Minggu, 05 Mei 2024 | 14:12
NEWS

FGA Integrated Fishery & Maritime Industry

Prof. Rokhmin Dahuri Menjabarkan Peta Jalan Pembangunan Ekonomi Perikanan Dan Maritim Menuju Indonesia Emas 2045

Prof. Rokhmin Dahuri Menjabarkan Peta Jalan Pembangunan Ekonomi Perikanan Dan Maritim Menuju Indonesia Emas 2045
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan – IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menyatakan Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas).

Hal tersebut disampaikan Prof. Rokhmin Dahuri saat memaparkan pada Focus Group Action (FGA) dengan topik “Mengembangkan Keberlanjutan Industri Melalui Energi Hijau Dan Pengelolaan Limbah Yang Terintegrasi”.  Didukung Oleh Madein Indonesia Superconnection & Ibima – Podcast Cahaya Inspirasi Nusantara Emas  di Resto Nasi Kapau Pemuda, Rawamangun & Online by Zoom, Rabu, 5 Juli 2023.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan sejumlah persoalan bangsa Indonesia dan peluang Indonesia menjadi negara maju, adil, makmur dan berdaulat yakni dengan memanfaatkan potensi kekayaan alam dari sektor kelautan dan perikanan.

Dalam paparannya,  peran sektor pembangunan dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, antara lain: Pertama, mengatasi segenap permasalahan internal sektornya secara tuntas. Kedua, membantu mengatasi permasalahan bangsa (nasional) secara signifikan dan tuntas.

Ketiga, mendayagunakan potensi pembangunan yang menjadi kewenangan sektornya untuk meningkatkan: (1) daya saing produk dan jasa yang dihasilkan dari sektornya, dan (2) pertumbuhan ekonomi (> 7% per tahun), inklusif, ramah lingkungan, dan berkelanjutan (sustainable) dalam rangka mewujudkan Indonesia Emas 2045).

“Kalau itu dikerjakan, Insya Allah kontribusi sektor kelautan, atau kemaritiman perikanan akan berkelanjutan. Itulah yang seharusnya kita jadikan sebagai roadmade supaya kita bisa menggapai Indonesia Emas,” ujar Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Lalu, lanjutnya, ketika membicarakan peta pembangunan harus mengetahui dimana kita sekarang. Sudah 78 tahun merdeka ternyata dari sisi makro saja, dari status pembangunan beberapa negara ASIA berdasarkan GNI (Gross National Income) per kapita (dolar AS) pada 2022, Indonesia baru 4.300 hingga Juli 2022. “Kita masih sebagai Negara berpendapatan menengah ke atas. Padahal jika suatu Negara disebut sebagai Negara makmur kalau GNI minimal 13.205. Sedangkan Indonesia masih jauh panggang daripada api,” sebutnya.

Kemudian, kata Prof. Rokhmin Dahuri, dari segi teknologi juga sangat memalukan karena masih di kelas tiga bukan di kelas satu. Maka, kalau kita ingin menggapai Indonesia Emas ada 10 tantangan sejumlah permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia.

Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Contoh, menurut versi BPS tahun 2002, bahwa yang miskin tinggal 9,57 persen atau sekitar 28 juta. Yakni pengeluaran Rp 550.000/orang/bulan. “Tapi kalau menurut garis kemiskinan Bank Dunia yaitu 2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS. (Rp 900.000/orang/bulan). Jumlah orang  yang miskin pada 2022 masih 100 juta jiwa (37% total penduduk), jadi apa yang harus kita banggakan,” tandasnya.

Selain itu, lanjutnya, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB menurun. Hal ini, menurutnya, situasi deindustrilisasi terjadi di suatu Negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya maupun sebelum GNI (Gross National Income) perkapita nya mencapai USS 12.516.

Kemudian, ternyata 1 dari 3an3 anak di Indonesia yang mengalami stunting pun masih 24,4 persen. “Jika tidak segerea diatasi maka generasi mendatang fisiknya lemah dan kecerdasannya rendah (a lost generation,” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Selain itu, Prof Rokhmin menambahkan, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar 22.125/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi healthy diet basket (HDB),” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip FAO.

Maka, mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022, Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi memenuhi biaya tersebut. “Saya tidak habis pikir kalau pejabat Negara bisa tidur dengan data ini,” katanya.

Yang sangat memprihatinkan, rakyat Indonesia kekurangan rumah yang sehat dan layak huni. Berdasarkan laporan Bappenas, dari 65 juta rumah tangga, masih 61,7 % rumah tidak layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Di samping itu, jika berbicara pembangunan Indonesia dari sudut ekonomi persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat rumusnya yaitu: 1. Pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. 2. Investasi + Ekspor harus lebih besar dari Konsumsi dan Impor. 3. Koefisien Gini lebih kecil 0,3 (inklusif), 4. Ramah lingkunan dan berkelanjutan.

Jadi, jika dilihat pendekatan sistem untuk mewujudkan Indonesia Emas (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045 ada 10 indikator masalah yaitu: GNI/Kapita baru USS 4.300, Kapasitas Teknologi masih kelas 3, Kemiskinan masih 10,2%, Pengangguran masih 7,2%, Konfisien Gini 0,384, Masih impor pangan, minyak, dan bahan farmasi, IPM 0,71, Polhukam kurang berdaulat, Buruh – Sandang,

Saharusnya dari output yang kita harapkan maka 4 kelompok kebijakan yaitu kelompok ekonomi, kelompok sosial budaya, kelompok polhukam, kelompok lingkungan harusnya dikerjakan. “Dan ini seharus di sidang kabinet ditekankan sebagai pedoman bagaimana menyusun kebijakan ekonomi, sosbud, polhukam, dan lingkungan hidup,” tegasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menterjemahkan definisi tujuh kebijakan pembangunan TSE. Yakni: 1. Dari dominasi eksploitas SDA dabn ekspor komoditias (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur atau Hilirisasi (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor Tersie) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

2. Dari dominasi impor dan konsumsi ke investasi, produksi,  dan ekspor. 3. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sedangkan ciri Ekonomi Modern, kata sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut, antara lain: Pertama, ukuran unit usaha memenuhi economy of scale. Kedua, menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System). Ketiga, Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai Supply Chain System dan Keempat, mengikuti prinsip-prinsip Sustainable Development.

Keempat, Revitalisasi industry manufacturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan produk tekstil), (3) Elektronik, ($) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. Kelima, Pengembangan industry manufacturing baru: EBT, Semikonduktor, CHIPS, Baterai Nikel, Electrical Vehicle, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi, Kreatif, dan lainnya.

Keenam, Pengembangan berbagai ekonomi dan industry di Luar Jawa, Wilayah Perdesaan, dan Wilayah Perbatasan. Ketujuh, semua pembangunan ekonomi (butir 1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Digital (Industry 4.0) serta TKDN  lebih 70%.

“Yang dimaksud Ekonomi Kelautan (Marine Economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Maka, jelasnya, atas dasar definisi itu total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: USS 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.400 triliun = USS 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. “Kalau kita garap serius seharusnya 11 sektor ekonomi kelautan bisa providing sekitar 45 juta lapangan kerja atau 40% total angkatan kerja Indonesia,” katanya.

Dan tahun 2019 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), Kontribusinya lebih 30%.

Adapun estinasi nilai ekonomi sektor-sektor ekonomi kelautan Indonesia yaitu: Perikanan Tangkap (KKP), Perikanan Budidaya (KKP), Industri Pengolahan Hasil Perikanan (KKP), ESDM (Garam, BMKT, KKP), Pariwisata Bahari, Tranportasi Laut, Industri dan Jasa Maritim, Coastal Forestry, Sumber Daya Wilayah Pulau Kecil (KKP), Sumber daya Non-Konvensional (KKP).

Sedangkan, sektor Perikanan, ESDM, dan Wisata Bahari berkontribusi hampir 80% dari total PDB ekonomi biru pada tahun 2021. Tetapi, menurut Martin Stopford, maritime ekconomy hanya mencakup includes sea transportation, ship building and maintenance (pembuatan kapal dan perawatannya), port construction anda operations (pembangunan pelabuhan dan pengoperasiannya), and their related industries and services. “Ekonomi maritim adalah bagian dari ekonomi kelautan,” ujarnya.

“Jika potensi blue economy didayagunakan dan dikelola berbasis inovasi IPTEKS dan manajemen profesiona, maka sektor-sektor ekonomi ekonomi kelautan diyakini akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi segenap permasalahan bangsa, dan mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” tuturnya.

1. Kecuali sektor ESDM, investasi dan bisnis di sektor-sektor kelautan lainnya (perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan pariwisata bahari) dilakukan secara tradisional (low technology & managemen) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro. Sehingga, produktivitas, efisiensi, daya saing, dan sustainability usaha (bisnis) pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

2. Pada umumnya, tingkat pemanfaatan sektor-sektor ekonomi kelautan belum optimal dan sustainable. Kontribusinya bagi perekonomian bangsa (PDB, nilai ekspor, PNBP, dan lapangan kerja) pun masih rendah.

3. Investasi dan bisnis sektor kelautan yang besar (korporasi), modern, dan sangat menguntungkan (ESDM, Kawasan Industri, Properti, dll) pada umumnya kurang nasionalismenya. Sebagian besar profit dibawa ke Jakarta atau Negara asalnya (regional leakage), gaji karyawan rendah, dan lingkungan hidup umumnya rusak.

4. Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga (Supply Chain System) Perikanan sangat marginal. Nelayan dan Pembudidaya terjebak dalam Kemiskinan Struktural.

5. Rendahnya akses nelayan, pembudidaya ikan, dan stakeholder kelautan UMKM lainnya kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainya yakni Kemiskinan Struktural.

“Betapa kontribusi perikanan dalam kelompok agro (pertanian) di ranking kedua setelah Tanaman Perkebunan, kontribusinya baru 469,59 triliun,” terangnya.

6. Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing.

7. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisi, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain.

8. Kecelakaan dan keamanan di laut.

9. Dampak negative Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencana alam lain.

10. Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relative rendah.

11. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiscal, RTRW, iklim, investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Prof. Rokhmin Dahuri juga menyoroti posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam sistem tata niaga sangat tidak diuntungkan. Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik. Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.

“Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases). Selain itu, pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran,” tuturrya.

Kebanyakan nelayan, sebutnya, kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijaksana (“lebih besar pasak dari pada tihang”). “Terjadi overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing,” ujarnya.

Prof. Rokhmin Dahuri juga mempertanyakan bunga bank di Indonesia masih tertinggi di dunia. Antara nelayan Indonesia dengan nelayan Vietnam, Malaysia dan Thailand sudah jauh sekali. “Nelayan Lain bisa pinjam dengan bunga hanya 3,1% - 7,8%, sedangkan kita 8,9%,” tukasnya.

Selanjutnya bagaimana membangun bangsa ini supaya bangsa ini menjadi Poros Maritim Dunia (PMD). Dari perspektif pembangunan bangsa, kebijakan untuk menjadikan Indonesia sebagai PMD merupakan bagian integral dari upaya nasional menuju Indonesia Emas 2045.

“Intinya PMD mencakup dua tataran: filosofis dan praksis,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Tataran Filosofis, yakni PMD berarti reorientasi paradigm (Plarform) pembangunan bangsa, dari berbasis daratan (land-based development) menjadi berbasis kelautan (marine-based development). Dan, Tatanan Praktis, yakni PMD bermakna menjadikan Indonesia sebagai Negara maritim yang maju, adil-makmur dan berdaulat berbasis pada ekonomi kelautan, hankam dan budaya maritim serta mampu menjadi a role model (teladan) dunia dalam berbagai bidang kelautan seperti pendidikan, IPTEK, infrastruktur, ekonomi, hankam, dan tata kelola kelautan (ocean governance). “Itu baru maritim dunia bukan hanya bakar, tenggelam dan merotorium,” tegasnya.

“Kemudian policy nya apa yang kita inginkan Indonesia Negara Maritim yang Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat, terdiri 1. Daya Saing, 2. Pendapatan Rakyat Tinggi (>USS 13.205) dan hidup sejahtera, 3. Pengangguran menurun 4%, 4. Berdaulat Pangan, Energi, Farmasi, dan Hankam, 5. Ramah Lingkungan dan Sustinable, 6. Keadilan Sosial dan Hukum, lalu kita punya potensi 11 sektor ekonomi.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, kebijakan dan program pembangunan untuk menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia yaitu: 1. Penegakan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut (UNCLOS 1982) dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpas Hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat penegak hukum laut, dan masyarakat pesisir.

2. Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. 3. Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, dan sustainability) seluruh sektor dan bisnis Ekonomi Kelautan yang ada sekarang (existing).

4. Pengembangan sektor-sektor Ekonomi Kelautan baru, seperti: industry bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, offshore aquaculture, deep sea fishing, deep sea mining, deep sea water industry, dan Floating city.

5. Pengembangan pusat-pusat pertumbunan ekonomi (kemakmuran) baru di wilayah pesisir sepanjang ALKI, pulau-pulau kecil, dan wilayah perbatasan, dengan model Kawasan Industri Maritim Terpadu berskala besar (big-push development model).

6. Penguatan dan pengembangan program Tol Laut dan Digital Connectivity, termasuk pengembangan ekonomi dan industri di luar Jawa, khususnya di wilayah KTI dan kawasan tertinggal lainnya (dari Jawa Sentris ke Indonesia Sentris).

7. Semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of Scale); (2) integrated Supply Chain Managemetn System; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantasi suplai,dan (4) Sustainable Development Principles.

8. Seluruh proses produksi, pengolahan (manufacturing), dan transportasi di semua Sektor Ekonomi Kelatan harus secara gradual meninggalkan penggunaan energy fosil, dan menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): Solar, pasang surut, gelombang, angin, biofuel dan lainnya.

9. Eksplorasi dan ekspoitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.

10. Implementasi pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).

11. Mitigasi dan adaptasi terhadap Global Climate Change, tsunami, dan bencana alam lainnya.

12. Peningkatan kualitas dan kuantitas SDM keluatan.

13. Penguatan dan dan pengembangan R & D guna menguasai, menghasilkan, dan menerapkan IPTEKS.

14. Penciptaan iklik investasi dan Ease of Doing Business yang kondusif dan atraktif.

15. Peningkatan budaya maritime bangsa.

16. Kebijakan politik-ekonomi8 (fiscal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dll) yang kondusif: Policy Banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan.

“Seharusnya, kita fokus pada 6 sektor kalutan: 1. Perikanan Budidaya (Aquaculture), 2. Perikanan Tangkap (Capture Fisheries), 3. Industri Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 4. Industri Bioteknologi Perairan, 5. Pariwisata Bahari, dan 5. Perhubungan Laut,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Investasi dan Bisnis ESG Perikanan Budidaya

Secara khusus Prof Rokhmin Dahuri mengupas tentang investasi dan bisnis ESG perikanan budaya. Ia memaparkan sejumlah langkah yang harus dilakukan oleh stakeholder perikanan dan kelautan.

Pertama, Revitalisasi semua unit usaha (bisnis) budidaya laut (mariculture), budidaya perairan payau (coastal aquaculture), dan budidaya perairan darat untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi, daya saing, inkulsivitas, dan keberlanjutan (sustainability) nya.

Kedua, Ekstensifikasi usaha di kawasan perairan baru dengan komoditas unggulan, baik di ekosistem perairan laut (seperti kakap putih, kerapu, lobster, dan rumput laut Euchema spp); perairan payau (seperti udang Vaname, Bandeng, Nila Satin, Kepiting, dan rumput laut Grachilliaria spp); maupun perairan darat (seperti nila, patin, lele, mas, gurame, dan udang galah).

Ketiga, Diversifikasi usaha budidaya dengan spesies baru di perairan laut, payau, dan darat.

Keempat, Pengembangan (diversifikasi) usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industry farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Komentar