Sabtu, 04 Mei 2024 | 04:21
COMMUNITY

Keluarga Besar Pocoleok Jabodetabek Aksi Tolak Proyek Geothermal di Pocoleok

Keluarga Besar Pocoleok Jabodetabek Aksi Tolak Proyek Geothermal di Pocoleok
Aksi tolak proyek geothermal di Pocoleok (Dok KB Pocoleok)
ASKARA - Keluarga besar Pocoleok se-Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT menggelar aksi protes penolakan Geothermal di wilayah Pocoleok Manggarai NTT. Aksi protes yang berlangsung pada Rabu, 8 Maret 2023 ini dilangsungkan di dua titik; kementerian ESDM dan kantor pusat PLN di Jakarta.
 
Aksi protes di Jakarta merupakan lanjutan dari protes terus menerus yang dilakukan masyarakat Pocoleok di Manggarai. Pada Senin, 27 Februari silam masyarakat Pocoleok menolak kunjungan bupati Heri Nabit di Pocoleok, Manggarai NTT.
 
Ihwal penolakan itu adalah kebijakan Heri Nabit pada penambahan titik eksplorasi PLTU Ulumbu di wilayah Pocoleok. Kebijakan yang pro geothermal itu termuat dalam surat keputusan Bupati Manggarai Nomor HK/417/2022 yang diterbitkan pada 1 Desember 2022. Maka, kehadiran Heri Nabit disambut dengan berang oleh 12 gendang masyarakat Pocoleok.
 
Masyarakat Pocoleok menyadari, SK Bupati Nabit bertaut pada SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017. Maka tak puas dengan aksi protes penolakan di Pocoleok Manggarai, masyarakat Pocoleok se-Jabdoetabek bersama Serikat Pemuda NTT membawa suara masyarakat Pocoleok ke pusat kekuasaan di Jakarta.
 
Tuntutan keluarga besar Pocoleok Jabodetabek berkisar pada beberapa poin:
 
1. Diaspora Pocoleok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT menolak kelanjutan proyek Geothermal di wilayah Pocoleok Manggarai NTT. Dan karenanya, menuntut Bupati Manggarai untuk mencabut SK Nomor HK/417/2022 tentang ijin survey di dua titik eksplorasi di Pocoleok.
2. Merujuk pada poin Nomor Satu, Diaspora Pocoleok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT mendesak Kementerian ESDM untuk SEGERA mencabut SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumu.
3. Mengeluarkan keputusan penghentian total pembangunan Geothermal di Pocoleok Manggarai dan seluruh daratan Flores NTT.
Sementara, secara spesifik di PLN, tuntutannya antara lain:
 
1. Menuntut PT PLN perlu meninjau lagi perihal MoU dengan stakeholder pengelola PLTU Ulumbu dengan menimbang Penolakan Warga Pocolek untuk membatalkan MoU yang sudah dibuat.
2. PLN perlu mengkaji kembali mengenai kebutuhan listrik dasar (based load) wilayah Flores. Dalam catatan PLN sebelumnya, Ulumbu dengan kapasitas lebih dari 10 MW cukup untuk based load kebutuhan listrik Manggarai dan Flores. Dengan begitu, upaya ekspansi eksplorasi berupa penambahan titik di Pocoleok menjadi kontraproduktif; dan karenanya perlu DIHENTIKAN.
 
Selain kedua komunitas ini, Lembaga Terranusa Indonesia ikut menginisiasi aksi penolakan geothermal di Pocoleok. Bahkan beberapa pendiri dan direktur eksekutif lembaga yang getol pada advokasi masyarakat dan isu Hak Asasi Manusia ikut mengkawal jalannya aksi.
 
Beberapa tokoh muda juga turut menghadiri aksi ini. Engelbertus Wahyudi, salah satu tokoh muda Pocoleok mempertanyakan perluasan titik eksplorasi PLTU Ulumbu. Engel, menyebut SK Menteri ESDM yang terbit pada 2017 tentang penetapan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi harus dicabut.
 
“Di SK itu disebutkan untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan listrik dasar (basedload). Nah, ini kan menjadi pertanyaan, sebab Ulumbu dengan potensi kapasitas 10 MW oleh PLN sendiri disebut cukup untuk kebutuhan dasar listrik. Ulumbu sudah berjalan, sudah running, lantas mengapa mesti eksplorasi ke Pocoleok yang terdiri dari 12 kampung adat?” Ujar Engel  panjang lebar.
 
Engel menyebut, proyek geothermal sudah keluar dari tujuan untuk pemenuhan kebutuhan energi dasar. Proyek geothermal disebut Engel berkelindan dengan ekspansi pariwisata, masuknya industri di Flores. Konsekuensi lanjut dari logic pembangunan semacam itu, rakyat di sekitar titik geothermal akan dipandang sebagai ancaman permanen.
 
“Nah, ujungnya, rakyat sebagai ancaman tadi, akan terusir dari tanahnya sendiri. Padahal rakyat dan tanah itu adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Maka jelas geothermal adalah ancaman sebenarnya bagi masayarakat dan tanah Pocoleok,” jelas Engel.
 
Engel menyimpulkan, perjuangan melawan proyek geothermal Pocoleok adalah perkara perjuangan keberlangsungan hidup masyarakat dan alam Pocoleok.
 
Sementara, Erik Rayadi yang langsung datang dari Pocoleok Manggarai ke Jakarta menjelaskan Penolakan masyarakat Pocoleok adalah sebuah kesepakatan kolektif.
 
“Masyarakat Pocoleok menolak kehadiran Proyek Geothermal di tanah adat Pocoleok,” kata Erik.
 
Kesepakatan itu, lanjut Erik, tidak muncul sekejap, tetapi merupakan buah yang semakin matang karena kesadaran masyarakat Pocoleok akan risiko tinggi kehadiran geothermal di gugusan pegunungan yang terdiri dari 12 kampung adat itu.
 
Menurut Erik, kepulangan beberapa tokoh muda di Pocoleok memberi kesadaran pada masyarakat akan risiko besar yang akan terjadi jika proyek geothermal dijalankan. Bahkan generasi muda Pocoleok melakukan studi ke wilayah gagal proyek geothermal Mataloko di kabupaten Bajawa NTT.
 
“Jadi kita juga, anak-anak muda Pocoleok di sana, melakukan kajian tentang dampak dan risiko proyek geothermal ini. Di Mataloko kita disajikan kehancuran akibat geothermal,” jelas Erik merujuk pada gagalnya proyek geothermal di Mataloko itu.
 
Sementara, Fabianus Siprin, salah satu tetua masyarakat Pocoelok di Jabodetabek mengharapkan agar pemerintah pusat, dalam hal ini kementerian ESDM segera mencabut SK yang menetapkan Pulau Flores sebagai Pulau Panas Bumi.
 
“Kita berharap tuntutan kita didengar dan dilakukan pencabutan SK 2017 itu,” jelas Fabianus yang akrab disapa Babe ini.
 
Sepenarian dengan itu, Serikat Pemuda NTT memastikan akan terus mengkawal proyek geothermal di Pocoleok dan Flores secara umum.
 
“Di internal, kami terus mengkaji soal risiko geothermal. Jadi kami akan terus mengakwal eksplorasi geothermal di NTT,” kata Saverinus Jena, ketua Serikat Pemuda NTT.
 
Save mengatakan, selama dua pekan terakhir, Serikat Pemuda NTT bertemu dengan beberapa tokoh dari Pocoleok di Jakarta. Dari rapat-rapat ini, keluarga besar Pocoleok Jabodetabek bersama Serikat Pemuda NTT merumuskan dasar-dasar aksi penolakan proyek geothermal di Pocoleok.
1. (Ideology); Sukarno, sang pendiri bangsa dalam pidato 1 Juni 1945 dengan gamblang menyebutkan persatuan rakyat dengan tanah: “Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya”.
Ideologi ini mesti menjadi acuan dalam proyek pembangunan pemerintah termasuk pembangunan energi PLTU Ulumbu di Pocoleok. Upaya perluasan ekspansi titik eksplorasi geothermal ke wilayah Pocoleok sudah tentu akan memisahkan masyarakat Pocoleok dari tanahnya.
 
2. (Cultural) Apa yang diserukan Soekarno juga telah mengakar jauh sebelum rumusan itu dikumandangkan dalam pidatonya yang legendaris itu. Penolakan masyarakat Pocoleok pada proyek Geothermal berdiri pada suatu nilai ideologi yang mengakar (Gendang one, lingko peang; antara kehidupan kampung dan tanah; antara rakyat dan tanah, merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan). Ungkapan ini adalah sinonim dengan kumandang ideologi Soekarno. Di titik ini, kita akhirnya mengerti bahwa Pancasila digali dari bumi Indonesia.
 
3. Apalagi, (Geographic) Pocoleok memiliki topografi berupa pegunungan yang mengelilingi. Nama Pocoleok sendiri mengacu pada bentangan gografis itu. Poco; berarti hutan (gunung) dan leok berarti mengelilingi. Maka bahkan, tanpa perlu riset topografi, Pocoleok jelas tidak ideal bagi pelaksanaan proyek Geothermal. Apalagi riset yang rentan dengan intervensi kekuasaan; penolakan kehadiran gheothermal jelas pantas diserukan dan diperjuangkan total oleh masyarakat Pocoleok.
 
4. (Academic) Risk Assesment dalam research paper oleh Risk Consulting Group Jakarta; bahwa gheothermal di Pocoleok berisiko tinggi dan karenanya direkomendasikan untuk DIHENTIKAN (RA 2019).
 
5. Critics of Regulations: SK Menteri ESDM Nomor: 2268 K/30/MEM/2017 sebagai dasar legal eksplorasi geothermal di Pulau Flores. Legal ini menjadi pautan bagi pemda dalam membuat policy untuk tahapan lanjut eksplorasis etc. 
 
Secara geografis Pocoleok terletak di Kabupaten Manggarai dengan topografi berupa pegunungan yang mengelilingi. Nama Pocoleok sendiri mengacu pada bentangan gografis itu. Poco; berarti hutan (gunung) dan leok berarti mengelilingi. Maka bahkan, tanpa perlu riset topografi, Pocoleok jelas tidak ideal bagi pelaksanaan proyek Gheothermal. Apalagi riset yang rentan dengan intervensi kekuasaan, penolakan kehadiran gheothermal jelas pantas diserukan dan diperjuangkan total oleh masyarakat Pocoleok.

Komentar