Larung Sesaji, Tradisi 1 Suro di Pesisir Pantai Selatan Blitar
ASKARA - Larung sesaji yang digelar tiap 1 Muharram (1 Suro) merupakan tradisi turun-temurun warga pesisir Pantai Selatan, khususnya di Pantai Tambakrejo, Kecamatan Wonotirto dan Pantai Desa Serang, Kecamatan Penggungrejo, Kabupaten Blitar.
Tradisi ini merupakan wujud syukur atas nikmat Tuhan berupa rejeki, keselamatan serta hasil alam yang melimpah.
Setiap tahunnya, tradisi ini selalu dinantikan ribuan pengunjung dari berbagai daerah. Namun, lantaran pandemi Covid-19 kegiatan Larung Sesaji kali ini diselenggarakan sederhana dan tertutup untuk umum dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Upacara Larung Sesaji ini sangat sakral dan dipercaya oleh warga Desa Serang dan sekitarnya sebagai warisan budaya leluhur. Semua pengikut dan undangan pada setiap pelaksanaan Larung Sesaji di Pantai Serang dilaksanakan berdasarkan adat Jawa dengan memakai pakaian khas orang Jawa atau Kejawen.
Sedangkan pelaksanaan Larung Sesaji dilengkapi dengan Tumpeng Agung setinggi 1,5 meter. Tumpeng Agung juga dihiasi dengan buah-buahan dan hasil bumi warga Desa Serang di antaranya ubi, ketela pohong, jagung, kacang tanah, pepaya, dan pisang yang dirakit dan ditempatkan di atas alas dari anyaman bambu seluas 7 meter persegi. Berbagai sesaji juga dibawa sebagai kelengkapan ritual termasuk kepala sapi/lembu.
Pada bulan Agustus 2019, Larung Sesaji Pantai Tambakrejo ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda oleh Kementerian Republik Indonesia.
Prosesi Larung Sesaji diawali dengan pembacaan doa (Ujub) oleh ketua adat yang berisi ungkapan-ungkapan syukur atas hasil laut yang diperoleh selama setahun, serta harapan memperoleh hasil yang baik tanpa ada halangan dan terhindar dari wabah dan musibah.
Tradisi Larung sesaji 1 Suro atau Tahun Baru Islam yang setiap tahun diselenggarakan di Pantai Serang Kabupaten Blitar, Jawa Timur, tahun 2021 kali ini digelar berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Dua tahun terakhir tradisi larung sesaji di wilayah pesisir selatan Blitar tak melibatkan banyak orang. Masyarakat menyadari pandemi korona belum berakhir. Kearifan lokal yang masuk warisan budaya ini pun tetap digelar meskipun secara sederhana.
“Tradisi ini biasanya diikuti dan disaksikan oleh banyak penduduk setempat dan pengunjung Pantai Serang. Pandemi Covid-19 kali ini mengharuskan kegiatan tersebut dilaksanakan dengan terbatas dan tetap dengan protokol kesehatan yang ketat. Kami bersyukur masyarakat mau menerima kondisi yang semacam ini. Meski dibatasi, bagi kami melestarikan budaya ini menjadi hal yang lebih penting,” ujar Kepala Desa Serang, Handoko.
Komentar