Jumat, 17 Mei 2024 | 18:20
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri: Provinsi Aceh Memiliki Posisi Strategis, Jalur Pelayaran Internasional Selat Malaka

Prof. Rokhmin Dahuri: Provinsi Aceh Memiliki Posisi Strategis, Jalur Pelayaran Internasional Selat Malaka
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Provinsi Aceh memiliki posisi strategis, berada di jalur pelayaran internasional Selat Malaka yang merupakan wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI-I).  Menjadi pintu gerbang lalu-lintas perdagangan nasional dan internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat.

Hal tersebut disampaikan oleh Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS saat menjadi narasumber  pada Rapat Koordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten/Kota se Provinsi Aceh,  Banda Aceh, Dinas Kelautan Dan Perikanan Provinsi Aceh, Selasa (1/3/2022).

“Total potensi lahan perikanan budidaya Provinsi Aceh sebesar 358.091 HA, dimana tingkat pemanfaatan hingga 2020 baru 40%, dengan dominan dari jenis budidaya Air Tawar,” ujar Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University itu.

Prof Rokhmin Dahuri menerangkan bahwa penguatan dan pengembangan usaha perikanan budidaya di setiap kabupaten dan kota hendaknya berbasis komoditas unggulan setempat (lokal). “Untuk kabupaten/kota non-pesisir, komoditas/spesies unggulannya adalah jenis-jenis ikan perairan tawar, seperti: ikan nila, gurame, mas, patin, lele, baung, lobster air tawar, udang galah, dan ikan hias,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan era Kabinet Gotong Royong itu.

Hanya saja, potensi perikanan tangkap dan budidaya di Aceh masih menghadapi berbagai persoalan. Misalnya, tingkat (intensitas) pemanfaatan sumber daya perikanan, khususnya perikanan budidaya masih sangat rendah. Yang mana, sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil perikanan masih bersifat tradisional (less technology and management content). "Mayoritas nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah hasil perikanan, dan pedagang perikanan masih miskin, dengan pendapatan kurang dari  US$ 300 per orang per bulan," papar Rokhmin.

Bahkan, terangnya, sejumlah permasalahan pembangunan masih dihadapi oleh masyarakat dan Pemerintah Provinsi Aceh seperti kemiskinan yang masih sekitar 15,33% atau urutan ke-5 dari 34 Provinsi di Indonesia. Kemudian, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Prov. Aceh masih ada sekitar 6,30% dengan jumlah penduduk atau tertinggi ke-10 dari 34 provinsi di Indonesia. "PDRB per kapita masih Rp 30,57 juta atau terendah ke-4 dari 34 provinsi di Indonesia," ungkap Prof. Rokhmin Dahuri.

Lebih lanjut, Prof Rokhmin menerangkan, permasalahan dan tantangan pembangunan Sektor Kelautan dan Perikanan (KP) Provinsi Aceh karena sebagian besar usaha penangkapan ikan bersifat tradisional: (1) tidak memenuhi economy of scale, (2) tidak menggunakan teknologi mutahkir, (3) tidak menerapkan Integrated Supply Chain Management System (manajemen terpadu hulu – hilir), dan (4) tidak mengikuti prinsip-prinsip Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development).

Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara)  itu mengatakan TPT tertinggi berada di Kota Lhokseumawe sebesar 11,99% (tahun 2020). Hingga September 2021 GINI rasio Prov. Aceh sebesar 0,32 (urutan ke-23 dari 34 Provinsi di Indonesia).  Pada 2021, PDRB Prov. Aceh berada diurutan ke-20, sementara PDRB per kapita ke-31 dari 34 Provinsi di Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin juga membahas tentang pentingnya  pengembangan usaha akuakultur untuk menghasilkan komoditas (raw materials) untuk industri farmasi, kosmetik, functional foods & beverages, pupuk, pewarna, biofuel, dan beragam industri lainnya. Juga, revitalisasi dan pembangunan baru hatchery untuk berbagai komoditas unggulan, sesuai kebutuhan.

“Tidak kalah pentingnya, pengembangan pabrik pakan mandiri, dengan sumber protein non-fishmeal (tepung ikan) yang berkualitas, harga relatif murah, dan supply kontinu,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia ini.

Sementara itu, potensi lahan perikanan budidaya Provinsi Aceh sebesar ± 358.091 Ha, dengan tingkat pemanfaatan baru 19,31%, yang mana sebagian besar dari tambak. "Sebagian besar produksi perikanan budidaya Aceh dihasilkan dari tambak atau sebesar 65%," sebutnya.

Di sisi lain, masih terdapat keterbatasan infrasturktur dan sarana pembangunan. Tak pelak, akibat stigma kemiskinan bekerja di sektor kelautan dan perikanan (KP), maka generasi milenial atau tenaga kerja yang produktif, inovatif, dan berjiwa entrepreneur tinggi tidak tertarik bekerja di sektor tersebeut. Sehingga, sektor KP kurang berdaya saing, efisien, mensejahterakan, dan berkelanjutan  "Ibarat ‘lingkaran setan," kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) ini.

Untuk mengatasi problem tersebut, Prof Rokhmin juga menyarankan, Pemprov Aceh memanfaatkan secara optimal potensi kelautan dan perikanan. Potensi lestari (MSY) atau sumber daya ikan (SDI) Laut Aceh sebesar 400 ribu ton/tahun berdasarkan data DKP Aceh, 2011. Adapun produksi perikanan Laut Aceh pada tahun 2018 sebesar 288.034 ton atau 72% potensi SDI Laut Aceh. “Pemprov  Aceh mesti mengerjakan penyusunan Rencana Pembangunan, Investasi, dan Bisnis Sektor Kelautan dan Perikanan oleh setiap Kabupaten/Kota Aspeksindo,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri.

Selain itu, melakukan Penyusunan Proposal Pembangunan KP sesuai kebutuhan di setiap Kabupaten/Kota Aspeksindo. “Berdasarkan pada butir-1 dan butir-2 menarik dana APBN (KKP, Kemen PUPR, Kemenhub, Kemenperin, dll) dan APBD Propinsi; dan menarik investor yang credible,” tuturnya.

Kemudian, lanjutnya, menghadirkan Iklim Investasi dan Kemudahan Berbisnis (Ease of Doing Business) yang kondusif dan atraktif: perizinan, keadilan dan kepastian hukum, konsistensi kebijakan, keamanan berusaha, Naker, RTRW, infrastruktur, dll.

 “Jika ekonomi KP dikembangkan dan dikelola dengan menggunakan inovasi IPTEKS dan manajemen mutakhir (seperti diuraikan diatas), maka sektor-sektor KP akan mampu berkontribusi secara signifikan dalam mengatasi sejumlah permasalahan bangsa (khususnya pengangguran, kemiskinan, ketimpangan sosek, dan disparitas pembangunan antar wilayah), dan secara simultan dapat mengkselerasi terwujudnya Prov. Aceh Emas dan Indonesia Emas paling lambat pada 2045,” terang Honorary Ambassador of Jeju Islands dan Busan Metropolitan City, South Korea itu.

Komentar