Rabu, 08 Mei 2024 | 21:08
COMMUNITY

Rumah Kos Bekas Pesugihan (11)

Rumah Kos Bekas Pesugihan (11)
Ilustrasi. (Joachimart)

ASKARA - Sementara Ifa dan Ani, mereka berdua ketakutan dan saling berpegangan tangan. Ifa menangis sedangkan Ani sibuk istighfar.

"Hei kalian ngapain diem aja di situ, ayo bantuin!" bentak Muh. Sigit terus meronta. Tenaganya sangat kuat sekali, kita berdua sampai kewalahan. Ani dan Ifa masih belum beranjak dari tempatnya. 

"Aku takut..." ujar Ifa sambil nangis.

"Heh ayo bantuin kita gak kuat ini!" ujarku. 

"Fa ambil tali Fa!" perinta Muh. 

Ani bantuin kami megangin Sigit, Ifa langsung pergi nyari tali. Astaga bahkan dipegangin tiga orang, Sigit masih aja kuat. Kami bertiga sampai kewalahan nahan Sigit. Muh sampai mental gara-gara sigit mencak-mencak. Aku komat kamit, baca Ayat Kursi sampai nge-blank. Sedangkan Ani terus bersolawat.

"Muh kau gak papa?" ujar Ifa sambil bantuin Muh bangun. Muh menggelengkan kepala. 

"Kalian, ayo bantuin kita!" ujar Ani. Muh dan Ifa bantuin kami.

"Ayo Fa iket Sigit. Kita pegangin!" ujar Muh.

Ifa mengikat kaki Sigit lalu melilitkannya ke badan. Sedangkan kami bertiga sekuat tenaga nahan Sigit dan berusaha menurunkan tangannya. Kita benar-benar bekerja keras. Keringatku mulai keluar dan membasahi badan. Ugh tenaganya benar-benar kuat sekali.

"Ayo tangannya turunin!" perintah Ifa.

"Iya! Ini juga sedang berusaha kita. Ehm... astaghfirulloh kuat sekali tenaganya," ujar Muh suaranya terdengar berat. Sementara Sigit terus mengerang dan meronta.
 
"Kya..." Ani jatuh tersungkur ke lantai. "An gak papa ?" tanyaku. Ani menggelengkan kepalanya dan bangkit berdiri lalu kembali membantu kami nahan Sigit.
 
"Udah, udah berhenti. Percuma tenaganya Sigit terlalu kuat. Fa ikat kakinya aja buruan! Habis itu kalian pergi ke masjid minta bantuan orang-orang di masjid," ujar Muh putus asa. 

Ifa mengangguk dan mengikat kakinya Sigit. "Ayo An!" ujar Ifa. Ani mengangguk. Ani melepaskan Sigit.

"Kalian berdua gak papa kita tinggalin?"

"Gak papa udah jangan kuatirin kita, buruan pergi cari bantuan!" ujar Muh.

"Ayo An!" ujar Ifa. Ifa menarik tangan Ani mereka berdua lari pergi ke luar. Sementara aku dan Muh masih megangin Sigit, kami masih berusaha menahan Sigit. 

"Bang, gimana ini? Bang Sigit kuat banget, sampai habis tenagaku megangin dia," keluhku.

"Sabar Buh, bertahan jangan sampai Sigit ngamuk dan ngancurin rumah orang," ujar Muh. 

Tiba-tiba Sigit berontak. Tenaganya yang kuat membuat kami berdua semakin kewalahan. Pegangan tanganku terlepas. Sigit mendorong Muh. Saking kuatnya tenaga Sigit. Tali rafia yang Ifa ikatkan di kakinya sampai putus.

"Astaghfirulloh alhadzim, bang gimana?" tanyaku. 

Muh masih duduk di lantai, dia hanya menggelengkan kepalanya sambil meringis kesakitan.

"Kita lari ke luar aja hayuk!" ajakku.

"Jangan. Kasihan Sigit kalau ditinggal sendirian. Nanti dia kenapa-kenapa."

"Mereka berdua lama sekali sih," aku mulai panik. 

Arrggh...Arrgghh... Sigit mengamuk sambil terus mengerang dan berteriak-teriak. Dia menendang pintu kamar kosong yang ada di sebelah kamarku. Tak hanya sekali entah berapa kali dia menendang, pintu kamar itu sampai jebol dan terbuka.

Muh menghampiri Sigit dan memegangi tangannya namun dengan mudah Sigit melepaskan pegangan tangannya Muhammad. Sekarang malah Muh yang ditarik masuk ke dalam kamar kosong itu. Aku panik, bingung, takut semua campur aduk jadi satu. Ingin rasanya aku lari dan menyelamatkan diri tapi bagaimana dengan Muh? Ah aku jadi serba salah.

Kalau aku ninggalin dia gimana dengan nasibnya? Tapi kalau aku bantuin dia, itu berarti aku melibatkan diriku dalam bahaya. Aku terdiam tertegun melihat Muh dihajar oleh Sigit. Meskipun Muh punya ilmu bela diri tapi dia kewalahan melawan Sigit yang kerasukan.

"BRUAK!" Sigit mendorong Muh dengan keras hingga menghantam lemari. Muh jatuh tersungkur ke lantai.

Sigit jalan menghampiri Muh. Tanpa pikir panjang aku lari dan langsung menarik Sigit. Sekarang ganti aku yang diserang oleh Sigit. Dia memegang leherku aku meronta berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Sigit. Sambil terus berdoa dalam hati. Muh kembali bangkit dan menolongku. Namun dengan mudah Sigit menghempaskannya. 

Argh... aku mengerang kesakitan, dadaku sesak. Sigit meletakkan tangan kirinya di atas kepalaku. Tiba-tiba pandanganku menjadi kabur dan gelap. Aku hilang kesadaran. Untuk beberapa saat aku tidak tau apa yang terjadi.

Ketika aku tersadar aku sudah berada di hutan. Hutan yang sangat rimbun, bahkan cahaya matahari pun tak bisa menembus tebalnya kabut yang menyelimuti hutan ini. Aku bangun dan beranjak berdiri, mataku menerawang menatap langit dan sekelilingku. 

"Di mana ini?" gumamku. "Muh.... bang... bang Muhammad, kau di mana bang? Bang....!" teriakku. 

Aku bingung, takut jantungku berdetak kencang. "Ada di mana aku ini?" gumamku panik.

Hutan ini sangat menakutkan sekali. Suasananya yang sepi, hening membuatku merinding, bulu kudukku berdiri. Kuputuskan untuk segera pergi dari tempat itu. Aku berjalan tak tentu arah. Aku semakin ketakutan, mulai kupercepat jalanku kemudian aku berlari. Lari, lari dan terus berlari kencang. Sambil berlari sesekali aku menoleh ke belakang.

"Kya... Byur..!" aku terjatuh ke sungai dan tenggelam. Aku berenang dan berusaha naik ke permukaan. Kepalaku muncul ke atas air. Untung air sungai ini arusnya tenang, aku menarik nafas dalam-dalam dan mengatur nafasku sambil memejamkan mataku. Sebagian rambutku menutupi wajahku. Mataku masih terpejam, aku tak ingin air masuk ke dalam mataku.

Kusibakkan rambutku dan mengusap wajahku yang basah dengan air sungai. Aku membuka mata. Astagfirulloh alhadzim, aku tidak mempercayai dengan apa yang kulihat. Di dalam sungai ini ada banyak sekali mayat terapung. Aku berada di tengah-tengah mereka. Aku benar-benar ketakutan, tubuhku gemetaran melihat mayat-mayat dengan kondisi yang mengenaskan yang hampir membusuk. Air sungai berbau anyir.

"Kya...! Toloong... toloong.." teriakku dengan sekencang-kencangnya. Aku berenang, berusaha ke tepi. Menyibak mayat-mayat yang mengapung di sekitarku. Rambut mayat-mayat ini menempel ke wajahku. Aku terus berenang sambil menangis, dadaku sesak menahan rasa takut. Aku terus berusaha ke tepi, aku mempertahankan posisi kepalaku agar tetap di atas untuk bisa tetap bernafas.

Lemas. Tenagaku terkuras habis, sampai di tepi sungai kuraih tanah dan merangkak naik, sekuat tenaga berusaha keluar dari dalam sungai. Aku duduk di tepian sungai sejenak sambil menangis berusaha mengatur nafasku dan mengumpulkan tenaga.

Aku beranjak berdiri lalu jalan meninggalkan sungai yang dipenuhi dengan mayat-mayat yang hampir membusuk. Di sungai, di tepian sungai banyak sekali mayat yang berserakan laki-laki, perempuan, bayi, tua, muda campur jadi satu. Ada yang matanya hampir lepas, ada yang sebagian mukanya hancur. Mayat-mayat itu seperti sampah. Gak ada satu pun di antara tumpukan mayat-mayat yang berserakan itu yang memakai baju.

Aku pergi meninggalkan tempat itu. Langkah kakiku terasa berat, jalan pun sempoyongan. Aku benar-benar sangat lemas sekali. Kuhapus air mata yang sedari tadi mengalir tanpa bisa kubendung. Aku terus berjalan tanpa tahu arah yang ingin kutuju. Beberapa kali aku jatuh tersungkur karena lemas kehabian tenaga. Dengan sedikit sisa-sisa tenaga aku mencoba bangkit dan kembali bardiri. 

"Toloong... toloong..." teriakku. Ah sial padahal aku sudah berusaha teriak sekeras mungkin, namun suaraku malah serak dan gak bisa keras. Tenggorokanku kering, nafasku ngos-ngosan. Aku benar-benar haus dan kelelahan. Aku terus berjalan sambil sempoyongan dan "Bruak!" Aku terjatuh lagi. Entah udah berapa banyak aku terjatuh.

Sekarang tenagaku benar-benar habis. Aku tak sanggup lagi untuk bangkit dan berdiri. Aku terdiam duduk di tempatku terjatuh. Inginku kembali berteriak. 

"Ah bodoh sekali, ini hutan mana mungkin ada manusia di sini," gumamku dalam hati. Aku terus menangis, mulutku tak henti-hentinya merapalkan doa yang kuingat.

Kepalaku pusing. Tiba-tiba mataku berkunang-kunang. Aku merebahkan badan di atas tanah. Sambil terus menangis kulihat langit. Sekarang yang ada di dalam otakku aku pasti mati. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain pasrah sekarang. Semakin lama kepalaku semakin terasa sakit dan berat. Semakin lama pandanganku semakin kabur dan gelap. Aku ingin bangun namun tubuhku tidak bisa diajak kerja sama. Lemas terasa berat. Badanku seperti mengakar di atas tanah ini. Aku kehilangan kesadaranku. Entah untuk berapa lama. Ketika aku tersadar dan membuka mataku. Ada banyak kera mengelilingiku dan memandangiku. Ada yang naik di atas badanku.

Aku kaget dan langsung beranjak berdiri. Monyet-monyet ini banyak sekali. Aku sendirian di sini dikelilingi ratusan monyet. Mereka ada yang memandangiku. Ada yang duduk atas pohon. Kau tahu, yang ada di benakku monyet-monyet itu pasti akan menyerangku. "Aku harus lari," gumamku dalam hati. Aku melihat sekelilingku. Di antara para monyet itu ada sosok hitam tinggi besar yang jaraknya cukup jauh. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas entah itu apa.

Tanpa buang-buang waktu aku langsung berlari sambil teriak "ALLAH HUAKBAR..." terus berteriak ALLAH HUAKBAR. Aku berlari entah mau ke mana. Pokoknya lari, lari dan terus berlari. Hingga akhirnya aku keluar dari hutan. Aku menemukan jalan setapak dan terus kuikuti jalan itu meskipun aku tidak tahu jalan ini mengarah ke mana. Ah yakin saja udah, kulangkahkan kakiku menyusuri jalan setapak ini.  Bajuku yang basah kini kembali mengering, kotor penuh tanah. 

Samar samar kulihat ada seseorang berdiri depan jalan. Kuhentikan langkahku. Aku terdiam mematung sambil memperhatikan seseorang yang berdiri jauh di depanku. Jarak pandangku terbatas oleh kabut.

"Alhamdulilah ada orang," gumamku. 

Kulangkahkan kembali kakiku, aku ingin menghampiri seseorang di ujung jalan itu. Kupercepat langkah kakiku agar aku segera sampai dan menghampirinya.

"Tunggu! Itu manusia atau bukan?" tanyaku dalam hati. Entah kenapa terbersit pikiran itu di benakku. Kuhentikan langkahku. Aku terus memandangi sosok yang berdiri di ujung jalan sana. Aku mengernyitkan mataku berharap bisa melihat sedikit lebih jelas sosok yang berdiri di depanku itu manusia atau bukan.

"Tidak, tidak itu pasti bukan manusia. Ayolah Wahyu jangan bodoh, ini di tengah hutan yang entah di mana. Tidak mungkin ada manusia. Itu pasti hantu. Atau seorang pembunuh yang telah membunuh orang-orang yang mayatnya berserakan di sungai tadi," gumamku.

Aku menelan ludah sambil terus memandangi sosok yang berdiri di depanku. Perlahan-lahan aku melangkah mundur. Aku langsung berbalik dan lari. "WAHYU!" terdengar teriakan suara seorang pria memanggil namaku. Aku terus berlari dan mengabaikan panggilan itu, suara itu berasal dari arah belakang. Mungkin sosok itu yang memanggilku. "Wahyu, hey Wahyu berhenti!" Perintah lelaki itu.

Aku berhenti berlari dan balik badan melihat orang itu. Samar-samar orang itu terlihat berjalan menghampiriku. Aku tegang ketakutan. Aku ingin lari tapi aku juga penasaran dengan seseorang yang memanggilku. Aku berdiri mematung sambil mulutku komat kamit membaca doa. Keringat mengalir ke wajah dan janggutku. Tubuhku gemetaran mataku tetap tertuju pada sosok yang berjalan mendekatiku. Aku tidak ingin mengalihkan pandanganku padanya. Kalau itu hantu atau pembunuh aku harus cepat lari. Perlahan-lahan aku melangkah mundur.

Tampak seorang pria dengan baju serba putih yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas, dia berjalan begitu cepat.

"Srek, srek, srek." Dari arah kiriku terdengar suara semak-semak dan daun-daun kering yang bergesek seperti disibak. Aku langsung menoleh ke arah kiri, terlihat semak-semak bergerak. Ada sosok hitam yang melompat ke arahku. Aku tersentak tanganku ditarik seseorang dengan kasar hingga membuatku terpelanting.

"Bruak!" Aku jatuh tersungkur ke tanah. Telapak tangan dan dengkulku lecet entah menghantam apa. Aku berusaha bangkit dan kulihat pria berpakaian serba putih itu sedang berkelahi dengan genderuwo. Aku ketakutan, otakku buntu entah apa yang kupikirkan. Melihat mereka berdua berkelahi tanpa berpikir panjang aku langsung lari menyelamatkan diri dan meninggalkan mereka.

Tenagaku habis, aku berhenti berlari. Di bawah pohon aku berdiri membungkuk tanganku sambil memegangi lututku. Nafasku memburu. Aku berdiri tegak dan mengatur nafas, aku lagi, lagi menangis. Ah cengeng sekali aku ini. 

Tiba-tiba ada tangan memegang kakiku. Reflek aku langsung beranjak pergi namun tangan itu menarikku dan aku terjatuh. Aku berbalik dan melihat sosok perempuan dengan tangan penuh darah, rambut yang acak-acakan dan muka yang hancur. Perempuan itu tidak punya kaki. Kakinya hancur. 

"Kya....!" Aku berteriak namun suaraku tak bisa keluar. Perempuan itu ngesot merangkak mendekatiku dan hampir memegang kakiku. "Tolong..." ujarnya lirih. Suaranya terdengar berat. Kupejamkan mataku rapat-rapat. Badanku gemetaran kakiku lemas tak ada tenaga.

"PERGI!" Terdengar suara seorang pria menghardik. Aku semakin ketakutan. 

"Buka matamu!" perintah laki-laki itu. Perlahan-lahan aku membuka mataku. Seorang pria dengan pakaian serba putih berdiri di depanku sambil membelakangiku. 

"Bangunlah!" perintahnya. Tanpa menjawab perkataannya aku beranjak berdiri sambil terus menahan tangis. 

"Jangan takut nduk, aku teman kakekmu," ujar pria itu. Aku berdiri di belakangnya. Genderuwo itu kembali menghampiri kami. 

Pria itu kembali berkelahi dengan Genderuwo itu. Aku terdiam di tempatku sambil memperhatikan mereka. 

"Wahyu, nduk ayo ikut dengan bapak!" seorang pria paruh baya yang gak tau dari mana datangnya tiba-tiba sudah berdiri di belakangku. Pria paruh baya mengenakan baju koko dan sarung itu berjalan menghampiriku.

"Ayo ikut bapak nduk!" ajaknya. Aku menggelengkan kepala sambil melangkah mundur. Bapak itu mendekatiku. "Jangan takut bapak akan membawamu kembali, ayo ikut bapak," ujarnya.

Aku tidak menjawabnya. Aku menoleh ke arah pria yang mengaku sebagai teman kakekku yang sedang bekelahi dengan Genderuwo itu. Genderuwo itu kewalahan dikeroyok oleh dua orang yang entah kapan datangnya. 

"Yang membantu pria itu, dia teman bapak, jangan takut bapak bukan orang jahat. Ayo ikut bapak pergi, di sini bukan tempatmu," ujar bapak itu. 

Tak ada pilihan lain, aku menganggukkan kepala tanpa sepatah kata pun keluar dari mulutku, aku jalan mengikuti bapak itu. Bapak itu berjalan sambil menggandengku. Kami terus berjalan, di depan kami ada cahaya yang membelah kabut tebal. Kami berjalan ke arah cahaya itu.

Wahyu Pujiningsih
(Pekerja swasta, pencinta alam, tinggal di Madiun)

Sebelumnya:
Rumah Kos Bekas Pesugihan (10)

Komentar