Rabu, 22 Mei 2024 | 08:41
NEWS

Ketika Bank Perkreditan Rakyat Berguguran, Kalah Saing dengan Pinjaman Online

Ketika Bank Perkreditan Rakyat Berguguran, Kalah Saing dengan Pinjaman Online
Ilustrasi Bank Perkreditan Rakyat (Dok Beritasatu.com)

ASKARA - Peneliti Indef Abdul Manap Pulungan menyebutkan, ada beberapa faktor penyebab Bank Perkreditan Rakyat (BPR) berguguran. 

Salah satunya, ialah kemampuan daya saing sangat menentukan keberlangsungan bisnis tersebut. 

Selain itu, persaingan dengan pinjaman online alias financial technology (fintech) peer to peer lending. Belum lagi, berbicara modal berfungi sebagai penyerap kerugian yang timbul dari berbagai risiko. 

"Ada dampak dari pinjaman online, jadi yang selama ini diterapkan BPR itu kan masih tradisional sistemnya. Dari pengajuan, prosesnya lama dan verifikasi lihat agunan ke tempat debitur," kata Abdul Manap ketika dikonfirmasi, Jumat (19/2).

Hal itu membuat sebagian besar masyarakat lebih melirik pinjaman online yang sudah sangat mudah ditemukan melalui ponsel pintar. 

Terlebih, masyarakat menginginkan prosesnya lebih mudah. 

"Nah, itu yang menjadikan ini tidak laku dan tidak populer bagi debitur. Sehingga orang lebih akan memilih aplikasi online," nilai Abdul. 

"Kalah saing. Siapa yang sekarang mau akses ke BPR? Kalau dari aplikasi tidak harus ribet. Hanya pakai hp langsung cair masyarakat tidak mau ribet," tambahnya. 

Penyebab lainnya yang membuat BPR likuidasi ialah, adanya dampak pandemi Covid-19 yang membuat aktivitas ekonomi melambat.

Meski Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyebut tekanan pada perbankan selama pandemi dapat dikendalikan. 

Dia menjelaskan, bisnis di BPR spesifik, biasanya akan terkait aktivitas di lokasi BPR sekitarnya, misalnya di pasar. 

"Mungkin pembatasan aktivitas, tentu akan pengembalian dividen macet dan mempengaruhi cash flow BPR. Pada saat kreditnya macet tinggi akan menggerogoti yang namanya modal," terang Abdul. 

Selain itu, jika dipahamai sumber daya BPR biasanya lebih tidak berkualitas dibandingkan kredit bank lain. Maka bisa saja pada saat mereka mengalokasikan aset atau fortopolio tidak diverifikasi. 

"Bisa saja konsentrasi ke satu debitur atau tifikal bank di Indonesia itu mereka akan menempatkan kreditnya ke satu sektor yang lagi leading," nilainya.

Belum lagi, tata kelola yang khususnya fokus pada prilaku dan profesionalisme dari pengurus perlu mendapat penekanan, sehingga resolusi BPR jauh lebih baik, yakni tak berujung pada likudiasi.

"Jadi pada saat semuanya bergerak ke sana. Nah, suatu titik ada kemacetan atau sektor itu mengalami perlambatan tentu akan melibas semua bisnis yang ada di BPR itu," imbuhnya. 

Sebelumnya, LPS mencatat sebanyak 103 BPR bangkrut atau likuidasi akibat kinerja keuangan sangat sulit. 

Itu terjadi sepanjang 2006 hingga Juni 2020. Tercatat delapan BPR yang sudah dilikuidasi ini terbanyak masih di daerah Jawa Barat.

BPR yang paling banyak dilikuidasi berada di wilayah Jawa Barat dan Sumatra Barat. Masing-masing, di Jawa Barat 36 BPR dan di Sumatra Barat 15 BPR.

 

Komentar