Sabtu, 20 April 2024 | 09:30
SELEBRITAS

Diskusi Film Horor Di Sanggar Teater Populer

Diskusi Film Horor Di Sanggar Teater Populer
Slamet Rahardjo

ASKARA – Dengan capaian penonton hingga jutaan per judulnya, bahkan memecahkan rekor perolehan penonton sepanjang masa di bioskop nasional, serta meraih piala Citra FFI dan festival film lainnya, untuk elemen elemen penggarapannya, film nasional genre horor bukan lagi karya yang diremehkan. Bahkan kini menjadi arus utama.

Film horor dengan pijakan kekayaan budaya Nusantara juga berpotensi sebagai produk khas Indonesia yang bisa mendunia sebagaimana K-Pop yang sukses mengglobal.

Sementara itu, untuk mendapat perlakuan setara para produser harus memperjuangkannya dengan pemilik bioskop, tidak bisa pasrah begitu saja. Menerima jadwal dan jumlah layar yang diberikan.

Sedangkan penguasa bioskop juga perlu diajak bicara dengan produser dan sineas untuk menentukan mana film yang sesuai dengan penontonnya. Jangan sampai salah sasaran, tidak sesuai segmen penontonnya.

Demikian pokok pokok pikiran dalam diskusi industri film horor di perfilman nasional yang digagas Forum Wartawan Hiburan (FORWAN) serta didukung Direktorat Perfilman Musik dan Media Kemendikbud berlangsung di Sanggar Teater Populer, di Kebon Pala 1/295, Jakarta Pusat, Sabtu petang kemarin.

Diskusi menghadirkan sutradara Joko Anwar, produser film H. Firman Bintang dan ketua organisasi perbioskopan H. Djonny Syafruddin SH. Aktor dan sutradara Slamet Rahardjo bertindak sebagai tuan rumah.

Dengan menyajikan presentasi sejarah panjang film genre horor karya dunia dan Indonesia, sutradara Joko Anwar, bahwa kisah kisah horor dalam film sudah hadir sejak teknologi sinematografi periode awal ditemukan. Juga di Indonesia.

Sutradara Pengabdi Setan (2017 – 6,3 juta penonton) dan 2022), Perempuan Tanah Jahanam (2019 – 1,7 juta penonton) dan Pengabdi Setan 2 : Communion (2022 – 4,2 juta penonton) ini juga menyebut bahwa film horor Indonesia sudah tayang di empat benua.

Dikemukakan membuat film horor tidak mudah. Karena semua elemennya harus presisi. Ada banyak pengulangan adegan, namun sineas selalau ditantang menyajikannnya secara berbeda. Sehingga penonton selalu merasa mendapatkan hal yang baru.

Selaku sutradara Joko Anwar menyatakan, budaya Nusantara yang dekat dengan dunia mistis memiliki 42 jenis hantu yang bisa dieksplorasi sebagai film.

“Bandingkan dengan Barat yang hanya menghadirkan tiga jenis, drakula, monster dan zombie, “ katanya.
Produser Firman Bintang memetakan bahwa pasar film nasional adalah klas menengah ke bawah. Maka fokus kepada kelompok itu, dia menghadirkan film filmnya. “Dari 30 film yang saya produksi, 20 judul di antaranya film horor, “ ungkapnya.

Mencari sutradara film horor tak mudah, kata Firman Bintang, yang sebelumnya dikenal sebagai jurnalis . “Banyak terang terangan menyatakan tidak bisa, banyak yang tidak mau, “ungkapnya. “Selama ini saya banyak kerjasama dengan Nayato karena dia yang mau dan bisa memenuhi kriteria yang saya inginkan. Sebenarnya saya terbuka kerjasama dengan siapa saja,“ jelasnya.

Dipaparkan, di Indonesia, menyelesaikan karya jadi film, baru setengah perjalanan bagi produser. Karena perjalanan berikutnya memperjuangkannya ke pengelola bioskop untuk menayangkannya, untuk mendapatkan layar.

Selama ini ada ketidak adilan bagi produser film dan sineas Indonesia, katanya. Untuk film impor film Barat, pengelola bioskop secara otomatis memberikan 300 layar sekali tayang. Sementara untuk film nasional hanya puluhan. Bahkan untuk hanya beberapa layar saja.

“Dan mereka tidak terbuka. Pernah film saya tayang bareng Iron Man, ya, hancurlah! Sehari tayang, langsung drop!” kenangnya.

“Pernah juga film saya diadu dengan film nasional lain yang banyak bintangnya. Saya protes. Kalau saya diemin, bunuh diri namanya, “ katanya dengan nada tinggi.

Djonny Syafruddin, mengungkapkan bagaimana bioskop bisa hidup lagi setelah dua tahun dilarang operasi lantaran Covid 19. “Sebagaiannya bangkrut, dan saya tidak bisa tinggal diam. Saya langsung omong ke Luhut Panjaitan, yang kebetulan teman SMA di Medan. ‘Ini gimana, Hut, teman teman gua pada bangkrut. Kapan bioskop dibuka? Luhut bilang, sabarlah. Saya bilang keburu teman pada mati ini, “ katanya.

Terkait dengan topik film horor, Djonny Syafruddin SH menyatakan, film itu merupakan produk misteri bukan karya matematis. “Harapannya banyak penonton ternyata gagal, tak ada penonton. Modal Rp.15 miliar habis. Ada yang modalnya Rp.3 miliar bisa dapat Rp. 90 miliar” ungkapnya.

Djonny mengeluhkan, banyak pengusaha bioskop dihujat karena menurunkan film nasional. Tapi ketika mendapat puluhan miliar dari bioskop diam saja, tak ada ungkapan terima kasih.

Selaku ketua organisasi perbioskopan, Djonny Syafruddin meminta produser untuk banyak dialog dengan pengusaha bioskop. Film diproduksi dengan modal. Bioskop juga dioperasikan dengan modal dan harus menggaji karyawan.

 “Untuk satu layar bioskop, investasinya Rp2,5 sampai Rp.5 miliar, “ katanya seraya mengungkapkan saat ini ada dua ribu layar bioskop di Indonesia, 1.600 layar di antaranya dikelola oleh jaringan.

Pengusaha bioskop dan produser harus sama sama cermat memetakan penonton. Dia ungkapkan pentingnya publikasi dan marketing. Wartawan memiliki peran sebagai pemandu masyarakat penonton.

Di daerah film Barat banyak yang tak laku, justru film lokal laris. “Di Cilacap, tempat bioskop saya, kabar Luna Maya didandanin jadi Suzzana sudah ditunggutunggu dan ditanya tanya kapan mainnya. Dan benar, 80% yang nonton ibu ibu, “ katanya.

Aktor dan sutradara Slamet Rahardjo yang menutup pembicaraan menyatakan dengan presentasi panjang Joko Anwar, dia mengakui bahwa penggarapan film horor memerlukan kesungguhan dan ketelitian. Di melihat dari proses itu pada diri Joko Anwar, dan mengingatkan pada bagaimana Teguh Karya, guru aktingnya, menyutradarai film-filmnya.

Dalam sejarah perfilman nasional, almarhum Teguh Karya (1937-2021) dikenal sebagai sineas yang cermat, artistik dan teliti. “Joko Anwar adalah Teguh Karya di hari ini, “ katanya. (Buyil).

Komentar