Sabtu, 20 April 2024 | 12:59
NEWS

Tim Pemerhati Praktik Kedokteran Usulkan Draft Final Naskah Akademik RUU Praktik Kedokteran

Tim Pemerhati Praktik Kedokteran Usulkan Draft Final Naskah Akademik RUU Praktik Kedokteran
Ilustrasi dokter (Dok Pixabay)

ASKARA - Tim Pemerhati Praktik Kedokteran mengusulkan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Praktik Kedokteran. 

Dalam draft final yang diterima redaksi, khususnya pada Bab 2 dijelaskan terkait kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada, serta permasalahan yang dihadapi masyarakat. 

Disebutkan, dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 29 Tahun 2004 menyatakan, “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”.

"Ketentuan ini bermakna bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran untuk dokter dan PDGI untuk dokter gigi dan menegasikan keberadaan organisasi dokter spesialis seperti Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI), Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan lain-lain yang memiliki hak konstitusional yang sama untuk diakui sebagai organisasi profesi dokter," tulis draft itu, dilihat Selasa (15/11).

Kemudian, pada dasarnya kolegium merupakan bentuk organisasi profesi juga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu. 

Demikian juga ketetapan IDI sebagai wadah tunggal profesi juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang memberikan jaminan pemenuhan hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.

Selanjutnya ditulis, dalam praktek global sulit dijumpai adanya asosiasi dokter (medical association) yang menjadi anggota Konsil Kedokteran (Medical Council). 

Tim Pemerhati Praktik Kedokteran memberikan contoh yakni: 

1. Keanggotaan General Medical Council (GMC)34 di Inggris bertanggung jawab pada Ratu, dipilih secara individu dari dokter-dokter yang terdaftar di GMC.

2. Singapore Medical Council (SMC)35 di Singapura berada di bawah Kemenkes terdiri dari 2 (dua) praktis medis dari setiap FK yang terakreditasi, 12 praktisi medis yang dipilih oleh dokter yang teregister di SMC dan 8 praktisi medis yang ditunjuk oleh Menkes.

3. Medical Council di Selandia Baru juga berada di bawah Kemenkes, keanggotaannya terdiri dari 13 (tiga belas) orang, mayoritas anggota adalah dokter, selain itu terdapat beberapa orang awam.

4. Medical Council di Kanada adalah badan publik yang independen, 50 anggota Konsil yang terdiri dari wakil regulatory authority setiap provinsi, seorang wakil dari FK-FK, 5 orang wakil masyarakat, 2  wakil mahasiswa S1 dan S2.

"Walaupun terdapat beberapa variasi keanggotaan konsil kedokteran dari contoh di atas, tetapi jelas sama sekali tidak ada perwakilan organisasi profesi dokter (medical association) dalam Konsil Kedokteran negara masing-masing. Hal ini semata-mata untuk menghindari timbulnya potensi konflik kepentingan," tulisnya. 

Kemudian, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) merupakan lembaga yang dibentuk untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi. 

Selain bertugas untuk melakukan registrasi terhadap dokter dan dokter gigi, KKI juga memiliki tugas untuk mengesahkan standar pendidikan profesi dokter dan dokter gigi serta melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

"UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran kemudian merumuskan pengertian mengenai KKI yakni Konsil Kedokteran Indonesia adalah suatu badan otonom, mandiri, non struktural, dan bersifat independen, yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi," ujarnya.

Tim Pemerhati Praktik Kedokteran menyebutkan, Kedudukan dan Kewenangan Organisasi Profesi Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Nama IDI sebagai satu-satunya Organisasi Profesi yang eksplisit diatur dalam Undang-Undang Praktik Kedokteran. 

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 12 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Organisasi profesi adalah Ikatan Dokter Indonesia untuk dokter dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk dokter gigi”.

"Ketentuan ini bermakna bahwa IDI adalah satu-satunya organisasi profesi kedokteran untuk dokter dan PDGI untuk dokter gigi dan menegasikan keberadaan organisasi dokter spesialis seperti Persatuan Ahli Penyakit Dalam (PAPDI), Persatuan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dan lain-lain yang memiliki hak konstitusional yang sama untuk diakui sebagai organisasi profesi dokter. Kemudian pada  dasarnya kolegium pun adalah bentuk organisasi profesi juga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan pengembangan ilmu," tulis Tim Pemerhati Praktik Kedokteran.

Demikian juga ketetapan IDI sebagai wadah tunggal profesi juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang memberikan jaminan pemenuhan hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. 

Kemudian bila ingin menjalankan praktik dokter, setiap dokter perlu rekomendasi dari IDI Cabang agar dapat memperoleh SIP (Surat Izin Praktek) dari Dinas Kesehatan setempat, maknanya dokter yang bersangkutan haruslah menjadi anggota IDI sebelumnya. 

"Belum ada referensinya di negara lain, adanya produk legislatif yang menetapkan nama organisasi profesi kedokteran disebutkan secara eksplisit," kata Tim Pemerhati Praktik Kedokteran.

Dalam Pasal 1 angka 13 UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Kolegium Kedokteran Indonesia dan Kolegium Kedokteran Gigi Indonesia adalah badan yang dibentuk oleh organisasi profesi untuk masing-masing cabang disiplin ilmu yang bertugas untuk mengampu cabang disiplin ilmu tersebut”. 

Ketentuan ini menempatkan Kolegium Kedokteran menjadi subordinat dari organisasi profesi (IDI) yang berakibat IDI dapat mengintervensi Kolegium Kedokteran sehingga Kolegium Kedokteran tidak dapat mengeluarkan keputusan secara independen, misalnya dalam hal penetapan cabang ilmu atau spesialisasi baru kedokteran. 

Hal ini juga merupakan anomali karena tidak ada juga referensinya di dunia kedokteran internasional dimana kolegium merupakan bagian dari organisasi profesi kedokteran," kata Tim Pemerhati Praktik Kedokteran.
 
Seharusnya, kata Tim Pemerhati Praktik Kedokteran, kolegium yang mengurus pendidikan secara organisatoris terpisah dari organisasi profesi IDI yang “domain”-nya mengurus pelayanan profesi dokter, etik kedokteran dan kesejahteraan anggotanya, sehingga bisa saling kontrol dan dapat tercipta mekanisme check and balances.

Kemudian menurut Penjelasan Pasal 29 ayat (30 huruf c disebutkan bahwa untuk dapat memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR)) seorang dokter harus lebih dahulu memiliki Sertifikat Kompetensi yang dikeluarkan dari Kolegium yang dibentuk oleh IDI.

Pasal 28 ayat (1) UU No. 29 Tahun 2004 menyebutkan “Setiap dokter atau dokter gigi yang berpraktik wajib mengikuti pendidikan dan pelatihan kedokteran atau kedokteran gigi berkelanjutan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi dan lembaga lain yang diakreditasi oleh organisasi profesi dalam rangka penyerapan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran atau kedokteran gigi.”

Ketentuan UU ini “diterjemahkan” IDI ke dalam AD/ART IDI dengan membentuk Badan Pengembangan Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (BP2KB) yang mempunyai fungsi membantu PB-IDI dalam kebijakan bidang pendidikan kedokteran berkelanjutan, penilaian dan akreditasi lembaga penyelenggaraan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB) atau secara internasional disebut sebagai Continuous Professional Development (CPD). 

Maknanya IDI adalah pihak yang bertanggung-jawab dalam pelaksanaan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan (P2KB), kemudian memberikan akreditasi lembaga penyelenggara Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan serta melakukan penilaian terhadap program tersebut. 

"Permasalahannya dalam hal ini adalah IDI bukan merupakan satuan pendidikan kedokteran, bagaimana mungkin IDI yang menyelenggarakan P2KB sekaligus menjadi pihak yang mengakreditasi dan memberikan penilaiannya. Lalu pihak mana yang bisa mengakreditasi IDI dalam penyelenggaraan P2KB ini? Seharusnya ada pihak yang dapat mengawasi dan mengakreditasi P2KB yang diselenggarakan oleh IDIM," ujar Tim Pemerhati Praktik Kedokteran. 

Menurut Prof Herkutanto, salah seorang konselor KKI periode lalu yang berasal dari unsur pemerintah, menyebutkan, "seharusnya KKI memiliki peran sentral dalam CPD khususnya mengesahkan Standar Pendidikan dalam CPD sebagaimana dimiliki oleh konsil kedokteran lainnya di dunia”. 

KKI tidak mempunyai akses untuk memantau kualitas program Continuous Professional Development (CPD) yang diselenggarakan oleh IDI untuk memastikan apakah dokter yang telah berpraktik dan memohon perpanjangan Surat Tanda Registrasi (STR) dari KKI masih laik dan kompeten. 

Selanjutnya menurut Prof Herkutanto dalam keterangannya di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi atas perkara No. 10/PUU-XV/207 mengatakan, “Beberapa upaya KKI untuk memantau kualitas CPD senantiasa ditolak oleh IDI, sehingga unit khusus untuk CPD di KKI tidak bisa berfungsi”.

Pasal 38 ayat (1) huruf c UU No. 29 tahun 2004 menyebutkan bahwa untuk memperoleh izin praktek dari Dinas Kesehatan, seorang dokter harus lebih dulu mendapatkan rekomendasi surat izin praktek dari IDI. 

"Maknanya tanpa rekomendasi IDI, izin praktik tidak akan dapat diperoleh. Ketentuan ini juga merupakan anomali di dunia kedokteran, karena belum ada referensinya terdapat ketentuan serupa di negara-negara lain," kata Tim Pemerhati Praktik Kedokteran.

Di bagian penutupnya, Tim Pemerhati Praktik Kedokteran menyimpulkan, perlunya memperjelas bahwa dalam kepastian hukum bahwa profesi dokter memiliki hak yang sama untuk berserikat dan memilih asosiasi dalam profesinya.

"Satu asosiasi yang mewadasi profesi dokter berimpikasi terhadap hadirnya abuse of power yang dimiliki oleh profesi tersebut. Hal ini menyebabkan adanya monopoli bagi pihak-pihak tertentu," jelas Tim Pemerhati Praktik Kedokteran.

Kemudian, pengakuan adanya organisasi profesi tidak merujuk hanya satu organisasi profesi saja. Sehingga setiap profesi berhak memilih. 

"Baik landasan filosofis, sosiologis maupun yuridis mengenai urgensi perubahan UU Praktik kedokteran maka usulan perubahan UU praktik kedokteran ini menjadi sangat dibutuhkan agar ada kepastian hukum dan memberikan keadilan dan kemanfaatan kepada semua profesi tanpa diskriminasi," terangnya. 

Tim Pemerhati Praktik Kedokteran juga menyampaikan rekomendasi yakni, segera mengajukan RUU Perubahan tentang Praktik Kedokteran yang  disusun berdasarkan Naskah Akademik ini, khususnya berkenaan dengan batang tubuh rancangan undang-undang, perlu disosialisasikan sehingga mendapatkan tanggapan dari masyarakat luas khususnya profesi dokter guna menjadi lebih sempurna dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. 

"Peraturan-peraturan pelaksana seperti Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri terkait UU Praktik Kedokteran yang sebelumnya perlu direvisi secara simultan. Apabila rancangan perubahan ini telah disetujui, dalam waktu tidak lebih dari dua tahun seluruh peraturan-peraturan pelaksananya telah dibuat sehingga pada akhirnya dapat efektif dilaksanakan dan berguna untuk memperlancar pelaksanaan Undang-undang tentang Perubahan UU Praktik Kedokteran," tandasnya.

 

Komentar