Selasa, 18 Juni 2024 | 02:24
NEWS

Diskusi Mingguan Edisi #6 Institut PTIQ dan Ibihtafsir.id

Prof. Rokhmin Dahuri: Segera Ganti Sistem Kapitalisme Dengan Sistem Pancasila (Islam)

Prof. Rokhmin Dahuri: Segera Ganti Sistem Kapitalisme Dengan Sistem Pancasila (Islam)
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA –  Indonesia sebagai negeri terjajah secara politik-ekonomi berawal dari digantikannya UU No.5/1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) dengan beberapa UU yang berwatak kapitalistis, yakni UU No. 11/1970 tentang Penanaman Modal Asing, UU Pertambangan, dan UU Kehutanan yang membebaskan investor asing dan konglomerat nasional untuk mengeksploitasi ESDM dan hutan secara besar-besaran, yang sebagian besar “economic rent” nya dinikmati oleh korporasi asing/MNC (Freeport, Newmont, Cevron, Inpex, Korindo, dll), konglomerat Indonesia, dan pejabat komprador (Oligarki).

“Padahal, UUPA sangat berpihak pada rakyat, khususnya petani, dan anti kapitalis,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS  lewat paparanya berjudul ” Pembangunan Berkelanjutan Dalam Perspektif Islam” pada Diskusi Mingguan Edisi #6 yang diselenggarakan oleh Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran dan Ibihtafsir.id, Jakarta secara Daring, Ahad, 17 April 2022.

Prof. Rokhmin menyampaikan pidato Presiden Soekarno pada 1965, bahwa “Revolusi (demokrasi) Indonesia tanpa land reform, sama saja dengan gedung tanpa pondasi, sama saja pohon tanpa akar/batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi.  Tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan. Tanah untuk petani.  Tanah untuk mereka yang betul-betul menggarap tanah.”

Pertanyaannya kemudian, mengapa upaya mondial dalam mengatasi kerusakan lingkungan dan mensejahterakan warga dunia (SDGs) sampai sekarang belum membuahkan hasil seperti  yang kita harapkan?

“Karena selama ini hampir semua kebijakan dan program penanggulangan kerusakan lingkungan hanya menyentuh fenomenanya, bukan akar masalah (root causes) nya,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu.

Menurut Prof. Rokhmin Dahuri, akar masalah Pembangunan Ekonomi dan LH (Sustainable Development) adalah: (1) pertambahan penduduk dunia; (2) moralitas (IMTAQ, akhlak, dan life style) manusia yang mayoritas sangat kapitalistik (konsumtif, hedonis, greedy,  hegemonis, dan tidak beriman kepada Allah Azza wa Jalla dan akhirat); dan (3) kemajuan IPTEK tanpa moral.

Contohnya, dalam upaya untuk mencegah pemanasan global, negara-negara industri maju memberikan dana hibah “ala kadarnya” kepada negara-negara berkembang (miskin). Dengan syarat, negara-negara berkembang mengurangi emisi CO2 secara signifikan. Tetapi, negara-negara industri maju sendiri tidak mau mengurangi emisi CO2. 

Saat ini, tuturnya, negara-negara industri maju (OECD) dengan total penduduk hanya 18% penduduk dunia mengkonsumsi sekitar 70% total konsumsi energi dunia, dan 87% total energi yang mereka gunakan berupa energi fosil.  Rata-rata laju emisi CO2 negara-negara industri maju sekitar 10 ton perkapita, dan yang tertinggi adalah Amerika Serikat sebesar 20 ton perkapita. Sedangkan, negara-negara berkembang rata-rata hanya 1 ton perkapita, dan Indonesia baru 0,5 ton perkapita (IPCC, 2019).

“Ketidak-adilan iklim inilah yang merupakan  “biang kerok” dari pemanasan global.  Selain itu, teknologi untuk mitigasi dan adaptasi terhadap Global Warming, tsunami, kebakaran hutan, gempa bumi, dan bencana alam lainnya pun masih terbatas, khususnya bagi negara-negara berkembang (miskin),” tukas Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Lebih lanjut, Prof Rokhmin memaparkan, ada 10 permasalahan & tantangan pembangunan Indonesia, yaitu: 1. Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran & Kemiskinan, 3. Ketimpangan Ekonomi Terburuk Ke-3 Di Dunia, 4. Disparitas Pembangunan Antar Wilayah, 5. Defisit Neraca Perdagangan &Transaksi Berjalan, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan Pangan,
Farmasi, dan Energi Rendah, 8. Daya Saing & IPM Rendah, 9. Kerusakan Lingkungan & SDA, dan 10. Perubahan Iklim, China vs AS, Industry 4.0, dan Pandemi Covid-19.

Disisi lain, lanjutnya, Indonesia menduduki peringkat ke-3 sebagai negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi (terburuk) di dunia. Menurut laporan Credit Suisse’s Global Wealth Report 2019, 1% orang terkaya di Indonesia menguasai 44,6% kue kemakmuran secara nasional, sementara 10% orang terkaya menguasai 74,1%. Sementara, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia hingga 2019  berada diurutan ke-107 dari 189 negara, atau peringkat ke-6 di ASEAN.

Prasyarat Teknis-Ilmiah Pembangunan Berkelanjutan

Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong ini mengatakan, Pembangunan Berkelanjutan dapat terwujud, bila Pembangunan dengan memanfaatkan Ekosistem Alam mampu  menghasilkan barang & jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan mengelola dampak negatipnya < DDL  (Biocapacity)Alam secara berkelanjutan.

Pembangunan Berkelanjutan dapat berjalan baik (terwujud) di suatu wilayah (Desa, Kabupaten/Kota, Propinsi, Negara, atau Dunia), bila total demand (permintaan) manusia terhadap ruang kehidupan, SDA, dan jasa-jasa lingkungan di wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan lokal maupun ekspor tidak melampaui DDL (Daya Dukung Lingkungan = Environmental Carrying Capacity) wilayah tersebut.

Demand = f (jumlah penduduk, kebutuhan ruang/kapita, konsumsi SDA/kapita, sampah/kapita, emisi GRK/kapita, dan ekspor).

Daya Dukung Lingkungan = f (luas wilayah, potensi sumber daya alam terbarukan, sumber daya alam tak terbarukan, kapasitas asimilasi sampah, fungsi penunjang kehidupan, teknologi, dan impor).

Daya dukung lingkungan (ECC) suatu wilayah (area) dapat ditingkatkan melalui penerapan teknologi dan impor barang dan jasa. Namun, aplikasi teknologi dan impor tidak dapat meningkatkan ECC tanpa batas. Ada batasnya!.

“Padahal, ECC (DDL) kebanyakan negara atau wilayah (region) di dunia sudah terlampaui oleh beragam aktivitas manusia dan pembangunan ekonomi,” ujarnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, satu-satu nya jalan utama untuk mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan adalah dengan cara mengendalikan human demand dan laju pemanfaatan SDA dan JASLING (jasa lingkungan) supaya tidak melebihi DDL wilayah (Bumi).

Namun, fakta empiris sejak 1970-an sampai sekarang telah membuktikan, bahwa pengendalian human demand dan laju pemanfaatan SDA dan JASLING melalui pendekatan Kapitalisme (teknologi, ekonomi, hukum, dan kelembagaan) secara kasat mata telah gagal.  Buktinya: seperti diuraikan diatas, pencemaran, biodiversity loss, Global Warming, dan kerusakan lingkungan lainnya semakin memburuk dan meluas.

Pada titik inilah, bila manusia itu mengetahui (sudah sampai dakwah), tidak sombong; atau ‘bodoh’, pasti akan menjadikan Islam sebagai Pedoman Hidup yang lengkap dan sempurna dari Allah SWT (QS.3: 19; QS. 5: 3; QS. 3: 85; QS. 3: 44, 45, dan 47; dan QS. 7: 96) untuk mengatasi segenap permasalahan LH dan pembangunan ekonomi, dan secara simultan mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan.

Karena, begitu banyak Ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits yang melarang kita melakukan kerusakan di bumi, mencemari lingkungan, mengkonsumsi atau menggunakan SDA (makanan, air, energi, dll) secara berlebihan (boros); dan  memerintahkan kita untuk merawat bumi, menanam pohon, dan berbagai kegiatan lainnya untuk konservasi alam.

Dan, manusia yang melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya (termasuk tentang LH dan Pembangunan Berkelanjutan) itu, di akhirat akan masuk Surga, dan sebaliknya akan masuk Neraka; maka manusia yang beriman dan taqwa kepada Allah SWT pasti akan mencintai dan merawat LH, serta melaksanakan paradigma Pembangunan Berkelanjutan. 

“Sudah tentu, pendekatan teknologi, ekonomi, hukum, dan kelembagaan secara paralel dan harmonis dengan pendekatan religius (Islam atau agama lainnya) mesti terus dilanjutkan,” kata Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Pembangunan Berkelanjutan menurut Perspektif Islam

Dalam aktifitas ekonomi, Islam memiliki tujuan materil (duniawi) dan akhirat (ukhrawi). Hal inilah yang menjadi perbedaan dengan Kapitalisme yang hanya memandang kebahagiaan dari materil dan di dunia saja.

Asas dasar sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya menjadikan akal manusia sebagai landasan epistemologis satu-satunya, tetapi juga al-Qur’an dan al-Hadits sebagai yang utama.

Ada 3 dimensi perspektif Islam dalam pembangunan berkelanjutan: 1.World-view Islam, 2.Tujuan Ekonomi Berkelanjutan dalam Islam, 3.Metode Ekonomi Berkelanjutan dalam Islam.

Sedangkan World-view Islam dalam Ekonomi Berkelanjutan berdasarkan pada tiga konsep: 1.Tauhid: hal yang paling penting, karena tauhid memberikan makna dan signifikansi terhadap ekistensi alam semesta, yang terdapat manusia di dalamnya; 2.Khalifah: sebagai pemelihara bumi dan tidak untuk sebaliknya yaitu menciptakan kerusakan dan pertumpahan darah; 3.Adil : SDA yang diciptakan Allah SWT merupakan modal atau perantara untuk mencapai kemakmuran atau yang disebutkan sebagai konsep Falah. Tanpa keadilan, adil terhadap manusia maupun alam, falah tidak akan pernah tercapai.

Berikut, tujuan ekonomi berkelanjutan dalam Islam  antara lain pembangunan ekonomi harus dapat menciptakan keseimbangan antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat serta kepentingan dunia dengan akhirat, yang selaras dengan ajaran agama Islam. “Dalam mencapai tujuan ini hal yang penting untuk diperhatikan adalah metode pencapaiannya yaitu maqashid syariah,” kata Prof. Rokhmin Dahuri

Sedangkan metode ekonomi berkelanjutan dalam Islam ada dua dimensi dalam menggunakan SDA: 1.Memobilisasi SDA yang bermaksud menghidupkan tanah mati dan memiliki sumber tersebut. Contoh: pemerintah dibolehkan mengambil alih tanah untuk pembangunan ekonomi yang bermanfaat bagi orang banyak; 2.Menghidupkan tanah mati dan memanfaatkan SDA yang menganggur untuk kemaslahatan manusia. Hal ini termasuk tujuan dasar ekonomi Islam yaitu mencari kemaslahatan dan menjauhkan kerusakan (mafsadah) melalui penggunaan SDA secara optimal, keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu dan generasi, serta menghapus riba.

Selanjutnya, kata Prof. Rokhmin Dahuri, ada 3 poin penting Surah Al-Baqarah ayat 60 (Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman : “Pukullah batu itu dengan tongkatmu”. Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan).

1.Kekayaan alam yang ada di bumi merupakan pemberian dari Allah SWT. yang diturunkan kepada umat manusia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia.

2.Allah telah membagikan rezeki kepada 12 suku Bani Israil secara adil agar tidak berseteru. Hal ini merupakan simbolis dalam menciptakan keseimbangan sosial sehingga tidak terjadi ketimpangan.

3.Penegasan Allah SWT kepada manusia setelah diberikan karunia kekayaan alam, kemudian untuk menjaga lingkungan sekitar dan tidak membuat kerusakan di muka bumi.

Dalam Islam, merawat alam dan lingkungan hidup untuk mewujudkan kesejahteraan bersama itu merupakan kewajiban bagi orang-orang beriman (Surah Al-Baqarah ayat 22). Islam juga mengajarkan terkait larangan untuk mencemari dan merusak lingkungan hidup (Surah Ar-Rum ayat 41). Bahkan, Rasulullah SAW memerintahkan untuk menanami tanah-tanah yang kosong. Bahkan kalau pemilik tanah itu tidak sanggup menanaminya, Rasulullah SAW menganjurkannya untuk mencari orang lain untuk menggarapnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menuturkan, bahwa Islam mengajarkan antara lain: 1. Islam mewajibkan umatnya untuk hidup sederhana, tidak boros, berhenti makan sebelum kenyang (Q.S. Al-Furqan; 67).

2. Tidak boleh membuang-buang air meski saat berwudlu, dan tidak memubazirkan SDA (Rasulullah SAW. berjalan melewati Sa’ad yang sedang berwudu dan menegurnya, ”Kenapa kamu boros memakai air?”. Sa’ad balik bertanya, ”Apakah untuk wudu pun tidak boleh boros?”. Beliau Saw. menjawab, ”Ya, tidak boleh boros meskipun kamu berwudu di sungai yang mengalir. (H.R. Ibnu Majah  dan Ahmad)

3. Menumpuk harta, mencari dan membelanjakan harta secara haram pun dilarang oleh Allah SWT. (QS. Ali 'Imran Ayat 180)

4. Sebaliknya, umat Islam diwajibkan untuk berbagi harta, ilmu, dan rezeki lainnya kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan, kaum fakir, miskin, dan musafir. (QS. Ali 'Imran Ayat 92)

5. Islam juga mewajibkan umatnya untuk berlaku jujur, adil, dan menyayangi sesama, rahmatan lil a’lamin. (QS. Al-Ma'idah Ayat 8)

6. Islam mewajibkan muslim untuk memelihara dan meningkatkan DDL bumi, dan membatasi permintaan terhadap SDA dan jasa-jasa lingkungan.

7. Bagi Umat Islam, merawat bumi dan melestarikan lingkungan hidup juga merupakan salah satu wujud ibadah kepada Allah Azza wa Jalla, Tuhan Yang Menciptakan manusia dan alam semesta. (QS. Al-A’raf Ayat 56)

Dalam Islam implikasi (balasan) bagi seseorang yang menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya itu bukan hanya berlaku di dunia, tetapi juga di akhirat.  Dimana, balasan bagi mereka yang menjalankan perintah Allah adalah surga berupa kenikmatan dan kebahagiaan sepanjang masa. Sebaliknya, bagi mereka yang tidak menunaikan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya akan menjadi penghuni neraka berupa azab dan penderitaan abadi.

Untuk itu, Prof Rokhmin Dahuri menyimpulkan untuk segera ganti Sistem Kapitalisme dengan Sistem Pancasila (Islam), antara lain: 1. Pemanfaatan dan pengelolaan SDA (ESDM, kehutanan, perkebunan, tanah, dan air) harus dilakukan oleh negara (BUMN) untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Pasal 33, UUD 1945); 2. Aset ekonomi produktif seperti modal, infrastruktur, teknologi, pasar, dan informasi harus mudah diakses oleh seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan. Tidak seperti selama ini, rakyat kecil sangat susah mendapatkannya. “Ilmu saja tanpa amal adalah gila, dan amal tanpa ilmu itu sesat dan sombong,” ujarnya mengutip Imam al-Ghazzali.

Sebelumnya, Prof Rokhmin Dahuri memaparkan, sejak runtuhnya Kekhilafahan Islam terakhir di Turki pada 1924, kehidupan dunia, termasuk pembangunan ekonomi, praktis mengikuti paradigma (mahzab) Kapitalisme dan Komunisme. Kemudian, karena tidak sesuai dengan fitrah manusia, berbarengan dengan munculnya gerakan ‘Glasnot’ dan ‘Perestoika’ di Uni Soviet pada 1989, Komunisme tidak lagi diantut oleh bangsa-bangsa di dunia (‘mati’).

Menurut Bank Dunia (2020), secara makroekonomi, Kapitalisme berhasil memacu laju pertumbuhan ekonomi dunia rata-rata 3,4% per tahuan, sehingga PDB Dunia meningkat secara fenomenal (105 kali lipat), dari US$ 0,95 trilyun pada 1753 menjadi US$ 100 trilyun pada 2019.

Kapitalisme juga sukses mengembangkan IPTEK dan telah melahirkan 4 gelombang Revolusi Industri.  Kemajuan sangat pesat di bidang IPTEK juga telah membuat kehidupan manusia lebih sehat, mudah, cepat, efisien, dan nyaman.

“Revolusi Industri keempat (Industry- 4.0) ditandai dengan berkembangnya teknologi-teknologi baru terutama berbasis digital dan teknologi informasi seperti IoT (Internet of Things), AI (Artificial Intelligence), Big Data, Block-chain, Cloud Computing, dan Robotika serta Bioteknologi dan Nanoteknologi,” (Klaus Schwab, 2015).

Maka, Ekonomi Digital adalah ekonomi yang berdasarkan pada dan digerakkan oleh teknologi-teknologi yang lahir di era Industry 4.0.

“Namun, Kapitalisme gagal mengentaskan kemiskinan, kelaparan, dan tuna wisma global. Selain itu, Kapitalisme telah mengakibatkan ketimpangan kaya vs miskin semakin melebar, dan kerusakan lingkungan serta Perubahan Iklim Global (Global Warming) yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan (sustainable capacity) bumi di dalam mendukung pembangunan ekonomi, bahkan kehidupan manusia,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Kapitalisme pun, sambungnya, telah mengakibatkan kehidupan sosial-budaya dan politik mengalami dekadensi dan menuju kehancuran, antara lain:

1. Indikator Kegagalan Bidang Ekonomi

- Hingga 2021, sekitar 3 milyar penduduk dunia (37%) masih miskin (pengeluaran < US$ 2 per hari), dan sekitar 1 milyar orang masih miskin absolut atau fakir (pengeluaran < US$ 1.25 per hari) (World Bank and UNDP, 2020).

- Sekitar 1,3 miliar penduduk dunia tidak memiliki akses listrik, 900 juta tidak memiliki akses ke air bersih, 2,6 miliar tidak memiliki akses ke sanitasi yang sehat, dan sekitar 800 juta penduduk pedesaan tidak memiliki akses ke jalan raya yang tahan cuaca dan terputus dari dunia pada musim hujan (IEA, 2016).

- Di antara 194 negara di dunia, hanya 55 negara (28%) yang telah mencapai status negara berpenghasilan tinggi (kaya). 103 negara (53%) adalah negara berpenghasilan menengah, dan 36 negara (19%) masih miskin (Bank Dunia dan UNDP, 2018).

- Dalam 250 tahun terakhir, ekonomi dunia tumbuh sangat tidak merata (Sach, 2015). Misalnya, pada tahun 2010, orang terkaya di dunia dari 388 orang memiliki lebih banyak kekayaan daripada seluruh separuh bawah populasi dunia (3,3 miliar orang). Pada tahun 2017, kelompok terkaya yang memiliki kekayaan melebihi setengah populasi dunia terbawah telah menyusut menjadi hanya 8 orang. Ketimpangan kekayaan yang begitu tinggi telah terjadi tidak hanya antar negara, tetapi juga di dalam negara (Oxfam International, 2019).

- Saat ini, negara-negara maju (kaya) dengan populasi hanya 18% dari populasi dunia mengkonsumsi sekitar 70% dari energi dunia, yang sebagian besar (87%) berasal dari bahan bakar fosil, yang merupakan faktor utama penyebab Pemanasan Global (IPCC, 2019).

- Padahal, pada 2019 PDB Dunia sudah mencapai US$ 100 trilyun, bila dibagi dengan jumlah penduduk dunia saat itu sebanyak 7,4 milyar orang > Maka, GNI (Gross National Income) per capita penduduk dunia sudah mencapai US$ 13.514 atau > US$ 12.695, batas sebuah negara bisa dinobatkan sebagai negara makmur (high-income country) (Bank Dunia, 2021).

- Artinya, bila pola pembangunan ekonomi (pemerataan kesejahteraan) nya adil  Penduduk Dunia semua sudah sejahtera sejak awal tahun 2000-an.

2. Indikator Kegagalan Bidang Lingkungan

- Pertumbuhan ekonomi global selama 250 tahun terakhir juga telah menyebabkan degradasi lingkungan besar-besaran yang didorong oleh kegagalan pasar dan kebijakan yang buruk (Weizsaker dan Wijkman, 2018). Hampir semua negara di dunia mengalami skala penipisan sumber daya alam, pencemaran lingkungan, dan dampak negatif dari Pemanasan Global.

- Perubahan Iklim Global secara langsung dapat merugikan ekonomi dunia sebesar US$ 7,9 triliun pada pertengahan abad karena meningkatnya kekeringan, gelombang panas, wabah penyakit, banjir, dan gagal panen menghambat pertumbuhan dan mengancam infrastruktur (EIU, 2019). Jika suhu Bumi meningkat lebih tinggi dari 1,50C dari pengukuran dasar, maka dampak negatif Pemanasan Global tidak dapat dikendalikan (IPCC, 2019).

3. Indikator Kegagalan Bidang Sosial Budaya

Di seluruh dunia, terutama di daerah perkotaan, terjadi peningkatan tingkat stres, ketegangan dan perselisihan dalam urusan manusia, disertai dengan dan peningkatan semua gejala anomie (penyakit sosial), seperti frustrasi, kejahatan, alkoholisme, kecanduan narkoba. , HIV/AIDS, perceraian, pemukulan anak, penyakit mental dan bunuh diri, semuanya menunjukkan kurangnya kepuasan batin dalam kehidupan individu (Brown, 2003; Chapra, 1995).

Ketidakadilan ekonomi, pengangguran, kemiskinan absolut, dan diskriminasi politik telah banyak dilaporkan dan diyakini sebagai akar penyebab radikalisme dan terorisme (Cavanagh dan Mander, 2004).

Pandemi Covid-19 menelanjangi kedok kemunafikan negara-negara maju kapitalis dengan cara memproduksi dan menimbun vaksin jauh melebihi dari kebutuhannya.  Sementara, negara-negara berkembang (miskin) sangat kekurangan vaksin dan susah membeli dari negara - negara maju (Sundaram and Chowdury, 2021).

Komentar