Selasa, 18 Juni 2024 | 02:16
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong UIN Raden Intan Lampung Hasilkan Lulusan Mampu Hadapi Era Society 5.0

Prof. Rokhmin Dahuri Dorong UIN Raden Intan Lampung Hasilkan Lulusan Mampu Hadapi Era Society 5.0
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung, menggelar Sarasehan Mahasiswa “Menyemai Spirit Patriotisme dan Heroisme Bagi Millenialis Muda di Era 5.0” di Gd, Akademik dan Riset Center UIN Raden Intan Lampung, Senin, 8 Mei 2023.

Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS menjelaskan, society 5.0 adalah manusia yang dapat menyelesaikan berbagai tantangan dan permasalahan sosial dengan memanfaatkan berbagai inovasi yang lahir di era Revolusi industri 4.0 dan berpusat di teknologi. Society 5.0 diperkenalkan oleh pemerintahan Jepang pada tahun 2019. Banyak tantangan dan perubahan yang harus dilakukan di era society 5.0 ini, terutama dalam bidang Pendidikan.

“Perguruan tinggi berperan dalam menghasilkan lulusan yang kompeten dan mampu menghadapi society 5.0. Proses pembelajaran yang diharapkan memiliki tiga komponen, yaitu kemampuan memecahkan masalah yang kompleks, berpikir kritis, serta berkreativitas,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri dalam makalah bertema “Menyemai Spirit Patriotisme Dan Nasionalisme Bagi Millenialis Muda Di Era 5.0 Menuju Indonesia Emas 2045”.

Konsep Society 5.0, jelasnya, mengusung keseimbangan dalam 5 unsur utama yang ada dalam kehidupan seorang manusia yakni: emosional, intelektual, fisikal, sosial, spiritualitas untuk keseimbangan. 5 Kompetensi untuk menghadapi Society 5.0: Leadership, language skill, IT literacy, writing skill.

Menurutnya, Perguruan Tinggi (PT) memegang peran yang paling sentral dan strategis di dalam membangun SDM unggul dan kapasitas inovasi bangsa Indonesia. Untuk itu, Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kapasitasnya (a World-Class University) untuk menghasilkan 3 output utamanya/TRI DARMA: lulusan SDM unggul, invensi dan inovasi, dan pengabdian kepada masyarakat yang mensejahterakan rakyat. “Serta turut membangun Dunia yang lebih sejahtera, adil, damai, dan berkelanjutan (sustainable),” tuturnya.

Lanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri memberikan gambaran Umum perguruan tinggi Indonesia. Pada 2020 ada 4.593 Perguruan Tinggi, 8,48 Juta Mahasiswa terdaftar, 29.413 Program Studi, 312.890 Dosen.

Mengutip Kemenristek Dikti/Kemendikbud Ristek, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan, strategi pembangunan pendidikan. Antara lain: Pertama, Kualitas dan Layanan Pendidikan Merata. Kedua, Peran Masyarakat dalam Pembangunan Pendidikan. Ketiga, Profesionalisme Guru dan Perubahan Metode Pembelajaran. Keempat, Budaya Sekolah dan Baca. Kelima, Pendidikan Vokasi, Enterpreneurship, dan Karakter.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan kekurangan/kelemahan siswa dan mahasiswa Indonesia. Yaitu: Pertama, Siswa dan Mahasiswa Indonesia cenderung takut berbicara (menyampaikan pendapat) dan berbeda pendapat. “Hal ini terutama disebabkan karena Guru dan Dosen kurang bersikap terbuka terhadap kritik. Siswa dan Mahasiswa Indonesia kurang membaca dan kemampuan literasinya rendah,” katanya.

Kedua, Kemampuan analisis, sintesis, dan pemecahan masalah dari Mahasiswa Indonesia pada umumnya rendah. Ketiga, Daya kritis, kreativitas, dan inovasi rendah. Keempat, Kolaborasi, entrepreneusrship, dan leadership (Soft Skills) umumnya rendah.

Maka, Prof. Rokhmin Dahuri merekomendasi untuk UIN Raden Intan Lampung Menjadi A World-Class University. Yakni: 1. Pendirian PRODI baru: (1) Industry 4.0, (2) Society 5.0, dan (3) “Ilmu, Teknologi, dan Manajemen Lingkungan” terutama “Science and Technology of Changing Planet”.

2. Penambahan Mata Kuliah baru yang wajib diikuti oleh semua PRODI: (1) Teknologi dan Ekonomi Digital (Digitalisasi, IoT, AI, Blockchain, Robotics, Big Data, Cloud Computing, dan Metaverse); (2) Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Biru (Blue Economy), dan Ekonomi Pancasila.

3. Implementasi MBKM (Merdeka Belajar Kampus Merdeka) semaksimal dan sebaik mungkin. 4. Penambahan dan penguatan Dosen dan tenaga non-akademik berkelas dunia.

5. Renovasi dan pembangunan baru infrastruktur dan sarana Kampus, seperti Laboratorium yang lengkap, fasilitas gedung dan ruang belajar yang memadai, dukungan fasilitas perpustakaan dan sebagainya.

6. Semua komponen UIN Raden Intan Lampung (Dosen, Mahasiswa, Tenaga Non-Akademik, dan Pimpinan) mesti mengeluarkan kemampuan terbaiknya, dan bekerjasama secara sinergis.

7. Peningkatan Kolaborasi Penta Helix: UIN Raden Intan Lampung – Pemerintah – Industri (Swasta) – Masyarakat – Media Masa. 8. Perbaikan tata kelola (governance) UIN Raden Intan Lampung. 9. Peningkatan anggaran: APBN, APBD, Donasi (nasional dan luar negeri), dan lainnya.

Kemudian, untuk meningkatkan pendidikan karakter, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan, antara lain: Kurikulum pendidikan dirancang untuk mengembangkan sikap positif seperti rasa percaya diri, tanggung jawab, dan semangat untuk berkontribusi pada masyarakat dan bangsa; Memberikan pengalaman belajar lapangan: kunjungan ke tempat-tempat bersejarah, pertemuan dengan para pejuang kemerdekaan, atau kegiatan sosial seperti bakti sosial;

Mendorong kegiatan sosial dan kepemimpinan: organisasi sosial, komunitas, dan kegiatan pengembangan diri dapat membantu siswa untuk mengembangkan sikap dan keterampilan yang penting dalam membangun karakter patriotik dan berheroisme;

Mengadakan diskusi dan forum: diskusi dan forum dapat membantu mahasiswa memahami masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat dan bangsa, serta meningkatakan kesadaran akan pentingnya menjaga keutuhan dan keberlangsungan Negara;

Meningkatkan kerjasama dengan komunitas: kerjasama dengan komunitas membantu membangun karakter partiotik dan heroism. Kegiatan kerjasama dapat berupa kegiatan sosial, magang, atau kunjungan ke komunitas-komunitas;

Mengembangkan teknologi edukasi: teknologi edukasi dapat membantu siswa belajar dengan lebih fleksibel dan efektif, serta membantu membangun karakter patriotic dan berheroisme.

Sedangkan, peningkatan peran mahasiswa dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045, yaitu: Pertama, Meningkatkan kemampuan literasi. Kedua, Meningkatkan kapasitas Hard Skills (Intelectual Quotion) dan Soft Skills (Emotional Quotion). Ketiga, Meningkatkan Iman dan Taqwa menurut Agama dan Kepercayaan masing-masing.

Profil UIN Raden Intan  Lampung

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung merupakan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam tertua dan terbesar di Lampung. Pada tahun 2016 mendapatkan persetujuan/izin prinsip dari Presiden Republik Indonesia bahwa IAIN Raden Intan Lampung menjadi Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dengan motto Intelectuality, Spirituality, dan Integrity.

Visi UIN Raden Intan Lampung antara lain, terwujudnya Universitas Islam Negerai Raden Inten Lampung sebagai rujukan Internasional dalam pengembangan ilmu keislaman integrative-multidisipliner berwawasan lingkungan tahun 2035.

Sedangkan misi UIN Raden Intan Lampung, yaitu: pertama, menyelenggarakan pendidikan ilmu keislaman integratif-multidisipliner berwawasan lingkungan yang memiliki keunggulan dan daya saing internasional; 2. Mengembangkan riset ilmu keislaman integratif-multidisipliner yang relecan dengan kebutuhan masyarakat dan pengembangan lingkungan; 3. Menyelenggarakan pengabdian berbasis riset untuk kepentingan pengembangan masyarakat dan lingkungan; dan 4. Menjalin kera sama dalam dan luar negerai untuk penguatan kelembagaan.

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan strategi menjadikan UIN Raden Intan Lampung sebagai a World-Class University. Antara lain: IMTAQ & Akhlak Mulia mutlak diperlukan untuk atasi Kegagalan Sistem Pendidikan Kapitalis; Peran dan Kontribusi Universitas (Perguruan Tinggi) Bagi Pembangunan Ekonomi dan Peradaban Manusia.

Sejak pertama kali berdirinya Universitas di dunia, Bayt Al-Hikmat di Bagdhad (Wallace-Murphy, 2017), melalui 3 tugas-fungsi  (domain) utamanya (Pendidikan, Penelitian, dan Pengabdian Kepada Masyarakat/Community Services); Universitas telah berperan dan berkontribusi sangat signifikan bagi pembangunan peradaban umat manusia pada umumnya, dan pembangunan ekonomi (economic development) pada khususnya.

“Peran utama Universitas dalam mendukung pembangunan ekonomi dilaksanakan melalui akselerasi inovasi dan kewirausahaan (entrepreneurship),” jelas Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Yusuf and Nabeshima.

Lebih lanjut, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan, Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang sangat besar dan lengkap untuk menjadi negara-bangsa yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas).

Namun, tegasnya, karena belum ada Peta Jalan Pembangunan Bangsa (Nasional) yang komprehensif dan benar serta dilaksanakan secara berkesinambungan, kualitas SDM relatif rendah, dan defisit kepemimpinan (nasional, propinsi, kabupaten/kota, dan desa). “Maka, sudah 77 tahun merdeka, Indonesia masih sebagai ‘lower-middle income country’, belum sebagai negara yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Cita-Cita Kemerdekaan RI),” katanya.

Pada kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa Indonesia memiliki modal dasar pembangunan, di antaranya jumlah penduduk 278 orang (terbesar keempat di dunia) dengan jumlah kelas menengah yang terus bertambah, dan dapat bonus demografi dari 2020 – 2040 merupakan potensi human capital (dasya saing) dan pasar domestic yang luar biasa besar.

Kaya Sumber Daya Alam (SDA) baik di darat maupun di laut. Posisi geoekonomi dan geopolitik yang sangat strategis, dimana 45 % dari seluruh komoditas dan produk dengan nilai 15 trilyun dolar AS/tahun dikapalkan melalui ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).

“Selat Malaka (ALKI-1) merupakan jalur transportasi laut terdapat di dunia, 200 kapal/hari. Rawan bencana alam (70% gunung berapi dunia, tsunami, dan hidrometri) mestinya sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” terangnya.

1970 jumlah rakyat miskin 60% dari total penduduk, 2014 jumlah rakyat miskin 12% dari total penduduk, 2019 jumlah rakyat miskin, 9,2% dari total penduduk, 2022 jumlah rakyat miskin 9,6% dari total penduduk.

Penyebab Ketertinggalan Indonesia

Pertama kali dalam sejarah NKRI Pada tahun 2019 angka kemiskinan lebih kecil dari 10% Namun, dampak dari pandemi Covid-19, pada 2022 tingkat kemiskinan meningkat lagi menjadi 9,6% atau sekitar 26,4 juta orang

Bahkan, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, dalam Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61.

Pada 2017-2019, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2019 diurutan ke-50 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN. Pada Juli 2021,Indonesia turun kelas kembali menjadi negara menengah bawah.

Penyebab ketertinggalan Indonesia secara internal, jelasnya, pertama, belum ada “Road Map Pembangunan Nasional yang Komprehensif, Tepat, dan Benar” yang dilaksanakan secara berkesinambungan; Kedua, kualitas SDM (knowledge, skills, expertise, etos kerja, nasionalisme, dan akhlak) relatif rendah;

Lalu, ketiga, sistem politik demokrasi liberal (Kapitalisme) yang sarat dengan politik uang dan kemunafikan, lemahnya dan ketidakadilan penegakkan hukum , dan KKN massif; 4. Belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ kokoh, dan ikhlas membangun bangsa.

Sedangkan secara eksternal yaitu: 1. Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang; 2. Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat, Pandemi, dan konflik geopolitik ; dan 3. Pertarungan ideologi.

"Keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara politik-ekonomi negara berkembang Disrupsi akibat kemajuan IPTEK yang sangat pesat dan Pandemi Pertarungan ideologi," sebut Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Tak hanya itu, Nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’). Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal).

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain, 1. Pertumbuhan ekonomi rendah (<7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing dan IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10. Volatilitas Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0).

Selanjutnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. "Hingga 2021, peringkat Global Innovation Index (GII) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN," katanya.

Perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2022), yakni pengeluaran Rp 550.000/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan.

Sedangkan, menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 900.000)/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2022 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk). Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%

Prof. Rokhmin Dahuri mengungkapkan, ternyata kekayaan 4 orang terkaya (US$ 25 M = Rp 335 T) sama dengan total kekayaan 100 juta orang termiskin (40% penduduk) Indonesia (Oxfam, 2017). Sekitar 0,2% penduduk terkaya Indonesia menguasai 66% total luas lahan nasional (KPA, 2015).

“Sekarang, menurut Institute for Global Justice,  175 juta ha (93% luas daratan Indonesia) dikuasai oleh para konglomerat (korporasi) nasional dan asing. Itu yang namanya oligarki yang berkolaborasi dengan politikus nakal,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Deindustrilisasi terjadi di suatu negara, jelasnya, manakala kontribusi sektor manufakturnya menurun, sebelum GNI  (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536. Sementara, trend naiknya proporsi angkatan kerja di sektor informal. Kontribusi sektor industri manufakturing menurun, tetapi menurut Bank Dunia dan IMF, rata-rata pendapatan perkapita belum mencapai US$ 12.161 (high-income country = negara makmur).

Kemudian, Indeks Ketahanan Pangan Indonesia berada di peringkat Ke 63 Dunia. Neraca Perdagangan Komoditas Pangan 17 Tahun terakhir tanpa perkebunan. “Kenyataan yang terjadi adalah ekspor yang relatif stabil dan impor pangan yang terus meningkat sejak tahun 2013 hingga 2017. Defisit neraca perdagangan komoditi pangan terus meningkat dan tahun 2017 mencapai 10,86 milyar US$,” sebut Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Dari data impor 6 komoditas di atas, terangnya, secara volumetrik cenderung mengalami peningkatan dari 20,6 Juta Ton (2017) menjadi 22,2 juta ton (2020). Ekonomi sepanjang tahun 2021 tumbuh sebesar 3,69% (c-to-c). Capaian pertumbuhan ini lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun 2020 yang terkontraksi 2,7 persen sebagai dampak dari pandemic Covid-19 yang melanda seluruh dunia termasuk Indonesia.

Tak kalah rumitnya, lanjut Prof. Rokhmin Dahuri, permasalahan bangsa lainnya adalah disparitas pembangunan antar wilayah. Pulau Jawa yang luasnya hanya 5,5% total luas lahan Indonesia dihuni oleh sekitar 55% total penduduk Indonesia, dan menyumbangkan sekitar 59% terhadap PDB (Produk Domestik Bruto).

Sementara pada musim kemarau, P. Jawa mengalami kekeringan (deficit) air yang semakin parah. Dalam pada itu, potensi pembangunan berupa SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang begitu melimpah, tidak dimanfaatkan secara optimal atau dicuri pihak asing. Implikasi lainnya adalah biaya logistik Indonesia menjadi salah satu yang termahal di dunia, sekitar 24% PDB (UNCTAD, 2021).

Sejak krisis multidimensi 1997 – 1998, Indonesia mengalami deindustrialisasi, yakni suatu kondisi perekonomian negara, dimana kontribusi sektor manufakturing (pengolahan) nya sudah menurun, tetapi GNI  (Gross National Income) per kapitanya belum mencapai 12.536 dolar AS (status negara makmur). “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%. Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita,” ujar Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Sementara, sambungnya. pertumbuhan Ekonomi dan Kontribusi PDRB Menurut Pulau, Triwulan III dan IV-2022, masih di dominasi oleh kelompok Provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-3 sebesar 56,3% dan TW-4 sebesar 56,48%. “Pada 1996 kontirbusi sektor manufacturing terhadap PDB Indonesia sudah mencapai 29%, tapi tahun 2020 kontribusinya hanya sebesar 19%Padahal, seperti sudah saya sebutkan diatas, GNI perkapita Indonesia tahun lalu hanya 3.870 dolar AS,” tandasnya.

Masalah yang sangat mencemaskan, katanya, adalah bahwa 30% anak-anak kita mengalami stunting, 17,7% bergizi buruk, dan 10,2% berbadan kurus akibat kurang makanan bergizi (Kemenkes dan BKKBN, 2022). Apabila masalah krusial ini tidak segera diatasi, maka generasi penerus kita akan menjadi generasi yang lemah fisi

Resultante dari kemiskinan, ketimpangan ekonomi, stunting, dan gizi buruk adalah IPM Indonesia yang baru mencapai 72 tahun lalu. “Padahal, menurut UNDP sebuah bangsa bisa dinobatkan sebagai bangsa maju dan makmur, bila IPM nya lebih besar dari 80,” katanya.

Biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar Rp 22.126/hari atau Rp 663.791/bulan. Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi Helathy Diet Basket (HDB) (FAO, 2020). Atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi biaya teresebut (Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022).

Masalah lainnya, Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 45 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945. “Hingga 2021, Indeks Pembangunan Manusia Indonesia berada diurutan ke-114 dari 191 negara, atau peringkat ke-5 di ASEAN,” katanya.

Hingga 2022, terangnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Prediksi Ekonomi Indonesia Tahun 2023

Kemudian, Prof Rokhmin menjabarkan, hanya IMF, AMRO (Asean + 3 Macroeconomic Research Office), Kemenkeu, dan Bank Indonesia yang memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa mencapai 5%.  Sedangkan, lembaga internasional lainnya (World Bank, ADB, Bloomberg, dan OECD) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan lebih rendah dari 5% (IMF,World Bank, 2023). “Tahun lalu (2022) pertumbuhan ekonomi – RI mencapai 5,3%. Target pemerintah untuk pertumbuhan ekonomi tahun ini sebesar 5,3%,” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Kemenkeu.

Sedangkan, penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi RI tahun ini: (1) belum tuntasnya Pandemi Covid-19 dan Krisis Properti di China, (2) krisis perbankan di AS (SVB) dan Eropa (Credit Suisse), (3) Perang Rusia vs Ukraina yang mengakibatkan disrupsi Rantai Suplai Global, (4) ketegangan geopolitik dan fragmentasi global yang kian meningkat, (5) perlambatan ekonomi global, dan (6) rendahnya produktivitas, daya saing, dan sustainability ekonomi Indonesia.

Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, kemajuan dan kemakmuran suatu bangsa ditentukan oleh ‘innovation-driven economy’. Terlebih di dunia yang highly interconnected dan  globalisasi yang ciri utamanya free trade and competition, maka  inovasi adalah kunci untuk memenangi persaingan. “Sayangnya, hampir semua indikator yang terkait dengan dengan kapasitas IPTEK, Riset, Inovasi, dan Kualitas SDM kita bangsa Indonesia, itu masih rendah (tertinggal),” ujarnya.

Malangnya, kata Prof Rokhmin,  dari semua indikator, kapasitas IPTEK dan inovasi bangsa Indonesia, tak terkecuali di sektor Kelautan dan Perikanan, sampai sekarang tergolong rendah. Ia lalu menguraikan penyebab rendahnya kapasitas inovasi bangsa Indonesia.

Pertama, kebanyakan aktivitas R & D (Litbang) hanya untuk menghasilkan tulisan ilmiah (research just for research) dan prototipe teknologi (invensi).  “Sedikit sekali (3-4%) yang menghasilkan produk inovasi komersial yang dibutuhkan umat manusia dan pembangunan. Hasil penelitian tidak sesuai dengan kebutuhan pasar atau pembangunan bangsa,” ujarnya.

Kedua, rendahnya kreativitas, daya inovasi, dan entrepreneurship kebanyakan peneliti (Perguruan Tinggi, LIPI, BPPT, dan Kementerian). Ketiga, mayoritas pengusaha (industri) mengharapkan ‘quick-short wins’ dalam jangka pendek.  Sedangkan, sebagian besar inovasi bisa komersial dan diproduksi masal setelah sekitar lima tahun.

“Tingkat keberhasilan Indonesia mentransformasi (mengindustrikan) hasil penelitian dari tahap prototipe (technological readiness) yang sudah mendapatkan hak paten menjadi produk teknologi komersial hanya 3,5%. Sedangkan Indeks kreativitas dunia tahun 2015,  Indonesia berada pada urutan ke-115 dari 139 negara (urutan ke-6 di Asean),” kata kata Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat 2022 – 2026 itu.

Hingga 2022, lanjutnya, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Selain itu, Prof. Rokhmin Dahuri menerangkan, jumlah wirausahawan di Indonesia dan beberapa Negara Asean, yaitu Singapura 8 persen dari jumlah penduduk, Malaysia 5 persen, Thailand 4 persen, Indonesia 3,1 persen. “Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk,” sebut Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Hingga 2019, sambungnya, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN.

Tingkat Literasi Negara Di Dunia

Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked, dilakukan oleh Central Connecticut State University pada 2016, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Hingga 2022, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-75 dari 132 negara, atau ke-6 di ASEAN. Pada 2018-2022, indeks daya saing Indonesia semakin menurun, hingga 2022 diurutan ke-44 dari 141 negara, atau peringkat ke-4 di ASEAN

Penilaian adopsi teknologi untuk peningkatan ekonomi dan efisiensi di berbagai bidang diukur dari faktor pengetahuan, teknologi, dan kesiapan adopsi teknologi untuk masa depan. Pada 2022, Indonesia berada pada urutan ke-51 dari 63 negara. Hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Indeks Alibaca) Nasional, pada 2019, Indeks Alibaca Nasional termasuk di level rendah (37,32). 9 provinsi masuk dalam level sedang (26%); 24 provinsi masuk level rendah (71%); dan 1 provinsi masuk level sangat rendah (3%). “Sementara Indeks Alibaca tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta (58,16),” terangnya.

implikasi dari rendahnya kualitas SDM, kapasitas riset, kreativitas, inovasi, dan entrepreneurship adalah: Proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%; selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah.  Sementara, Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%. (UNCTAD dan UNDP, 2021).

Key Global Trends

Pada prinsipnya, jelas Prof. Rokhmin Dahuri, ada 5 kecenderungan global (key global trends) yang mempengaruhi kehidupan dan peradaban manusia di abad-21, yakni: (1) jumlah penduduk dunia yang terus bertambah; (2) Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat); (3) Perubahan Iklim Global (Global Climate Change); (4) Dinamika Geopolitik; (5) Era Post-Truth.

Pertama adalah jumlah penduduk dunia yang terus bertambah. Pada 2011 jumlah penduduk dunia sebanyak 7 milyar orang, kini sekitar 7,9 milyar orang, tahun 2050 diperkirakan akan menjadi 9,7 milyar, dan pada 2100 akan mencapai 10,9 milyar jiwa (PBB, 2021).

Implikasinya tentu akan meningkatkan kebutuhan (demand) manusia akan bahan pangan, sandang, material untuk perumahan dan bangunan lainnya, obat-obatan (farmasi), jasa pelayanan  kesehatan, jasa pelayanan pendidikan, prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi, jasa rekreasi dan pariwisata, dan kebutuhan manusia lainnya.

Implikasi selanjutnya adalah bahwa magnitude dan laju eksplorasi serta eksploitasi SDA dan jasa-jasa lingkungan (envrionmental services) baik di wilayah (ekosistem) daratan, lautan maupun udara akan semakin meningkat.

Kedua, era Industri 4.0 (Revolusi Industri Keempat) yang melahirkan inovasi teknologi dan non- teknologi baru yang mengakibatkan disrupsi hampir di semua sektor pembangunan dan aspek kehidupan manusia. Jenis-jenis teknologi baru yang lahir dan berubah super cepat di era Industri 4.0 berbasis pada kombinasi teknologi digital, fisika, material baru, dan biologi.

Antara lain adalah IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Blockchain, Robotics, Cloud Computing, Augmented Reality dan Virtual Reality (Metaverse), Big Data, Biotechnology, dan Nannotechnology (Schwab, 2016). Namun, hingga saat ini perkembangan industri teknologi digital masih bergerak pada sektor jasa dan distribusi saja (e-commerce dan e-government).

“Padahal seharusnya pemanfaatan berbagai teknologi industry-4.0 dapat meningkatkan dan mengefektifkan sektor eksplorasi, produksi, dan pengolahan (manufacturing) SDA untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang terus meningkat secara berkelanjutan,” ujarnya.

Ketiga, Perubahan Iklim Global (Global Climate Change) beserta segenap dampak negatipnya seperti gelombang panas, cuaca ekstrem, naiknya permukaan laut, pemasaman laut (ocean acidification), banjir, kebakaran lahan dan hutan, dan peledakan wabah penyakit; bukan hanya mengurangi kemampuan ekosistem bumi untuk menghasilkan bahan pangan, farmasi, energi, dan SDA lainnya. Tetapi, juga akan membuat kondisi lingkungan hidup yang tidak nyaman bahkan dapat mematikan kehidupan manusia (Sach, 2015; Al Gore, 2017).

Keempat, ketegangan geopolitik yang menjurus ke perang fisik (militer) seperti yang terjadi antara Rusia vs Ukraina. Ketegangan geopolitik yang lebih besar sebenarnya adalah antara AS serta para sekutunya (seperti Jepang, Australia, Inggris, dan Uni Eropa) vs China serta sekutunya (seperti Rusia, Korea Utara, dan Iran). Selain karena faktor ideologi, penyebab ketegangan geopolitik dan perang adalah perebutan wilayah dan SDA (resource war).

Sejumlah kawasan sangat rawan terjadinya perang, sperti Timur Tengah, Afrika, Laut China Selatan, Semenanjung Korea, dan Asia Timur. Invasi Rusia terhadap Ukraina telah memicu kenaikan harga pangan dan energi, inflasi yang tinggi, dan resesi ekonomi global. Akibat dari terganggunya produksi pupuk, pangan, dan energi serta rantai pasok global.

Kelima, Post-truth atau Paska Kebenaran adalah kondisi di mana fakta (kebenaran) tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal (Hartono, 2018). Post-truth dianggap sebagai fenomena disrupsi dalam dunia politik yang secara besar-besaran diintensifkan oleh teknologi digital secara masif menjadi suatu prahara (Wera, 2020).

Pada era post-truth sekarang ini bangsa Indonesia perlu bersikap waspada karena hoaks politik dapat melemahkan ketahanan nasional, bahkan memecah belah NKRI, sehingga mengganggu proses pembangunan nasional yang sedang berjalan (Amilin, 2019).

Kelima kecenderungan global diatas mengakibatkan kehidupan dunia bersifat VUCA (Volatile, Uncertain, Complex, and Ambiguous), bergejolak, tidak menentu, rumit, dan membingungkan (Radjou and Prabhu, 2015).

“Oleh sebab itu, sistem dan lembaga Pendidikan Tinggi harus mampu mendesain dan memberikan kapasitas kepada para mahasiswa nya dan bangsa Indonesia yang dapat mengelola atau mengatasi fenomena VUCA tersebut,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Patriotisme Dan Nasionalisme

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, patriotisme adalah semangat cinta tanah air atau sikap seseorang yang rela mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), heroisme adalah keberanian dalam membela kebenaran, atau kepahlawanan,” terang Prof. Rokhmin Dahuri.

Patriotisme adalah sikap rela berkoban. Misalnya berkorban untuk memerdekakan negara atau mempertahankan kedaulatan wilayah. Sedangkan heroisme ialah keberanian untuk membela kebenaran. Dilakukan dengan membela hal yang memang benar dan patut, dan tidak melakukan hal yang salah.

Maka, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sifat spirit patriotisme dan nasionalisme di era 5.0, yaitu, Informatif: Era 5.0 lebih diarahkan pada penyebaran informasi tentang sejarah, kebudayaan, dan keberlangsungan suatu negara-bangsa. Inklusif: Era 5.0 lebih menekankan pada rasa kebersamaan dan solidaritas di antara seluruh masyarakat, tanpa memandang latar belakang, ras, atau agama.

Kritis: kemampuan seseorang untuk mempertanyakan dan mencari solusi atas masalah-masalah yang ada di negaranya. Kreatif: Era 5.0 lebih menekankan pada kemampuan seseorang untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat bagi negara, baik dalam bentuk teknologi, seni, atau inovasi lainnya. Global: kemampuan seseorang untuk memahami dan terlibat dalam permasalahan global, serta memahami peran suatu negara dalam permasalahan global tersebut.

Sedangkan karakter seorang patriot dan nasionalis, antara lain: 1. Mencintai tanah air, negara, dan bangsanya. 2. Berusaha maksimal dan ikhlas untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya, dan bekerjasama (kolaborasi) dengan komponen bangsa laninnya untuk melaksanakan pembangunan di setiap aspek kehidupan (sektor pembangunan) dalam rangka mewujudkan Indonesia yang  maju, adil-makmur, dan berdaulat.

3. Mendukung pemerintah dan bekerjasama dengan komponen bangsa lainnya dalam mempertahankan kedaulatan wilayah NKRI dan kehidupan berbangsa dan bernegara dari setiap rongrongan dan ancaman, baik berasal dari internal maupun eksternal, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, persyaratan dari Negara Middle-Income menjadi Negara Maju, Adil-Makmur dan Berdaulat, yaitu: Pertama, pertumbuhan ekonomi berkualitas rata-rata 7% per tahun selama 10 tahun. Kedua, I + E > K + Im. Ketiga, Koefisien Gini < 0,3 (inklusif), dan keempat. Ramah lingkungan dan berkelanjutan

Selanjutnya, Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan tersebut menguraikan, enam kebijakan dan program pembangunan, yakni: 1. Dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

2. Dari dominasi impor dan konsumsi ke investasi, produksi, dan ekspor. 3. Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. 

4. Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) Elektronik, (4) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. 5. Pengembangan industri manufakturing baru: EBT, Semikonduktor, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan lainnya.

6. Pengembangan berbagai Ekonomi dan Industri di Luar Jawa, Wilayah Perdesaan, dan Wilayah Perbatasan. 7. Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Digital (Industry 4.0) serta TKDN > 70%.

“Kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas)  yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” ujarnya.

Prof. Rokhmin DAhuri menyebutkan, total potensi ekonomi sebelas sektor kelautan Indonesia: US$ 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2019  (Rp 2.400 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,3 PDB Nasional saat ini. Sektor kelautan dan perikanan Indonesia mampu menyediakan  lapangan kerja untuk 45 juta orang atau 40 persen total angkatan kerja Indonesia. Pada 2014 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 20%. 

“Namun, pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya  lebih besar dari 30 persen,” paparnya. Disisi lain, tambahnya, Sektor Perikanan, ESDM, dan Wisata Bahari berkontribusi hampir 80% dari total PDB ekonomi biru pada tahun 2021.

Definisi Bioteknologi Kelautan

“Bioteknologi kelautan adalah teknik penggunaan biota laut atau bagian dari biota laut (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota laut untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan,” terang Prof. Rokhmin Dahuri mengutip Lundin and Zilinskas.

Sedangkan domain industri bioteknologi kelautan, antara lain: 1. Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya .

2. Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. 3. Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. 4. Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi

“Sampai sekarang, pemanfaatan Bioteknologi Kelautan Indonesia masih sangat rendah (< 10% total potensinya),” terangnya.

Banyak produk industri bioteknologi kelautan yang bahan baku (raw material) nya dari Indonesia diekspor ke negara lain, negara pengimpor memprosesnya menjadi beragam produk akhir (finished products) seperti farmasi, kosmetik, dan healthy food and bevareges lalu diekspor ke Indonesia.  Contoh: gamat, squalence, minyak ikan, dan Omega-3.

Terdapat 13 spesies microalgae di perairan Indonesia mengandung lemak (senyawa hidrokarbon) yang potensial untuk biofuel.

Empat spesies utama: Nannocholoropsis oculata (24%), Scenedesmus (22%), Chlorella (20%), dan Dunaliela salina (15%) (Kawaroe, 2010).

Selat Malaka sebagai bagian dari ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia)-1 merupakan jalur transportasi laut terpendek yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik. Menghubungkan raksasa-raksasa ekonomi dunia, termasuk India, Timur-Tengah, Eropa, dan Afrika di belahan Barat dengan China, Korea Selatan, dan Jepang di belahan Timur.

ALKI-1 melayani pengangkutan sekitar 80% total minyak mentah yang memasok Kawasan Asia Timur dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.  Jumlah kapal yang melintasi ALKI-1 mencapai 100.000 kapal/tahun.  Sementara, Terusan Suez dan Terusan Panama masing-masing hanya dilewati oleh 18.800 dan 10.000 kapal per tahun (Calamur, 2017).  Pendapatan Otoritas Terusan Suez mencapai rata-rata Rp 220 milyar/hari atau Rp 80,7 trilyun/tahun. “Malangnya, sampai sekarang, Indonesia belum menikmati keuntungan ekonomi secuil pun dari fungsi laut NKRI sebagai jalur transportasi utama global,” tandasnya.

Seiring dengan semakin masifnya bukti-bukti empiris bahwa Paradigma Pembangunan Konvensional (Kapitalisme) telah gagal mensejahterakan warga dunia, mengurangi kesenjangan kaya vs miskin, dan menjaga kelestarian SDA dan LH. Maka, sejak 1976 Konferensi PBB tentang Pembangunan dan Lingkungan di Stockholm, Swedia, dilanjutkan dengan The UN Millennium Development Goals tahun 2000, dan terakhir The UN Sustainable Development Goals (SDGs) pada 2030; pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi dan menumpuk kekayaan individual (Kapitalisme) diganti dengan pembangunan Ekonomi Berkelanjutan (Sustainable Economic Development).

Pada prinsipnya, Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan merupakan paradigma (model) ekonomi yang menyelaraskan pertumbuhan ekonomi, inklusi sosial, dan perlindungan lingkungan (Crawley, et.al., 2020).

Pembangunan ekonomi berkelanjutan terjadi ketika ada “kemakmuran dan peluang ekonomi, dan kesejahteraan sosial” sementara pada saat yang sama menyediakan “perlindungan lingkungan” (Perserikatan Bangsa-Bangsa, 2019).

Kegagalan Kapitalisme di Bidang Ekonomi

Hingga 2019 (sebelum Covid-19), sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2 per hari), dan sekitar 1 milyar orang masih miskin ekstrem atau fakir (pengeluaran < US$ 1.25 per hari).  Sekitar 700 juta warga dunia kelaparan (hungy). (World Bank, UNDP, dan FAO, 2020).

Sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses terhadap listrik, 900 juta tidak memiliki akses terhadap air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses terhadap sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses terhadap jalan dan cuaca. terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016).

Saat ini, hampir setengah dari penduduk termiskin di dunia memiliki listrik, dan hanya satu dari lima yang mendapatkan akses ke internet (PBB, 2023).

Saat ini, 2,3 miliar orang (28,75% dari populasi dunia) tinggal di negara-negara yang mengalami tekanan air (PBB, 2023).

Pada tahun 2020, 2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum, 3,6 miliar orang (45% dari populasi dunia) tidak memiliki toilet di rumah, dan 2,3 miliar orang tidak memiliki cara untuk mencuci tangan di rumah, kondisi sanitasi yang buruk menyebabkan penyakit (PBB, 2020).

Kondisi seperti itu jauh dari SDGs yang ditetapkan PBB pada 2015. Salah satunya adalah “menjamin akses air dan sanitasi untuk semua pada 2030”.

Dalam 270 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata. Misalnya, pada tahun 2010, 388 orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh bagian bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi separuh penduduk dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi tidak hanya terjadi antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019 ).Kegagalan Kapitalisme di Bidang  Lingkungan

Pertumbuhan ekonomi global selama 270 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan secara masif yang mengakibatkan krisis ekologi tiga kali lipat (polusi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan Pemanasan Global) yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk. Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global. Dari tahun 1970 hingga 2018, populasi satwa liar dunia menurun sebesar 68% (WWF, 2023).

Perubahan Iklim Global dapat secara langsung merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, banjir, dan gagal panen menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019).

Jika suhu bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019).Komparasi Negara-Negara Pembuang GRK

Kegagalan Kapitalisme di Bidang Sosial Budaya

Di seluruh dunia, Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Republik Korea itu menguraikan, khususnya di daerah perkotaan, terjadi peningkatan tingkat stres, ketegangan, dan perselisihan dalam urusan manusia, disertai dengan dan meningkatnya semua gejala anomie (penyakit sosial), seperti frustrasi, kriminalitas, alkoholisme, kecanduan narkoba. , HIV/AIDS, perceraian, pemukulan anak, penyakit mental dan bunuh diri, semuanya menunjukkan kurangnya kepuasan batin dalam kehidupan individu (Brown, 2003; Chapra, 1995).

Ketidakadilan ekonomi, pengangguran, kemiskinan absolut, dan diskriminasi politik telah dilaporkan secara luas dan diyakini sebagai akar penyebab radikalisme dan terorisme (Cavanagh dan Mander, 2004).Pandemi Covid-19 menelanjangi kedok kemunafikan negara-negara maju kapitalis dengan cara memproduksi dan menimbun vaksin jauh melebihi dari kebutuhannya.  Sementara, negara-negara berkembang (miskin) sangat kekurangan vaksin (Sundaram and Chowdury, 2021).

Contoh: Uni Eropa menimbun 3 milyar dosis vaksin (6,6 dosis/orang); AS punya 1,3 milyar dosis vaksin
(5 dosis/orang); Kanada memiliki 450 juta dosis vaksin (12 dosis/orang); Inggris punya 500 juta dosis vaksin (8 dosis/orang); dan Australia mengamankan 170 juta dosis vaksin (7 dosis/orang).

Pada 7 Juli 2021; lebih dari 3,32 miliar dosis vaksin telah diberikan, dengan 85% diberikan ke negara berpenghasilan tinggi dan menengah ke atas, dan hanya 0,3% ke negara berpenghasilan rendah. “Tingkat vaksinasi Afrika (sejauh ini 4%) adalah yang paling lambat dari semua benua, dengan beberapa negara belum memulai, sementara tingkat infeksi meningkat dengan cepat,” ujarnya.

Karena tingkat vaksinasi yang jauh lebih tinggi (> 60% total populasi, persentase minimal untuk membangun komunitas ternak), korban kematian di negara maju (kaya) turun dari 59% total resmi dunia pada Januari menjadi 15% pada Mei 2021. negara berkembang kematian pandemi sekitar 85%, namun tetap meningkat pesat (WHO, 2021).

Akibatnya, pertumbuhan ekonomi negara-negara maju pada 2021 ini diproyeksikan akan meningkat, dari 5,1% menjadi 5,6%.  Sebaliknya, di negara-negara berkembang menurun dari 6,7% menjadi 6,3% (IMF, 2021). Ketimpangan kaya vs. miskin bakal semakin melebar.

Untuk itu, menurut Prof. Rokhmin Dahuri, keterampilan dan keahlian sangat dibutuhkan di Era Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0 (WEF, 2023). Antara lain: 1. Pemikiran Analitis dan Kreatif, 2. Literasi Teknologi, 3. Rasa Ingin Tahu dan Pembelajaran Seumur Hidup, 4. Ketahanan dan Fleksibilitas (Antisipasi dan Adaptasi), 5. Pemikiran Sistem dan AI (Kecerdasan Buatan).

Lalu, 6. Ilmu Data dan Data Besar, 7. Pengembangan Keterampilan Lokal, 8. Keterampilan Interpersonal, 9. Kemampuan untuk memahami dan bekerja dengan teknologi, 10. Ilmu dan Teknologi Keberlanjutan.

Sedangkan, peran dan kontribusi disiplin ilmu bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, yaitu: 1. STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics): produk berbasis teknologi, peralatan industri, teknologi proses, sistem, dan layanan.

2. Bisnis, Ekonomi, dan Hukum: model pemasaran, model bisnis, manajemen organisasi, pekerjaan yang stabil, keadilan sosial, masyarakat meritokrasi, dan pengaturan kelembagaan. 3. Ilmu sosial (Psikologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Politik): kebijakan sosial berbasis bukti.

4. Kedokteran: terutama mendukung kesejahteraan sosial. 5. Arsitektur, Perencanaan, dan Perencanaan Kota: membangun ruang dan kota, juga berkontribusi pada seni dan budaya.

Komentar