologi kelautan secara signifikan, terangnya, dapat mengatasi tantangan-tantangan sosial seperti produksi energi, agronomi, bioremediasi, pangan, pakan, kosmetik, bahan-bahan yang terinspirasi dari hayati, dan obat-obatan.

Kisah Sukses Implementasi ICM

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, indikator kinerja utama pembangunan pesisir berkelanjutan. Yaitu: Ekonomi: (1) nihil kemiskinan (rata-rata pendapatan per kapita > USD 4,446 = Rp 5.558); (2) nol pengangguran; (3) ketahanan pangan, energi, dan air yang kuat; dan (4) ekonomi kompetitif.

Sosial: (1) Koefisien GINI < 0,3; (2) Indeks Pembangunan Manusia >80; (3) Tidak stunting dan gizi buruk; (4) kerukunan sosial, budaya, dan agama; dan (5) tingkat kejahatan nol atau rendah (damai).

Lingkungan Hidup: (1) Kawasan Lindung > 30% total luas wilayah pesisir; (2) mematuhi Rencana Tata Ruang Terpadu Dataran Tinggi-Pesisir-Lautan; (3) kualitas air tinggi – sangat tinggi; (4) kondisi ekosistem pesisir (pantai, gumuk pasir, muara, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) baik – sangat baik; (5) intensitas penangkapan < MSY; dan (6) ketahanan terhadap Perubahan Iklim Global dan bahaya alam lainnya.

Adapun domain industri bioteknologi kelautanmenurut Prof Rokhmin meliputi: Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (produk alami) dari biota laut sebagai bahan baku nutraceutical (makanan & minuman sehat), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan berbagai industri lainnya.

Kedua, rekayasa genetika untuk menghasilkan induk dan benih unggul ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya. Ketiga, Rekayasa genetika mikro organisme (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. Keempat, penerapan Bioteknologi untuk Konservasi.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan indikator kinerja utama pembangunan pesisir berkelanjutan, yaitu:

Ekonomi: (1) nihil kemiskinan (rata-rata pendapatan per kapita > USD 4,446 = Rp 5.558); (2) nol pengangguran; (3) ketahanan pangan, energi, dan air yang kuat; dan (4) ekonomi kompetitif.

Sosial: (1) Koefisien GINI < 0,3; (2) Indeks Pembangunan Manusia >80; (3) Tidak stunting dan gizi buruk; (4) kerukunan sosial, budaya, dan agama; dan (5) tingkat kejahatan nol atau rendah (damai).

Lingkungan Hidup: (1) Kawasan Lindung > 30% total luas wilayah pesisir; (2) mematuhi Rencana Tata Ruang Terpadu Dataran Tinggi-Pesisir-Lautan; (3) kualitas air tinggi – sangat tinggi; (4) kondisi ekosistem pesisir (pantai, gumuk pasir, muara, mangrove, padang lamun, dan terumbu karang) baik – sangat baik; (5) intensitas penangkapan < MSY; dan (6) ketahanan terhadap Perubahan Iklim Global dan bahaya alam lainnya.

Selanjutnya, Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan tersebut mengungkapkan kisah sukses industri bioteknologi kelautan, terdiri: Representasi sederhana dari jalur bioteknologi kelautan yang pada hakikatnya bersifat interdisipliner, menggabungkan penelitian dasar dan terapan dengan sektor industri dan bisnis;

Aktivitas yang menghubungkan kebijakan dan penelitian untuk mendukung penyampaian produk dan manfaat bagi manusia dan masyarakat; Daftar contoh taksa laut yang paling menonjol, kegunaannya, dan tantangannya terhadap peningkatan produksi tidak lengkap.

Pendekatan Praktis dan Efektif (5 E)

Pertama, rekayasa memberikan landasan bagi investasi dalam infrastruktur dan teknologi lingkungan seperti teknologi tanpa limbah, teknologi 3 R, instalasi pengolahan air limbah, instalasi desalinasi, skema sanitasi dan pengentasan banjir, dan instalasi insinerasi.

Kedua, ekonomi diterapkan untuk memastikan barang dan jasa diproduksi secara efisien, dan sumber daya lingkungan yang langka diberi harga yang tepat.

Ketiga, pendidikan penting untuk membantu masyarakat (komunitas) mengubah perilaku dan sikap menjaga lingkungan (sumber daya milik bersama).

Keempat, namun pendidikan harus dibarengi dengan Penegakan karena harus ada hukuman atas perilaku dan sikap yang tidak bertanggung jawab.

Kelima, akan memakan banyak biaya dan tidak berkelanjutan jika pemerintah hanya bisa diandalkan untuk melakukan apa saja demi melindungi lingkungan. Harus Ada Keterlibatan. Masyarakat dapat dan harus mau mengambil kepemilikan atas lingkungan.

Dalam paparan penutup, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sejak zaman kuno, wilayah pesisir di dunia telah memainkan fungsi dan peran yang penting dan signifikan bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan dan peradaban manusia.

Sejalan dengan bertambahnya populasi manusia, dan fakta bahwa sumber daya alam dan jasa lingkungan di darat semakin menurun atau sulit untuk dikembangkan; maka fungsi dan peran wilayah pesisir dunia akan semakin penting di masa depan.

Sayangnya, kebijakan dan praktik terkait pembangunan pesisir dalam lima dekade terakhir secara umum tidak berkelanjutan. Hal ini tercermin dari tingginya angka pengangguran dan kemiskinan; dan di sisi lain meningkatnya pencemaran laut, hilangnya keanekaragaman hayati, rusaknya ekosistem pesisir, dan degradasi lingkungan lainnya; yang di beberapa wilayah pesisir telah mencapai tingkat yang mengancam kelestarian kapasitas suatu wilayah pesisir. Dampak negatif degradasi lingkungan diperparah oleh Perubahan Iklim Global.

Bioteknologi kelautan yang terencana, implementasi, dan MONEV dikombinasikan dengan teknologi tercanggih lainnya (Industri 4.0) telah menghasilkan peningkatan produksi, produktivitas, efisiensi, daya saing, dan keberlanjutan komoditas pesisir (sumber daya alam) yang signifikan, tambah- nilai produk, dan jasa lingkungan. Dengan kata lain, penerapan bioteknologi kelautan dan teknologi Industri 4.0 lainnya dapat meningkatkan volume produksi sumber daya alam dan produk bernilai tambah serta daya dukung wilayah pesisir.

“Sementara itu, penerapan ICM yang tepat dan berkelanjutan menjamin keberlanjutan ekosistem pesisir dalam menyediakan sumber daya alam dan sumber daya lingkungan, serta menjamin distribusi kekayaan dan peran sosial yang adil (just) di antara masyarakat. Sehingga pembangunan pesisir berkelanjutan dapat terwujud,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Komentar