Jumat, 10 Mei 2024 | 15:45
OPINI

Spekulasi Pengundurkan Diri Paus Fransiacus

Spekulasi Pengundurkan Diri Paus Fransiacus
Paus Fransiskus pakai kursi roda (AFP)

ASKARA - Beberapa hari terakhir ini, muncul berita soal pengunduran diri Paus Fransiskus.

Spekulasi ini muncul, bisa saja karena ada umatnya yang melihat kondisi Paus Fransiskus yang sudah tua. Apalagi selama beberapa pekan terakhir ini, Paus harus menggunakan kursi roda dalam aktivitas hariannya.

Yang namanya spekulasi tentu saja bukan sebuah doa. Tapi berita spekulatif yang ada, bisa memunculkan keresahan di antara umat. Atau malah membangkitkan dan menggugah umat untuk berdoa secara khusus dan khusyuk bagi kesehatan Bapa Suci: Paus Fransiskus.

21 Kardinal baru mulai 29 Mei 2022

Berita spekulatif soal pengunduran diri Paus ini makin heboh, ketika dikaitkan dengan pemilihan 21 kardinal baru pada tanggal 29 Mei 2022 lalu. Apalagi hari-hari ini akan berlangsung “pertemuan para kardina” yang biasa disebut Konsistori.

Konsistori Kardinal ini akan berlangsung mulai tanggal 27 Agustus 2022. Juga ada rencana Paus Fransiskus akan mengunjungi makam Paus Selestinus V, sehasi sesudahnya.

Paus Selestinus V adalah Paus pertama yang mengundurkan diri. Karena itu ada dua hal penting disini yang mungkin bisa dijelaskan.

Konsistori Kardinal

Pertama soal konsistorori dan yang kedua soal apakah ada jejak yuridis soal pengunduran diri Paus.

Kita mulai dari yang pertama tentang konsistori.

Konsistori itu sendiri adalah pertemuan di antara para kardina (kolegium cardinal). Konsistori dapat berlangsung karena inisiatif dan undangan dari Paus sendiri.

Paus biasanya mengumumkan adanya konsistori, baik yang biasa atau pun yang luar biasa, untuk berkonsultasi dengan kolegium Kardinal atau untuk mengkomunikasikan atau memperkenalkan nama-nama cardinal yang baru terpilih.

Dan konsistori yang akan berlangsung pada tanggal 27 Agustus 2022 adalah kesempatan untuk memperkenalkan dan mengukuhkan 20 kardinal baru.

Dalam tradisinya, para cardinal baru itu diterima secara resmi melalui konsistori itu. Diterima untuk masuk dalam kolegium para cardinal.

Kanon 351₴2 bisa menjadi rujukan kecil kita. Dalam kanon ini ditegaskan, bahwa “Para Kardinal diangkat oleh Paus dengan sebuah dekrit, yang diumumkan di hadapan kolegium Kardinal; sejak pengumumkan itu mereka terikat kewajiban-kewajiban dan mempunyai hak-hak yang ditetapkan hukum”.

Dalam sejarah pun, para Paus-termasuk Paus Fransiskus- undangan adanya konsistori biasanya sehari sebelum tanggal 29 Juni setiap tahun untuk memperkenalkan para cardinal baru. Dan pada tanggl 29 Juni biasanya ada penyerahan palium untuk para uskup agung yang baru terpilih.

Konsistori ini biasanya juga ditentukan oleh Paus pada tanggal dan hari lainnya, seperti yang terjadi di beberapa tahun terakhir ini. Karena itu, dasar argument soal pengunduran diri Paus dalam kaitannya dengan terpilihnya 21 kardinal baru, konsistori dan rencana kunjungan Paus ke makam Paus Selestinus V rasa-rasnya tidak begitu kuat.

Lalu soa pengunduran diri Paus.

Jauh setelah Paus Selestinus V, pada Februari 2013 yang lalu Gereja sejagad dikejutkan dengan pengunduran diri dari Paus Benediktur XVI. Kejadian itu sudah terjadi sembilan tahun lalu, tapi tetap saja meninggalkan banyak tanya di dalam kepala kita. Bahkan sampai beberapa hari yang lalu ada yang masih bertanya soal itu.

Dasar yuridis Paus boleh mundur

Ini pertanyaannya apakah ada dasar yuridis dari pengunduran diri seorang Paus?

Boleh dikatakan bahwa pilihan Benediktus XVI untuk mengundurkan diri saat itu menjadi sebuah “kasus takhta lowong yang langka”. Tapi di sisi lain dapat dilihat sebagai bentuk manifestasi paling nyata dari prinsip yang menopang seluruh struktur Gereja: “ Di antara umat beriman Kristus setiap tuga dibuat untuk melayani dan bukan untuk dilayani”.

Ungkapan ini mengundurkan diri atau meninggalkan “jabatan”, sebenarnya sudah diatur pada alinea kedua kanon 332 Kitab Hukum Kanonik.

Adapun bunyi kutipan kanon itu sebagai berikut.

“Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pendunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapa pun.” (bdk.kan.332₴2).

Mari kita telusuri sejenak isi dari kanon ini.

Pertama-tama, harus dikatakan bahwa Paus, dari sudut pandang yuridis yang ketat, dikonfigurasikan sebagai jabatan gerejawi. Dan untuk setiap jabatan, mulai dari imam paroki hingga jabatan “tertinggi” sebagai Paus, pengunduran diri sudah diperkirakan atau diramalkan.

Kemungkinan ini tidak dimasukkan dalam logika kekuasaan tetapi tanggungjawab terhadap misi yang terkait dengan jabatan itu sendiri. Siapa yang diangkat untuk suatu jabatan, sebenarnya melayani misi yang dipercayakan kepadanya, bukan sebaliknya, dan bertanggungjawab kepada Tuhan untuk itu.

Setiap jabatan gerejawi bahkan jabatan tertinggi seperti Paus – tidak ada untuk diri mereka sendiri tetapi untuk pemeliharaan jiwa-jiwa. Jadi, untuk semua jabatan ini, selain ada cara mengambil jabatan –dalam kasus Paus melalui pemilihan oleh para kardinal dengan penerimaan selanjutnya dari yang terpilih – ada juga cara kehilangan dari jabatan-jabatan itu (kematian, perpindahan, hukuman, pengunduran diri).

Pertanyaan logis lain yang bisa muncul di sini adalah apakah “jabatan Paus” memberi kondisi khusus untuk pendunduran diri?

Adapun semua jabatan gerejawi, pengunduran diri sebagai tindakan yuridis harus dilakukan melalui tindakan bebas, tanpa paksaan dan kekerasan dalam kapasitas kesadaran yang penuh.

Selain itu, agar berlaku penuh, setiap pengunduran diri harus diterima oleh atas yang berhubungan dengan masing-masing jabtan: dalam kasus Paus, karena tidak ada tingkatan yang lebih tinggi, pengunduran diri itu tidak boleh diterima oleh siapa pun, kecuali hanya dimanifestasikan secara bebas.

Faktnya bisa dilihat di dalam apa yang disampaikan Paus Benediktus XVI saat iau, ia tidak menggunakan ungkapan “Saya meminta” tetapi “Saya menyatakan”.

Sekali lagi, ia sampaikan semuanya saat itu dengan bebas, tanpa paksaan, penuh kesadaran dan disampaikan secara publik. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa soal pengunduran diri Paus, secara teoritis dan normative sudah dipikirkan dan diatur dalam hukum universal kita, karenanya menjadi sesuatu yang normal untuk diterima.

Dan sudah pernah terjadi dengan ketiga orang Paus: Paus Selestinus V (1294), Paus Gregorius XII (1415) dan Paus Benediktus XVI (2013).

Akhirnya dari setiap gradasi pengunduran diri dari jabatan gerejawi apa saja mengajak kita untuk merenungkan akan hal ini. Yakni, bahwa misi di dalam Gereja membutuhkan kerendahan hati.

Ini untuk menghindari personalisme dan kesiapan untuk pembaruan.

 

Romo Doddy Sasi CMF

(Dikutip dari sesawi.net)

Komentar