Jumat, 20 September 2024 | 19:55
NEWS

Suciwati: Kasus Pembunuhan Munir Layak Sebagai Pelanggaran HAM Berat

Suciwati: Kasus Pembunuhan Munir Layak Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Peluncuran Buku “We Have Tired of Violence: A True Story of Murder, Memory, and the Fight for Justice in Indonesia” (ist)

ASKARA – Lembaga kajian demokrasi Public Virtue Research Institute (PVRI) bersama Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) mendesak negara terutama pemerintah untuk membuka kembali kasus pembunuhan Munir. Kasus ini merupakan kasus emblematik bagi permasalahan HAM di Indonesia.

Hal itu mengemuka dalam Peluncuran Buku “We Have Tired of Violence: A True Story of Murder, Memory, and the Fight for Justice in Indonesia” karya Matt Easton (Penulis). Hadir sebagai penanggap Marzuki Darusman (Jaksa Agung Republik Indonesia, 1999-2001), Suciwati (Istri Munir), Usman Hamid (Eks Sekretaris TPF Munir), dan Arif Maulana (Komite Aksi Solidaritas untuk Munir).

Acara ini dipandu oleh Miya Irawati (Direktur Eksekutif PVRI). Acara yang digelar aecara hibrid ini dihadiri oleh ratusan peserta dari kalangan aktivis seperti Haris Azhar, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, peneliti dan jurnalis lepas Made Supriatma, hingga akademisi Universitas Indonesia Nur Iman Subono dan Penasehat Kapolri Hermawan Sulistyo.

“Munir adalah sosok yang selalu memikirkan orang lain dan mencintai kemanusiaan. Energi dan keberaniannya itu didapatkan dari rasionalisasi dan keyakinannya kerja-kerja kemanusiaan sangat mungkin memiliki risiko. Tetapi risiko dari kehidupan, bagi siapapun tetaplah sama yaitu kematian,” ujar Suciwati.

Suciwati menambahkan, Komnas HAM harus segera menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat.

“Seharusnya, bukti yang ada dan opini para ahli lebih dari cukup untuk Komnas HAM menetapkan kasus pembunuhan Munir sebagai pelanggaran HAM berat,” tambah Suciwati.

Senada dengan Suciwati, Marzuki menyampaikan, pembunuhan terhadap Munir layak untuk didefinisikan sebagai pelanggaran HAM berat, dan harus dianggap belum terselesaikan. 

“Diperlukan pengakuan nasional bahwa kasus Munir merupakan hutang negara untuk menyelesaikan. Bukan dimasukkan dalam penyelesain non-yudisial," ujar Marzuki.

Pada kesempatan yang sama, Usman menilai kasus ini bisa dibuka kembali dengan dua syarat, yaitu kemauan politik Presiden dan tim investigasi beranggotakan polisi-polisi baik dan berani.

“Persidangan saat itu diwarnai intimidasi kepada saksi maupun polisi yang bertugas. Itu membuat saksi kunci menarik kesaksiannya sehingga lemah dalam meyakinkan hakim untuk menghukum pelaku,” tegas Usman.

Sementara itu, Arif mengungkapkan, negara juga lalai karena melakukan pembiaran tidak tuntasnya kasus tersebut dan menunda proses pengungkapan.

“Itulah sebabnya kami mendesak Komnas HAM membentuk tim ad hoc penyelidikan projustitia,” ujar Arif.

Pada akhir diskusi, Miya berharap buku yang berisi informasi yang detil dan cukup lengkap ini dapat mengingatkan pemerintah dan juga masyarakat agar tidak melupakan pentingnya pengungkapan Kebenaran dan penegakkan keadilan dalam kasus pembunuhan Munir.

Selain itu, Miya juga berharap agar perjuangan Munir terus mewariskan semangat, kreatifitas, nilai-nilai, etika dan strategi yang efektif dalam bekerja mengungkapkan kasus-kasus HAM.

“Dengan begitu, maka Munir terus hidup dan menjadi energi dalam memperjuangkan demokrasi dan HAM di Indonesia,” tutup Miya.

Latar Belakang

Matt Easton adalah peneliti hak asasi manusia, editor, dan penulis yang tinggal di Brooklyn, New York.

Matt merupakan penulis buku We Have Tired of Violence: A True Story of Murder, Memory, and the Fight for Justice in Indonesia. Matt sebelumnya tinggal di Indonesia, Timor-Leste, India dan Zimbabwe.

Dalam buku tersebut, Matt menyebutkan beberapa nama yang terindikasi sebagai dalang intelektual pembunuhan Munir dan pihak-pihak yang dianggap mengetahui aksi pembunuhan tersebut.

Beberapa nama yang menjabat saat terjadi pembunuhan sang pejuang HAM tersebut diantaranya adalah Muchdi Purwoprandjono yang merupakan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono.

Nama AM Hendropriyono disebut-sebut memiliki kaitan dengan kasus yang diadvokasi oleh Munir terkait pembantaian di Talangsari pada tahun 1989 di bawah komando Hendropriyono.

Munir juga menggugat pengangkatan Hendropriyono ke Badan Intelijen Negara (BIN) melalui pengadilan, dengan alasan pembunuhan-pembunuhan yang dia lakukan.

Munir juga menantang tindakannya di BIN, seperti melarang peneliti Amerika Sidney Jones dan menyusun daftar Lembaga Swadaya Masyarakat yang menurutnya mengancam status-quo di pemilu 2004.

Matt juga menekankan bahwa investigasi terhadap pembunuhan Munir bergantung pada kemampuan dan komitmen politik untuk membongkar kotak hitam BIN.

Komentar