Sabtu, 27 April 2024 | 11:19
COMMUNITY

Rumah Kos Bekas Pesugihan (Tamat)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (Tamat)
Ilustrasi. (Joachimart)

ASKARA - Kami diam dan tak saling bicara. Bapak ini terus menggandeng tanganku. Berjalan masuk ke cahaya terang yang ada di depanku. Menembus kabut. Kami terus berjalan. "Mau ke mana ini?" gumamku dalam hati. 

Mataku silau saat semakin dekat dengan jalan yang sangat terang itu. Kabut terlihat seperti awan putih terpapar pancaran cahaya itu. Kami melewatinya, untuk sesaat aku tidak bisa melihat sesuatu, bapak itu melepaskan tanganku, entah dia ada di mana, "Kya..." aku berteriak kencang, aku terjatuh ke dalam lubang yang sangat dalam, melayang-layang. Kau tau, aku udah capek teriak tapi gak juga sampai dasar. "Bruak!" Aku jatuh ke dasar. Tubuhku tersentak. Aku terbangun, astaga ternyata hal menyeramkan yang kualami hanya mimpi, ah syukurlah...

"Buh... alhamdulilah akhirnya kamu bangun juga," ujar Ani. Kulihat sekelilingku, aku sudah berada di tempat yang berbeda dan di kelilingi Ifa, Muh dan beberapa orang yang tidak kukenal.

"Ini di mana? Seperti mesjid," ujarku lirih.

"Ini emang di mesjid, tadi kami membawamu ke sini," jawab Ani.

"Ayo dek duduk dulu!" perintah seseorang padaku. Aku melihat bapak itu, orang itu seperti tidak asing bagiku. Bapak ini seperti seseorang yang ada di dalam mimpiku tadi, apa ini? kenapa bisa bapak yang ada di dalam mimpiku, seseorang yang tidak pernah kukenal sebelumnya bahkan gak pernah kulihat sebelumnya ada di hadapanku sekarang? Aku bingung, ada banyak pertanyaan memenuhi otakku. Tanpa menjawab aku mengikuti perintahnya. 

"Coba lihat tangan kananmu," ujarnya. Aku melihat telapak tanganku lalu kuulurkan padanya. Bapak itu meraih tanganku dan menggenggam ibu jariku. "Kya..."  sakit. Tanganku terasa sangat sakit aku menjerit sekencang-kencangnya. Semakin lama bapak itu menggenggam tanganku dan seluruh tubuhku terasa sakit. Aku meronta berusaha melepaskan tanganku dari genggamannya. Tapi bapak itu terus menggenggam tanganku. 

"Ha... sakit... ampun hua..." teriakku. Namun bapak itu tak juga melepaskan genggamannya. 

"Pegangi dia!" perintahnya. Lalu dua orang pria memegangiku.

Selesai sudah, sekarang aku tidak bisa bergerak. Aku meronta, menjerit, menangis sekencang-kencangnya. Badanku sakit, tulang-tulangku seperti remuk. 

"Amampu pak. Aaau sakiiit pak, huaa.... saaaakkkiiittt... sudah pak tolong lepaskan pak... SAKIT..." teriakku.

Hanya 5 menit bapak itu menggenggam jempol tanganku. Tapi rasanya aku seperti disiksa begitu lama. Tubuhku lemas menahan rasa sakit. Bapak itu melepaskan genggamannya dan mengusap wajahku. 

"Sudah tidak apa-apa," ujar bapak itu sambil memberiku segelas air. "Ini minum dulu! Udah tidak apa-apa."

Aku duduk bersandar di tembok, Ani mengusap keringatku dengan tisu. Aku duduk terdiam, jujur aku bingung dengan apa yang terjadi. Aku teringat sigit. "Bang Sigit mana?" tanyaku lirih.

"Sigit ada di sana, dia udah gak papa. Udah ditolongin sama bapak itu," jawab Ani sambil melihat bapak yang dia maksud.

Gara-gara prahara ini kami jadi bolos kerja. Kami semua diajak ke rumah pak ustad yang kebetulan juga merangkap sebagai RT di sini.

"Pak maaf, boleh saya bicara dengan adek-adek ini?" terdengar suara seorang pria yang berbicara dari teras.

"Oh iya silahkan, mari masuk!"

Ternyata yang datang Pak Jupri si penjual soto. "Assalamualikum..." ujarnya memberi salam.

"Waalaikum salam." Semua orang yang berada di ruang tamu menjawab salamnya. Pak Jupri menyalami kami semua yang ada di ruang tamu.

"Maaf pak RT saya ingin bertemu dengan adek-adek ini karena tadi di warung saya ada ibu-ibu langganan saya cerita katanya ada yang kerasukan lalu dibawa ke rumah pak RT. Saya penasaran lalu saya tanya siapa, katanya anak kos yang menyewa rumah di ujung jalan sana, rumah Pak Ahmad. Makanya saya langsung ke sini pak mau melihat keadaan mereka," ujar Pak Jupri.

"Oh iya pak boleh silahkan," jawab pak RT.

"Bagaimana keadaannya dek?" tanya Pak Jupri.

"Alhamdulilah pak baik," ujar Muh sambil melempar senyum.

"Begini dek, saya mau nanya kenapa kalian bisa kesurupan?"

"Saya sendiri juga tidak tau pak. Perasaan saya, saya sedang tidur," jawab Sigit. 

Muh melempar pandangannya padaku. Lalu menganggukkan kepala. Aku mengerti maksudnya.

"Begini pak," aku angkat bicara. "Malam itu sebelum kejadian Bang Sigit kesurupan. Saya melihat ada makhluk hitam berbulu tinggi besar dengan mata melotot dan bertanduk ada di dalam kamar teman saya. Makhluk itu kayaknya Genderuwo. Dia sedang megang-megang teman saya yang sedang tidur. Selama tinggal di rumah itu dari awal masuk sampai sekarang. Saya sering dapat gangguan. Kalau malam sering dengar orang nyapu. Dari kamar kosong di samping kamar saya sering terdengar suara gaduh lalu beberapa kali saya ditakutin hantu. Rumah itu benar-benar angker."

"Iya pak, saya juga ngalamin, teman saya Sigit juga, pernah kita berdua dua kali di rumah itu ngelihat monyet tapi setiap kami cari monyet itu raib entah ke mana perginya," tambah Muh.

"Maaf begini pak RT," ting...ting...ting... belum sempat pak Jupri selesai bicara ponselnya Muh berbunyi, dia buru-buru lari keluar. 

Pak Jupri melanjutkan bicara. "Menurut cerita saudara saya yang dulu pernah tinggal di rumah itu, rumah itu memang angker pak. Dia tahu betul seluk beluk rumah itu, dia sering cerita ke saya. Karena dia masih ada hubungan dengan si pemilik rumah. Saudara jauh saya itu temannya si pemilik rumah."

"Maaf permisi, saya mau pamit menjemput paman saya pak," Muh tiba-tiba masuk dan menyela pembicaraan.

"Oh iya silahkan," jawab pak RT. Muh pun pergi berangkat nyusulin pamannya. 

"Bukankah pemilik rumah itu Pak Ahmad ya pak?," ujar pak RT melanjutkan obrolan yang tadi sempat terputus.

"Bukan pak, pemilik awal rumah itu Pak Burhan. Yang meninggal 1 tahun yang lalu. Menurut cerita saudara saya. Maaf ini pak RT sebelumnya, bukannya saya mau menebar fitnah atau apa, saya hanya ingin memberitahu saja supaya jangan sampai ada kejadian-kejadian seperti ini terulang lagi."

"Iya pak saya mengerti," ujar pak RT sambil mengangguk.

"Menurut saudara saya, Pak Burhan melakukan pesugihan. Saya bicara seperti ini berdasarkan apa yang diceritakan saudara saya. Saya masih ada kontak ponselnya, boleh dikonfiirmasi dengan yang bersangkutan langsung."

"Maaf apa bisa kita telpon pak?"

"Oh tentu saja bisa," ujar pak Jupri sambil mengambil ponsel lalu menghubungi saudaranya. Tak beberapa lama telpon terhubung dengan seseorang.

"Waalaikum salam Asmadi, ini saya sudah berada di rumah pak RT bersama dengan adek-adek yang menyewa rumah Pak Burhan yang tadi saya ceritakan ke sampean," Pak Jupri merubah volume telponnya. 

"Oh iya pak terima kasih. Asalamualaikum pak RT."

"Waalaikumsalam," jawab kami semua.

"Begini pak, tolong rumah itu sebaiknya jangan ditempati, saya mohon bantuan pak RT untuk bicara sama Ahmad agar rumah itu tidak usah disewakan, kalau bisa dirobohkan saja. Rumah itu bekas digunakan untuk muja. Mustahil kalau Ahmad tidak tau hal ini."

"Kalau masalah itu gampang, tapi apa bapak bisa mempertanggungjawabkan omongan bapak ini. Jangan sampai nanti menimbulkan fitnah."

"Iya saya sangat bisa mempertanggungjawabkan ucapan saya pak. Dulu saya dan Burhan itu kami bersahabat. Apapun yang dia lakukan dia selalu mengajak saya, bahkan saat mencari peruntungan di makam ngujang pun juga bersama saya, jadi saya tau. Dia ngajakin saya, awalnya saya juga berniat mencari peruntungan di sana. Tapi saya urungkan niat saya. Akhirnya saya hanya menunggu Burhan dari luar. Saya nungguin dia di warung. Setelah itu saya tidak berhubungan dengan dia lagi hampir 1 tahun karena merantau ke Sumatera. Sepulangnya dari Sumatera saya ada masalah keluarga akhirnya Burhan nawari saya rumah untuk ditinggali. Karena tidak ada pilihan lain saya menerima kebaikannya, saya menempati rumah itu tapi saya tidak menyangka kalau rumah yang diberikan pada saya untuk saya tinggali itu rumah bekas pemujaan. Dia sudah menjadikan anak dan istri saya sebagai tumbal."

"Maaf pak nanya, kamar kosong yang di dekat dapur, apa itu gudang?" sahutku.

"Bukan dek, itu kamar digunakan untuk muja. Saya pernah membuka paksa kamar itu. Dan mendapati istri saya dan Burhan berada di dalam sana.

Sejak kejadian itu sikap istri saya berubah. Dia jadi dingin sama saya, saya ngajakin dia pindah tapi istri saya menolak. Malah minta cerai. Akhirnya saya bersama anak pertama saya tinggal di rumah Pak Jupri sedangkan anak sulung saya tidak boleh dibawa oleh istri saya. Saya menceritakan semua kejadian itu pada Pak Jupri. Pak Jupri meyarankan saya untuk mengajak paksa istri saya keluar dari rumah itu. Namun naas istri dan anak saya meninggal ditabrak truk. Saya menduga istri dan anak saya telah dijadikan tumbal ritual pesugihannya namun saya tidak punya bukti untuk menuntutnya."

"Iya pak, saya yang melarang Asmadi menuntut Burhan atas kematian istri dan anaknya. Karena tidak ada bukti dan itu juga sangat berbahaya kasihan kalau sampai dia juga jadi korban lalu bagaimana dengan anaknya. Saya yang menyuruh dia iklas dan berserah diri pada Yang Kuasa. Atas semua cobaan yang menimpanya. Tapi kalau hal ini tetap di biarkan juga tidak baik kan pak, ini sudah membahayakan orang lain. Meskipun Burhannya sendiri sekarang sudah meninggal. Bisa saja ritual tetap berlangsung diteruskan oleh adiknya," sahut Pak Jupri.

Pak RT pun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. "Baiklah nanti saya akan coba melihat rumah itu," ujarnya.

"Baik terima kasih pak, kalau saya dibutuhkan saya siap ke sana. Kapan-kapan saya akan ke sana tapi tidak sekarang karena saya masih bekerja," ujar Pak Asmadi.

"Oh iya boleh-boleh, silahkan tidak apa-apa." 

"Terima kasih, kalau begitu saya matikan dulu telponnya karena saya harus kembali kerja. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam," jawab kami.

Muh datang bersama pamannya. Pamannya Muh ngobrol dengan pak RT, entah apa yang mereka bicarakan. Ani dan Ifa nungguin Sigit yang berada di kamar sedangkan aku, aku memilih duduk di teras rumah.

"Heh ngapain kamu duduk di sini sendirian?" sapa Muh yang tiba-tiba duduk di sampingku.

"Aku mikirin kejadian tadi bang. Kok bisa Bang Sigit kesurupan."

"Jadi gini, tadi malam aku gak bisa tidur habis mimpi buruk. Habis dari kamar mandi tiba-tiba aku merinding, buru-buru masuk ke kamar terus tidur sambil dengerin MP3 ayat-ayat Al Qur'an, adzan subuh aku mau ngambil air wudhu eh tiba-tiba Sigit mengerang-erang kukira dia ngelindur, pas dibangunin dia malah nyekek aku. Langsung aku lari ke kamarmu. Ternyata dia kerasukan."

"Terus aku tadi kenapa bang?"

"Yaelah kau lupa, kau kan juga dicekek Sigit. Panik aku, takut kalau kau mati. Aku berusaha ngelemasin cengkeraman tangannya Sigit. Sampai Sigit aku pukul pake balok kayu."

"Ih jahat banget kau bang."

"Daripada kau mati Buh, tega gak tega mukul si Sigit. Gila tenaganya kuat banget. Untung aja Ifa, Ani sama bapak-bapak segera dateng, jadi mereka pada bantuin. Kau sudah duduk bersandar di tembok tak sadarkan diri, matamu terbuka tapi pandanganmu kosong, njir kukira kau mati Buh. Si Ani udah nangis-nangis histeris."

"Terus kok bisa ada di mesjid?"

"Ya kalian dibawa ke mesjid. Habis nolongin si Sigit yang ngamuk langsung dah tuh dibawa ke masjid sama bapak-bapak. Sumpah takut banget aku kalau kau mati Buh."

Aku nengok memandang Muhammad sambil melempar senyum. "Kau mengkhawatirkanku bang?" ujarku sambil meringis.

Muh melihatku lalu memegang wajahku dan mendorongnya. "Gak usah masang muka so imut kayak gitu. Jijay aku melihatmu seperti itu, ah kau ini masih aja ngelawak."

"Bang, aku tadi mimpi masuk ke dalam hutan, langsung kecebur ke dalam sungai penuh mayat banyak banget. Terus aku dikelilingi ratusan monyet, habis itu dikejar-kejar Genderuwo. Entah itu Genderuwo atau apaan yang jelas sangat menakutkan. Terus ada orang yang nolongin aku tapi aku gak tau wajahnya seperti apa, pakaiannya serba putih, terus di dalam mimpiku juga ada pak RT ngajakin aku pergi dari tempat itu terus masuk ke dalam jalan yang terang banget. Habis itu aku jatuh dan tiba-tiba terbangun dari mimpi."

"Kamu mimpi kayak gitu?"

"He.em," ujarku sambil menghela nafas. 

"Mimpi itu seperti nyata, ih menakutkan. Kakiku dipegangi seorang wanita wajahnya hancur, badan dan tangannya penuh darah, dia ngesot, kaki kirinya remuk sedangkan kaki kanannya hampir putus hancur, daging sama tulangnya tergantung, dia jalan sambil ngesot."

"Njir serem banget Buh mimpimu."

"Wahyu, Wahyu baik-baik aja nak?" Sahut pamannya Muh.

Aku nengok ke belakang. "Iya paman baik saya."

"Sukurlah kalau begitu, kamu masih bisa selamat."

"Iya untung masih bisa selamat, makanya jadi orang jangan kepo," sahut Muh.

"Paman, sama pak RT mau ke rumah kos? Saya boleh ikut?" tanyaku.

"Ngapain kamu ikut Buh?" Sahut Muh.

"Kepo loe, paman saya boleh ikut?" tanyaku lagi.

"Tidak usah, kalian di rumah aja," jawab pak RT.

"Heh Buh," Muh menepuk pundakku. "Memangnya kau itu gak kapok apa ha? Ntar ada hantu, lari-lari lagi."

"Ya takut, tapi penasaran."

"Udah gak usah penasaran kalau kamu ikut nanti malah repot," ujar paman.

"Ya baiklah kalau begitu paman," jawabku.

Akhirnya pak RT, pamannya Muh dan Pak Jupri pergi ke rumah kos kami.

Dua jam lebih mereka pergi, akhirnya mereka kembali. Aku yang duduk di teras bersama Ani dan Muh langsung beranjak berdiri menyambut mereka. Aku kepo dengan cerita rumah kos itu.

"Assalamualaikum," ujar mereka bertiga.

"Waalaikum salam," jawab kami.

"Paman, saya nungguin paman dari tadi," ujarku.

"Lah ngapain kau itu nungguin pamanku, jangan bilang mau kepo!" ujar Muh.

Aku meringis. "Paman ayo duduk sini paman, saya mau denger ceritanya paman tadi di rumah kos kami ada apa?" tanyaku. Pak RT dan Pak Jupri tertawa.

"Di rumah itu tidak ada apa-apa. Lebih baik kalian pindah saja dari rumah itu," ujar pak RT.

"Baik, pak," jawab kami.

Pak RT dan pamannya Muh masuk ke dalam rumah. Aku nahan Pak Jupri. "Pak Jupri maaf mau nanya, Pak Burhan meninggalnya kenapa pak?"

"Kecelakaan mobil. Mobil yang dikendarainya nabrak."

"Oh terima kasih pak," jawabku.

"Pak maafin teman saya yang keponya kebangetan ini ya pak," sahut Ani. Pak Jupri hanya tertawa. 

"Ish kau ini berhentilah kepo, apalagi sama hal-hal yang menyeramkan kayak gitu," perintahnya.

"An, ayo ke rumah itu lagi, ayo bang! Lihat ada apa di rumah itu yuk!"

"Ogah, gak nuruti otak gilamu itu aku Buh," ujar Ani sambil ninggalin aku dan Muh masuk ke dalam rumah.

"Bang..." ujarku sambil melempar senyum.

"Ogah. Mau mati konyol kau pergi ke sana," bentak Muh.

Akhirnya kami pindah dari rumah kos itu. Menurut cerita pamannya Muh rumah itu banyak sekali penunggunya. Rumah itu dijadikan sarang makhluk halus karena rumah itu digunakan untuk ritual. Di dalam kamar kosong itu pamannya Muh menemukan banyak sekali barang-barang yang digunakan untuk ritual muja.

Sesungguhnya harta itu tidak dibawa mati. Janganlah terlalu mendewakan harta. Hal yang sulit di kendalikan oleh manusia itu adalah nafsu, jika kau tidak pandai bersyukur dengan apa yang kau miliki, tidak pernah puas dengan apa yang kau miliki maka kau akan selalu merasa kekurangan. Jika kau mendewakan harta dan mengambil jalan pintas yang tidak diridhoi Tuhan percayalah hidupmu akan sengsara bukan hanya di dunia namun juga di akhirat. Bukankah rejeki seseorang sudah diatur oleh Tuhan lalu kenapa kau khawatir akan kekurangan?

Tamat
Terima kasih sudah membaca tulisan saya.
Sarangbeo kakak-kakak.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya:
Rumah Kos Bekas Pesugihan (11)

Komentar