Kamis, 25 April 2024 | 16:43
OPINI

Antara IR Global-Turki 2016 dan Rekomendasi Jakarta 2017

Antara IR Global-Turki 2016 dan Rekomendasi Jakarta 2017

Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar *)

ASKARA - IR Global-Turki 5-8 adalah konsepsi Kalender Islam Global yang terus dikaji dan bersiap diadopsi oleh Muhammadiyah. Saat yang sama di tanah air ada konsepsi Kalender Islam Global (dan lokal) yang diusung Kementerian Agama RI bersama 3 negara Asia Tenggara yang dikenal dengan Rekomendasi Jakarta 3-6.4. Dalam kenyataannya Muhammadiyah sama sekali tidak tertarik dan tidak bersedia menerima konsep yang ditawarkan Kemenag RI dengan Rekomendasi Jakarta 3-6.4 tersebut. Hal ini mendorong seorang pakar (anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI) mengkritisi sikap Muhammadiyah, hanya saja kritik yang disampaikan tak lebih kritik tendensius dan stigma negatif kepada Muhammadiyah.

Padahal persoalan yang diperdebatkan adalah persoalan fikih kalender (hisab-rukyat) yang memang sangat dinamis, namun sang pakar menganggapnya sesuatu yang teramat besar sehingga terkesan ‘memaksa’, yang ini diluar keadaban dan kepatutan. Padahal saat yang sama Negara (terutama Kemenag RI dan BRIN) tempat sang pakar bertugas dan ditugaskan tampak biasa-biasa saja. Sang pakar begitu ‘bringas’ mengkritisi aspek-aspek diluar substansi dengan berbagai diksi dan narasi negatif yang tentu tidak elegan dan tidak akademis. Hal ini tak lebih menunjukkan sikap panik dan frustasi dari sang pakar yang menggunakan berbagai narasi untuk memaksa Muhammadiyah menerima keinginannya.

Salah satu yang dikritisi sang pakar secara tendensius adalah rencana pilihan Muhammadiyah atas  IR Global-Turki 5-8. Menurutnya IR Global-Turki 5-8 lebih usang dari Wujudul Hilal, sebuah pilihan kata arogan dan merendahkan yang sengaja dikemukakan berulang kali demi memancing reaksi Muhammadiyah. Secara konsep, Rekomendasi Jakarta 3-6.4 dan IR Global-Turki 5-8 adalah dua konsep (kriteria) kalender Islam global yang berkembang di Indonesia. IR Global-Turki 5-8 merupakan produk muktamar internasional di Turki tahun 2016 M/1438 H. Sementara Rekomendasi Jakarta 3-6.4 merupakan produk seminar internasional di Jakarta tahun 2017 M/1439 H.

Bila diperhatikan, terdapat perbedaan mendasar sekaligus menunjukkan keunggulan dari IR Global-Turki 5-8 dan kelemahan Rekomendasi Jakarta 3-6.4, yaitu:

Pertama, pasca ditetapkan, putusan IR Global-Turki 5-8 mendapat perhatian dunia, terkhusus di Indonesia, dimana ada sejumlah seminar yang diadakan guna merespons putusan IR Global-Turki 5-8 ini. Selanjutnya dalam IR Global-Turki 5-8 menetapkan imkan rukyat dimana saja yang ini menunjukkan globalitas konsepnya. Berbeda dengan Rekomendasi Jakarta 3-6.4 yang menetapkan kawasan barat Asia Tenggara sebagai acuan, ini tentu problem karena tidak jelas dimana dan sejauh mana batasan dan cakupan kawasan Asia Tenggara yang dimaksud. Berikutnya dengan menempatkan kawasan Asia Tenggara sebagai acuan menyebabkan standar imkan rukyatnya terbatas pada kawasan itu, yang secara otomatis menegaskan lokalitas dan menghilangkan globalitasnya.

Kedua, secara konseptual, IR Global-Turki 5-8 mengakomodir hisab dan rukyat dan kombinasi antara keduanya. Sementara secara peluang keterlihatan, jelas 5-8 lebih rasional dan lebih memungkinkan terlihat dari 3-6.4. Karena itu IR Global-Turki 5-8 merupakan alternatif dan jalan tengah ideal bagi umat Islam dimanapun berada.

Ketiga, dalam pelaksanaannya, Muktamar Turki 2016 dihadiri lebih dari 50 negara di dunia, terutama negara-negara dengan mayoritas umat Islam di dunia. Dengan jumlah ini merepresentasikan umat Islam di seluruh dunia, dan dengan demikian keputusan yang diambil memiliki tingkat kepercayaan dunia yang kuat. Berbeda dengan Rekomenadi Jakarta 2017 dimana kehadiran perwakilan negara-negaranya teramat minim yaitu hanya 4 negara, plus negara tuan rumah Indonesia. Bahkan dari 5 negara itu 4 negara berasal dari Asia Tenggara (Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei Darussalam). Bahkan dalam perumusannya Rekomendasi Jakarta 3-6.4 ini dominan merupakan usulan dan rumusan segelintir orang saja, salah satunya sang pakar tersebut. Karena itu dalam konteks global putusan semacam ini sangat lemah dan dipastikan tidak cukup kuat memengaruhi negara-negara di dunia (terutama negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di dunia).

Keempat, dalam perhelatannya, Muktamar Turki 2016 (IR Global-Turki 5-8) di dukung secara penuh oleh Presiden Turki (Recep Tayyidp Erdogan) selaku tuan rumah yang ditunjukkan dengan sambutan dan dukungannya atas Muktamar tersebut. Erdogan optimis Kalender Islam akan terwujud di kalangan umat Islam. Adapun Rekomendasi Jakarta 2017 M hanya dihadiri oleh Menteri Agama (Lukman Hakim Saefuddin). Sejauh ini tidak diketahui Presiden RI (Joko Widodo) apakah mengetahui perhelatan seminar dan hasil putusan Rekomendasi Jakarta 2017 M ini atau tidak. Padahal sebuah putusan dan konsepsi global sejatinya mesti didukung pertama kali oleh Kepala Negara yang akan didesiminasikan kepada negara-negara di dunia. Disini tampak perbedaan kelas antara IR Global-Turki 5-8 dan Rekomendasi Jakarta 3-6.4, betapapun keduanya sama-sama diselenggarakan oleh Kementerian Agama kedua negara, namun sekali lagi yang pertama di dukung secara langsung oleh Kepala Negara, sementara yang kedua hanya di sambut oleh Menteri Agama.

Kelima, dalam rekomendasinya, IR Global-Turki 5-8 IR akan diuji dalam waktu 10 tahun yang memungkinkan terjadi revisi, pengembangan, dan perbaikan, dimana terkini kriteria ini dirujuk kepada Organisasi Konferensi Islam untuk dapat diadopsi oleh negara-negara di dunia. Berbeda dengan Rekomendasi Jakarta 3-6.4 yang belum ada dan tidak jelas uji-akurasi dan validasi konseptualnya, padahal dalam praktik dan implementasinya kerap terjadi inkonsistensi dan paradoks. Karena itu pula salah satu butir Rekomendasi Jakarta 3-6.4 yang menyatakan sebagai penyempurna IR Global-Turki 5-8 sesungguhnya terlalu berlebihan. Kenyataan sebelum hadirnya IR Global-Turki 5-8, Kementerian Agama RI (terutama seorang pakar anggota Tim Hisab Rukyat Kemenag RI itu) hanya fokus pada penyatuan lokal, bukan global.

Keenam, dalam implementasinya, IR Global-Turki 5-8 diposisikan sebagai penentu dan tidak menunggu apalagi bergantung kepada rukyat di lapangan (betapapun rukyat tetap dilakukan oleh umat Islam). Sementara Rekomendasi Jakarta 3-6.4 ada kesan hanya menempatkan sebagai pembantu, bukan penentu, beberapa praktik di Indonesia beberapa tahun ini menunjukkan fenomena itu. Saat yang sama dalam implementasinya Rekomendasi Jakarta 3-6.4 begitu dominan menunggu hasil rukyat untuk diumumkan (isbat). Sebuah kalender yang mapan, terlebih kalender yang bersifat global, meniscayakan kepastian sejak jauh hari, bagaimana mungkin awal bulan dalam sebuah kalender global baru bisa diputuskan dengan menunggu hasil rukyat terlebih dulu lalu di tetapkan (isbat) oleh otoritas tertentu. Praktik semacam ini sama sekali tidak menunjukkan globalitas kriteria sebuah kalender, justru ini tak lebih praktik lokal belaka.

Ketujuh, dalam faktanya IR Global-Turki 5-8 dihasilkan melalui proses yang panjang, yang setidaknya dimulai dari irisan Muktamar Istanbul 1978 yang amat populer itu, yang terus dikaji dalam berbagai forum dunia hingga akhirnya menghasilkan IR Global-Turki 5-8 seperti saat ini. Adapun Rekomendasi Jakarta 2017 yang menghasilkan IR 3-6.4 sesungguhnya latar belakangnya tidak jelas dan terkesan muncul tiba-tiba. Bahkan dalam praktiknya kriteria ini lebih dimaksudkan lokal, bukan global. Ketidak jelasan itu tampak lagi dengan ketiadaan proposal kegiatan, notulensi, kumpulan paper para perumus dan ahli, serta dokumentasi lainnya.

Ini berbeda dengan IR Global-Turki 5-8 yang mana seluruh dokumentasi kegiatannya (latar belakang, sambutan berbagai pihak, paper para ahli, diskusi dan tanggapan tiap-tiap materi, rumusan dan kesimpulan, serta rekomendasi) seluruhnya terangkum dalam sebuah buku berjudul “Mu’tamar Tauhid at-Taqwim al-Hijry al-Muwahhad” yang diterbitkan secara online sehingga dapat diakses, dikaji, dan dikritisi oleh siapa saja. Disini sekali lagi tampak perbedaan kelas dan keseriusan antara IR Global-Turki 2016 dengan Rekomendasi Jakarta 2017. Wallahu a’lam

*), Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU

Komentar