Jumat, 26 April 2024 | 10:23
OPINI

Putusan Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak di Depok

Putusan Kasus Kekerasan Seksual Pada Anak di Depok
Ilustrasi. (Suara)

Akhirnya SPM atau Syahril Martinus Marbun dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Depok, Jawa Barat. 

Majelis hakim yang mengadili perkara Nomor: 473/Pid.Sus/2020/PN.Dpk mendakwa SPM melakukan kekerasan seksual pada dua anak adalah Hakim Ketua Nanang Herjunanto, Hakim Anggota Forci Nilpa Darma dan Nugraha Medica Prakasa menyatakan bahwa terdakwa SPM dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana kekerasan seksual pada anak dan dihukum 15 tahun penjara, denda Rp 200 juta dan restitusi Rp 6 juta (bagi korban J), Rp 11 juta (korban A).

Putusan hukuman ini lebih berat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Depok. JPU kasus kekerasan seksual pada anak-anak paroki St Herkulanus dalam sidang 2 Desember 2020 lalu menuntut terdakwa penjara 11 tahun dan membayar denda Rp 200 juta serta restitusi sebesar Rp 24 juta bagi kedua korban atau subsider tiga bulan penjara.

Tuntutan itu didasarkan pada aturan pasal 82 ayat 2 UU 35/2014 Tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat tiga tahun dan...

Majelis hakim menyatakan tindakan kejahatan yang dilakukan SPM memenuhi semua unsur dari pasal 82 UU 36/2014 Tentang Perlindungan Anak sehingga terbukti bersalah dan dihukum maksimal yakni penjara 15 tahun. 

Kasus ini berawal dari laporan seorang anak korban dari SPM. Hari itu tanggal 24 Mei 2020 korban diantar kedua orang tuanya beserta kami tim pendamping dan advokat melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami kepada Polres Depok. Sejak hari itu korban berjuang meraih keadilan atas masalah yang menimpanya. Si anak bersama orang tuanya dipenuhi harapan bisa membongkar serta menghentikan kejahatan kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak misdinar yang menjadi  korban kekerasan seksual dari pendamping mereka sendiri. Anak-anak dan keluarganya dihancurkan hidupnya oleh pendamping misdinar di Paroki St Herkulanus, Depok.

Mereka sebagai korban memutuskan untuk membongkar dan membawa kasusnya diselesaikan secara hukum dan berjuang secara terbuka. Tidak menutupi fakta kekerasan seksual yang dialami dan melaporkannya ke polisi adalah sikap berani berjuang bagi sesama dan memutus rantai kejahatan kekerasan seksual. 

Beberapa waktu kemudian ada dua orang korban yang ikut menjadi pelapor ke polisi. Tetapi hanya satu korban anak yang bisa menjadi pelapor kedua dalam berkas kasus. Sementara satu orang korban lain hanya menjadi saksi karena kejadiannya sudah 14 tahun lalu. Dalam upaya melaporkan kejahatan kekerasan seksual juga merupakan berjuang untuk sesama. Berjuang bagi sesama  adalah tanggung jawab yang disadari korban yang akhirnya menjadi pejuang atau penyintas dalam kasus kekerasan seksual di lingkungan Gereja Paroki St Herkulanus, Depok. 

Pilihan berjuang secara terbuka melalui langkah hukum bukanlah jalan mudah. Banyak tekanan dan tambahan beban yang biasanya akan diarahkan kepada para korban kekerasan seksual. Apalagi kasus ini dilakukan di salah satu bagian paroki dan bisa terjadi karena si pelaku berada pada posisi aktivitas paroki. Tekanan itu bisa dan biasa terjadi karena korban harus menanggung beban menjaga wajah suci lingkungannya. Beban itu menjadikan para korban sebagai seorang yang hina dan biasanya mendapat stigma sebagai penyebab rusaknya citra gereja. Bahkan para korban yang mengadu atau melaporkan pelaku dikatakan sebagai orang jahat oleh lingkungan sekitarnya. 

Menurut laporan dan pengaduan kepada kami tim advokasi pendamping korban, ada 23 anak yang menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh SPM. Banyaknya anak menjadi korban ini disebabkan si pelaku sudah bebas melakukan kejahatannya setidaknya sejak 10 tahun berdasarkan berkas kasus.

Putusan kasus kekerasan seksual pada anak di Depok yang dibacakan pada sidang Rabu 6 Januari 2021 ini bisa jadi pembacaan putusan ini adalah kasus kekerasan seksual pertama yang putusannya dijatuhkan setelah diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 Tentang Pelaksanaan Hukuman Kebiri Kepada Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak. Peraturan pemerintah yang ditandatangani oleh Presiden Jokowi ini bisa menambah memperberat hukuman bagi para predator atau pelaku kekerasan seksual pada anak. Memperhatikan hukuman dari regulasi perundangan yang berlaku sekarang ini, hukuman terhadap pelaku kekerasan seksual pada masih sangat ringan. Sementara anak-anak dan keluarganya yang menjadi korban akan menanggung trauma seumur hidup. Begitu pula anak-anak yang menjadi korban dirusak masa  depannya oleh kejahatan bejat yang dilakukan oleh si pelaku.

Kekerasan seksual pada anak di Indonesia sudah sangat memprihatinkan angka kejadiannya. Kami dari Forum Warga Kota (Fakta) Indonesia mencatat sepanjang tahun 2020 terjadi 1088 kasus kekerasan seksual pada anak dengan 1656 orang anak yang menjadi korban. Indonesia saat ini berada pada situasi darurat kasus kekerasan seksual pada anak. Terus meningkat dan tingginya angka  kasus dan korban kekerasan seksual pada anak ini adalah rendahnya hukuman bagi pelaku atau lemahnya penegakan hukum dalam kasus kekerasan seksual pada anak. Kondisi ini menyebabkan korban tidak mau melaporkan kejadian yang menimpa dirinya atau anggota keluarganya, pelaku tidak takut melakukan kejahatan kekerasan seksual pada anak dan masyarakat permisif terhadap kasus kekerasan seksual pada anak.

Nah, berangkat dari keprihatinan itu maka hukuman berat sudah seharusnya diberikan dan dilakukan bagi pelaku kekerasan seksual pada anak. Hukuman berat harus diberikan agar menjadi efek jera, memutus rantai kejahatan dan keadilan bagi si korban. Hukuman berat harus diberikan dengan melakukan perubahan dan penambahan hukuman bagi pelakunya. Tambahan hukuman seperti hukuman kebiri serta hukuman menjadi seumur hidup serta denda minimal Rp 500 juta serta pembayaran restitusi bagi para korban itu sudah seharusnya diberikan kepada pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak. Pemberian tambahan hukuman kebiri sekarang ini menunjukan pemerintah berupaya memberikan hukuman berat kepada pelaku. Jadi, perubahan hukuman menjadi lebih sangat berat bisalah dilakukan oleh pemerintah sekarang ini. Perubahan itu bisa dilakukan oleh pemerintah dengan merubah hukuman pelaku dalam UU Perlindungan Anak menjadi seumur hidup. 

Untuk itu, kami meminta kepada pemerintahan Presiden Jokowi merevisi aturan dalam UU Perlindungan Anak khususnya tentang hukuman bagi pelaku kejahatan kekerasan seksual pada anak. Perubahan itu berupa ketentuan hukuman hukuman bagi si pelaku menjadi seumur hidup, denda minimal Rp 500 juta serta membayar restitusi kepada para korban. Selain itu juga pemerintah harus mendorong aparat penegak hukum bekerja pro korban dan memiliki perspektif korban. Sekali lagi perubahan hukuman berat ini perlu dilakukan untuk melindungi anak Indonesia dari kejahatan kekerasan seksual dari para predator, menghentikan rantai kejahatan kekerasan seksual pada anak dan efek jera. 

Terima kasih pada Tuhan yang mendampingi kami selalu dalam perjuangan ini. Terima kasih pada rekan-rekan wartawan dan media yang setia mengawal penaganan kasus ini hingga tuntas di persidangan. Terima kasih untuk para sahabat, pendukung dan semuanya yang membantu.

Depok, 6 Januari  2021

Azas Tigor Nainggolan
(Kuasa hukum korban, Ketua Fakta Indonesia)

Komentar