Jumat, 26 April 2024 | 14:16
NEWS

Prof Rokhmin Dahuri Harap ICMI Dorong Generasi Muda Menjadi Entrepreneur Dibanding Jadi PNS

Prof Rokhmin Dahuri Harap ICMI Dorong Generasi Muda Menjadi Entrepreneur Dibanding Jadi PNS

ASKARA –  Ekonomi maritim merupakan kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan dan kegiatan ekonomi di darat yang menggunakan sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa yang dibutuhkan manusia. 

Demikian dikatakan Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, pada acara Webinar Ramadan ICMI “Reorientasi Indonesia Menuju Negeri Maritim, Indonesia Emas 2045” secara online yang dilaksanakan ICMI Pusat, (27/4).

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, Indonesia mempunyai pembangunan ekonomi maritim yang sangat besar yakni 1,4 triliun dolar AS per tahun dengan lapangan kerja sekitar 45 juta orang atau 30 persen total angkatan kerja.

"Sektor kemaritiman sangat potensial meningkatkan keunggulan kompetitif bangsa dan menjadi penggerak pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045," ujar Prof. Rokhmin dalam paparannya berjudul Pembangunan Ekonomi Maritim  Untuk Peningkatan Daya Saing, Pertumbuhan Ekonomi Inklusif, Dan Kesejahteraan Rakyat Secara Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas 2045.

Namun, ucap Prof. Rokhmin, potensi yang dimanfaatkan baru sekitar 15 persen total potensi hingga 2020. Pada 2018, kontribusi ekonomi maritim bagi PDB Indonesia sekitar 10,4 persen. Negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil sepeti Thailand, Korsel, Jepang Maladewa Norwegia, Islandia, kontribusinya sudah lebih dari 30 persen. “Artinya, ruang pengembangan potensi kemaritiman masih terbuka lebar," sebutnya.

Namun, Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu meyakini Indonesia memiliki potensi (modal dasar) pembangunan yang lengkap dan sangat besar untuk menjadi bangsa maju, adil-makmur, dan berdaulat. Secara analogi seharusnya Indonesia terbesar ke 4, karena hampir 45% seluruh barang yang diekspor-impor atau diperdagangkan di dunia itu dengan nilai 15 triliun dolar AS, produk domestik bruto Indonesia baru 1,1 trilun dolar AS.

“Sayangnya selama ini kita bukan menjadi produsen ekspor barang ke global tapi menjadi pengimpor dan konsumen. Bagaimana peran ICMI ke depan menjadikan Indonesia yang dulu impor menjadi pengekspor,” ujar Anggota Dewan Pakar ICMI Pusat itu.

Disamping itu, Indonesia yang kaya raya dengan segala potensi bencana alam 70% dari gunung berapi di dunia ada di Indonesia. “Mestinya, sebagai tantangan yang membentuk etos kerja unggul (Inovatif, kreatif, dan entrepreneur) dan akhlak mulia bangsa,” kata Prof. Rokhmin Dahuri.

Menurutnya, banyak faktor yang menyebabkan Indonesia sebagai negara yang kaya SDA, tetapi belum mampu keluar dari middle-income trap dan menjadi negara maju, adil-makmur, dan berdaulat. Pada tataran praksis, penyebab itu karena kita belum punya Rencana Pembangunan Nasional yang holistik, tepat, dan benar serta diimplementasikan secara berkesinambungan.

Sejak awal era Reformasi, setiap ganti presiden, Menteri, gubernur, dan bupati/walikota; kebijakan dan program nya berganti pula. Jadi, kita ibarat membangun ‘istana pasir’ atau ‘tarian pocopoco’. Tidak ada kemajuan pembangunan yang akumulatif dan berkelanjutan.

Etos kerja, produktivitas, daya inovasi, dan akhlak kita sebagai bangsa pun tergolong rendah. Dan, kita mengalami defisit pemimpin bangsa (Presiden, anggota DPR, Menteri, dan Kepala Daerah) yang capable (berkemampuan), kompeten, memiliki IMTAQ (Iman dan Taqwa) yang kokoh, berkahlak mulia, dan negarawan.

“Dewasa ini, sebagian besar pemimpin bangsa sangat transaksional, ikut berbisnis, melakukan NKK (Nepotisme, Kolusi, dan Korupsi), dan hanya mementingkan diri, keluarga atau kelompok nya. Mayoritas mereka menjadi pemimpin karena pencitraan diri yang dibiayai oleh oligarki melalui para ‘buzzer’ nya,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Dalam paparannya, Prof. Rokhmin menerangkan total estimasi nilai ekonomi sektor kelautan mencapai Rp 1.348 miliar dolar AS per tahun yang berasal dari 11 sektor seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, industri pengolahan hasil perikanan, industri bioteknologi kelautan, ESDM, pariwisata bahari, transportasi laut, industri dan jasa maritim, sumber daya wilayah pulau kecil, sumber daya nonkonvensional, serta coastal forestry.

"Kita ambil contoh di bidang perikanan, Indonesia memiliki perikanan terbesar dunia, terutama perikanan budidaya sebesar 115 juta ton per tahun, tapi kita baru manfaatkan sekitar 19,5 persen," ungkap dia. 

Dibandingkan tahun 1945 ketika kita baru merdeka sampai tahun ini semua bidang kehidupan Indonesia membaik. Tetapi kalau dilihat dari kuantitatif oleh Bank Dunia dan IMF status kemakmuran negara-negara di dunia tahun lalu GNI (Gross National Income) per kapita bangsa Indonesia hanya mencapai 3.870 dolar AS.

“Itu menempatkan kita masih pada status Negara yang Lower middle income country atau negara menengah bawah yang pendapatan per kapitanya antara 1.046 sampai 4.095 dolar AS, Kita masih dikelas itu,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Kalau dibandingkan dengan Negara yang potensi pembangunannya jauh lebih kecil seperti Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, menurutnya, sangat memalukan. “Betapa tidak, Thailand sudah 7.050, Malaysia sudah 10,580 dst,” katanya. Selanjutnya, Prof Rokhmin Dahuri menjabarkan, dari klasifikasi negara berdasarkan indeks pencapaian teknologi sampai sekarang Indonesia masuk dalam kelas 3 lebih dari 70 persen teknologi yang kita butuhkan di tanah air impor.

Dari bermacam literatur, Prof. Rokhmin Dahuri menyebut ada 10 tantangan dan permasalahan pembangunan untuk menggapai Indonesia Emas, antara lain: 1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun); 2. Pengangguran & Kemiskinan; 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia; 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah; 5. Defisit Neraca Perdagangan &Transaksi Berjalan;

Selanjutnya 6. Deindustrialisasi; 7. Kedaulatan Pangan, Farmasi, Dan Energi Rendah; 8. Daya Saing & IPM (Indeks Pembangunan Manusia) rendah; 9. Kerusakan Lingkungan & SDA; dan 10. Volatilitas  Global (Perubahan Iklim, China vs AS, Rusia vs Ukraina, Industry 4.0, dan Pandemi Covid-19).

Sedangkan Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran, Kemiskinan, dan  Koefisien Gini antara sebelum dan saat masa Pandemi Covid-19, perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (Maret 2021), yakni pengeluaran Rp 472.525/orang/bulan. Garis kemiskinan = Jumlah uang yang cukup untuk seorang memenuhi 5 kebutuhan dasarnya dalam sebulan. Sementara menurut garis kemiskinan Bank Dunia (2 dolar AS/orang/hari atau 60 dolar AS (Rp 840.000/orang/bulan), jumlah orang miskin pada 2020 sebesar 100 juta jiwa (37% total penduduk).

Yang memprihatinkan Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Dimana 1 persen orang terkaya sama dengan 45 persen kekayaan Negara , sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. “Ketimpangan sosial ini, akan berdampak buruk terhadap kohesifitas sosial, stabilitas politik, dan akhirnya mengguncang iklim investasi dalam negeri,” katanya.

Disamping itu, kata Prof. Rokhmin Dahuri, jumlah wirausahawan di Indonesia dan beberapa negara ASEAN menurut Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk. Berdasarkan Global Entrepreneurship Index, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Hingga 2021, peringkat GII (Global Innovation Index) Indonesia berada diurutan ke-87 dari 132 negara, atau ke-7 di ASEAN. Sementara, jumlah wirausahawan di indonesia dan beberapa negara ASEAN 3,1 Persen dari jumlah penduduk. Standar Bank Dunia, jumlah pengusaha minimal 7% dari jumlah penduduk.

Menurut Global Entrepreneurship Index hingga 2019, Indonesia berada diurutan ke-75 dari 137 negara atau peringkat ke-6 di ASEAN.“Diharapkan ICMI mendorong generasi muda lebih banyak menjadi Entrepreneur (pengusaha) dibandingkan menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil),” imbuhnya.

Lebih lanjut Prof Rokhmin Dahuri memaparkan implikasi dari Rendahnya Kualitas SDM, Kapasitas Riset, Kreativitas, Inovasi, dan Entrepreneurship salah satunya pada proporsi ekspor produk manufaktur berteknologi dan bernilai tambah tinggi hanya 8,1%. Selebihnya (91,9%) berupa komoditas (bahan mentah) atau SDA yang belum diolah. Sementara, Negara tetangga seperti Singapura mencapai 90%, Malaysia 52%, Vietnam 40%, dan Thailand 24%.  

Selanjutya, Prof Rokhmin Dahuri menerangkan, pertumbuhan ekonomi dan kontribusi PDRB menurut Pulau, Triwulan I dan II-2021 masih di dominasi oleh kelompok provinsi Pulau Jawa yang memberikan kontribusi terhadap PDB TW-1 sebesar 58,70% dan TW-2 sebesar 57 %.

Disamping itu, kekurangan rumah yang sehat dan layak huni dari 65 Juta rumah tangga masih 61,7 % rumah tidak layak huni. Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan ada beberapa  faktor yang menyebabkan Indonesia tertinggal dibandingkan sejumlah bangsa lain. “Penyebab ketertinggalan Indonesia itu ad fakror internal, ada pula faktor eksternal,” ujarnya.

Ia menyebutkan, faktor internal tersebut yaitu belum ada road map pembangunan nasional yang komprehensif, tepat, dan benar yang dilaksanakan secara berkesinambungan; kualitas SDM (pengetahuan, keterampilan, keahlian, kapasitas inovasi, dan etos kerja) dan kapasitas Iptek masih rendah; serta khlak belum baik (susah kerja sama, tidak amanah, dan hedonis). “Selain itu, negara kita belum ada pemimpin yang capable, negarawan, IMTAQ kokoh, dan ikhlas membangun bangsa,” ujar Prof Rokhmin.

Adapun kaktor eksternal, kata dia, antara lain  keserakahan bangsa-bangsa maju dan kapitalisme cenderung menjajah secara ekonomi negara berkembang. Juga, disrupsi akibat kemajuan Iptek  yang sangat pesat (industri 4.0), perubahan iklim global,  pandemi Covid-19, dan pertarungan ideology.

Selain itu, lanjutnya, nasionalisme rendah di kalangan pengusaha: (1) berubah dari industriawan menjadi importir, (2) nyimpan uang > 80% di LN, (3) gaji karyawan rendah, dan (4) R & D serta daya saing rendah (‘jago kandang’).

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri mengatakan, bahwa kemaritiman sangat potensial menjadi keunggulan kompetitif dan prime mover pembangunan nasional menuju Indonesia Emas 2045. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun oleh 17.504 pulau, dirangkai oleh sekitar 104.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut; INDONESIA memiliki potensi pembangunan (ekonomi) Kemaritiman yang sangat besar. 

Selanjutnya, sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun (1,4 PDB – RI tahun 2020) dan lapangan kerja sekitar 45 juta orang (1/3 angkatan kerja-RI).  Hingga 2020 baru dimanfaatkan sekitar 15 % total pontesinya. “Maka, peluang pengembangan (room for expansion) ekonomi maritim untuk peningkatan pertumbuhan ekonomi, kemajuan dan kesejahteraan rakyat masih sangat besar,” ujar Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Maka, terangnya, seiring dengan jumlah penduduk dunia yang terus bertambah, dan SDA serta JASLING (jasa-jasa lingkungan) di wilayah darat yang semakin menipis; maka kebutuhan (demand) terhadap SDA dan JASLING dari wilayah pesisir dan lautan (kemaritiman) akan semakin meningkat.

Pada umumnya, aktivitas pembangunan, investasi dan bisnis di sektor-sektor ekonomi maritim adalah: (1) menguntungkan (profitable); (2) menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable); (3) menghasilkan multiplier effects yang luas; dan (4) berlangsung di wilayah pesisir, pulau-pulau kecil, lautan, perdesaan, dan di luar Jawa. Sehingga, dapat mengatasi permasalahan utama bangsa, khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan disparitas pembangunan antar wilayah.

Dengan  menggunakan IPTEK mutakhir di era Industry 4.0 (seperti IoT, AI, Robotics, Blockchain, Cloud Computing, Human-Machine Interface, Big Data, Bioteknologi, dan Nanoteknologi)  Maka, wilayah lautan akan dapat dijadikan sebagai ruang pembangunan (development space) yang lebih luas, dan menghasilkan komoditas, produk, dan jasa kelautan baru (emerging) seperti farmasi, energi, mineral, dan tanaman pangan.

Fakta bahwa sejak Revolusi Industri Pertama (1753) sampai sekarang; 85% transportasi komoditas dan produk dunia itu melalui laut, sekitar 45% total barang (komoditas dan produk) yang diperdagangkan di dunia diangkut oleh ribuan kapal melalui ALKI (Alur Laut Kepulaun Indonesia), sekitar 60% penduduk dunia dan Indonesia bermukim di wilayah pesisir, dan pergeseran mesin ekonomi dunia (the power house of the world economy) dari Poros Atlantik ke Poros Asia-Pasifik.

“Maka, peran dan kontribusi kemaritiman bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa Indonesia akan semakin sentral dan strategis,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong itu.

Proyeksi Indonesia 2030

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia. ”Indonesia mempunyai  17.504 pulau. Dari jumlah tersebut, sebanyak  16.056 bernama, sedangkan sisanya, 1.448 pulau tidak bernama,” katanya. Ia menambahkan, luas laut teritorial Indonesia mencapai 3,4 juta km2.  Luas Laut Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)  3 juta km2. Panjang garis pantai  108.000 km (terpanjang kedua di dunia setelah Kanada).

Menurutnya, potensi laut Indonesia sangat kaya. Total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: US$ 1,4 triliun/tahun. Jumlah tersebut setara  dengan  7 kali lipat APBN 2021 (Rp 2.750 triliun = US$ 196 miliar) atau 1,2 Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional 2020. Sedangkan, sektor kelautan Indonesia berpotensi menyerap  45 juta orang tenaga atau 30% total angkatan kerja Indonesia.  “Namun, potensi ekonomi yang besar itu belum dimaksimalkan sepenuhnya,” katanya.

Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%.  Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil kontribusinya > 30%. “Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil seperi Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia, kontribusinya  di atas 30 persen,” tutur Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Untuk menjawab peluang dan tantangan tersebut, Prof Rokhmin menjabarkan road map atau peta jalan untuk pembangunan nasional diantaranya adalah dengan melakukan transformasi struktur ekonomi pertama, dari dominasi eksploitasi SDA dan ekspor komoditas (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor tersier) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

Kedua, Modernisasi dan Hilirisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan. keriga, Revitalisasi industri manufakturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), (3) Elektronik, (4) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. keempat, Pengembangan industri manufakturing baru: EBT, Semikonduktor, Baterai Nikel, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi Kreatif, dan lainnya. 5.Semua pembangunan ekonomi (butir-1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy), dan Ekonomi Digital (Industry 4.0).

Adapun Kebijakan dan Program Pembangunan Kelautan yang harus dilakukan antara lain: Pertama, Penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI: (1) penyelesaian batas wilayah laut berdasarkan pada UNCLOS 1982 dengan 10 negara tetangga; (2) penguatan & pengembangan sarpras hankam laut; dan (3) peningkatan kesejahteraan, etos kerja, dan nasionalisme aparat.

Kedua, Penguatan dan pengembangan diplomasi maritim. Ketiga, Revitalisasi (peningkatan produktivitas, efisiensi, daya saing, inklusivitas, dan sustainability) seluruh sektor dan bisnis ekonomi maritim yang ada sekarang (existing). Keempat, Pengembangan sektor dan bisnis ekonomi maritim konvensional (established sectors) di wilayah pesisir dan laut baru, seperti: perikanan tangkap, perikanan budidaya, pariwisata bahari, dan industri maritim.

Kelima, Pengembangan sektor-sektor Ekonomi maritim baru (emerging sectors), seperti: industri bioteknologi kelautan, shale and hydrate gas, fiber optics, deep sea mining, marine-agriculture, dan deep sea water industry; Keenam, Penguatan dan pengembangan konektivitas maritim yakni memalui tol laut dan konektivitas digital melalui Revitalisasi dan pengembangan armada kapal yang menghubungkan pelabuhan utama, dari ujung barat sampai ujung timur NKRI: (Sabang) – Kuala Tanjung – Batam – Tj. Priok – Tj. Perak – Makassar – Bitung – (Morotai) – Sorong – (Kupang).

Kemudian Revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri serta Pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman) termasuk Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet; Ketujuh, semua unit usaha sektor Ekonomi Kelautan harus menerapkan: (1) skala ekonomi (economy of scale); (2) integrated supply chain management system; (3) inovasi teknologi mutakhir (Industry 4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan (4) sustainable development principles (Blue Economy).

Kedelapan, Seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (zero emission, CO2) dan zero waste; Kesembilan, Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA non-konvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan; Kesepuluh, Pengelolaan lingkungan: (1) tata ruang, (2) rehabilitasi ekosistem yang rusak, (3) pengendalian pencemaran, dan (4) konservasi keanekaragaman hayati (biodiversity).Sedangkan revitalisasi dan pembangunan pelabuhan baru sebagai tambat labuh kapal, basis logistik, dan kawasan industri; pembangunan transportasi multimoda (sungai, darat, kereta api, atau udara) dari pelabuhan ke wilayah darat (upland areas, dan pedalaman). Konektivitas digital: telkom, fiber optics, dan internet.

"Semua kegiatan usaha (ekonomi) maritim harus menerapkan kala ekonomi (economy of scale);  integrated supply chain management system;  inovasi teknologi mutakhir (industri  4.0) pada setiap mata rantai suplai, dan  sustainable development principles,” ujarnya.

Di samping itu, sambungnya, seluruh proses produksi, pengolahan (manufakturing), dan transportasi harus secara gradual menggunakan energi terbarukan (Zero Carbon): solar, passut, gelombang, angin, biofuel, dan lainnya. Eksplorasi dan eksploitasi ESDM serta SDA nonkonvensional harus dilakukan secara ramah lingkungan.

“Tidak kalah pentingnya adalah kbijakan politik-ekonomi (fiskal, moneter, otoda, hubungan pemerintah dan DPR, penegakkan hukum, dan lain-lain) yang kondusif;  policy banking (Bank Maritim) untuk sektor-sektor ekonomi kelautan; serta peningkatan budaya maritim bangsa,” papar Prof. Rokhmin Dahuri.

Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu menyebutkan, setidaknya ada empat domain industri bioteknologi kelautan. Pertama, ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota laut untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kedua, genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. Ketiga, rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. “Dan keempat aplikasi bioteknologi untuk konservasi,” tuturnya.

Pada kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri juga mengkritik kesadaran dan komitmen para pemimpin dan elit politik bangsa (Menteri, DPR, Yudikatif, Kepala Daerah, dan CEO swasta) tentang nilai strategis Kemaritiman bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kedaulatan bangsa pada umumnya masih rendah.

“Sebagian besar mereka tidak memiliki visi dan konsep terobosan (breakthrough) untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 berbasis Kemaritiman, dan kebanyakan mereka terjebak dalam kepentingan pribadi, kelompoknya atau kepentingan transaksional lainnya, yang umumnya bersifat instan,” kritik Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Prof Rokhmin Dahuri mengatakan bahwa bangsa Indonesia harus melakukan reorientasi pembangunan sebagai negara maritim untuk mengkselerasi terwujudnya Indoensia Emas (Maju, Adil-Makmur, dan Berdaulat) pada 2045.

“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang tersusun oleh 17.504 pulau, dirangkai oleh sekitar 104.000 km garis pantai (terpanjang kedua di dunia, setelah Kanada), dan 75% wilayahnya berupa laut; Indonesia memiliki potensi pembangunan (ekonomi) Kemaritiman yang sangat besar. Sekitar US$ 1,4 trilyun/tahun (1,4 PDB – RI tahun 2020) dan lapangan kerja sekitar 45 juta orang (1/3 angkatan kerja-RI),” ujarnya.

Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.  Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah.  Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale)  Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 300 (Rp 4,5 juta)/orang/bulan,alias miskin.

Jumlah Armada Perikanan Laut Nasional, 2019 terdiri Perahu Motor Tempel: 427.309 unit, Kapal Motor (KM): 316.249 unit, Perahu Tanpa Motor: 192.653 unit. Dengan proporsi KM >30 GT di Indonesia hanya 1,36%;Kontribusi Sektor Perikanan terhadap PDB Nasional terus meningkat

Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran . Sehingga, tidak ada kepastian harga jual ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.

Investasi dan bisnis di sektor Kemaritiman yang besar, modern, dan menguntungkan, terutama ESDM, industri manufaktur, dan pariwisata bahari, dimiliki oleh pihak asing atau korporasi nasional yang rendah jiwa “nasionalisme” nya, sehingga ‘keuntungan usaha’ (economic rent) nya dibawa ke negara asalnya atau ke Jakarta. “Negara hanya mendapatkan nilai ekonomi yang rendah, dan masyarakat lokal tetap miskin,” kata Member of International Scientific Advisory Board of Center for Coastal and Ocean Development, University of Bremen, Germany itu.

Kecuali, jelasnya, sektor Perikanan Tangkap, tingkat pemanfaatan (pembangunan) sektor-sektor ekonomi maritim masih rendah dan belum optimal. Akibatnya, kontribusi ekonomi maritim bagi perekonomian nasional, kemajuan, dan kesejahteraan bangsa pun belum signifikan.

Selanjutnya, destructive fishing (bahan peledak dan racun), IUU (Illegal, Unregulated, dan Unreported) fishing, penyelundupan, perdagangan ilegal, perampokan, dan kriminalitas lainnya; Overfishing, pencemaran, biodiversity loss, abrasi, sedimentasi, dan kerusakan lingkungan lainnya; Perubahan Iklim, tsunami, dan bencana alam lainnya; Konflik batas wilayah maritim dan ancaman lain terhadap kedaulatan NKRI.

Rendahnya akses nelayan, pembudidaya ikan, dan UKM kemaritiman lainnya kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya; Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah; Rendahnya kapasitas Ristek dan inovasi kemaritiman.

Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.  Kredit perbankan untuk ekonomi maritim, bunganya relatif lebih tinggi dan persyaratan rumit; Suku Bunga Pinjaman Negara Asean; Budaya maritim bangsa, khususnya milenial, masih rendah.

Komentar