Sabtu, 18 Mei 2024 | 11:40
NEWS

Pak Dirut: Yang Dirugikan Itu PLN Bukan Pelanggan

Pak Dirut: Yang Dirugikan Itu PLN Bukan Pelanggan
Petugas melakukan pengecekan meter listrik. (Dok. PLN)

ASKARA - Direktur Utama PT PLN (Persero) Zulkifli Zaini blak-blakan dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR RI merespons lonjakan tagihan listrik sebagian pelanggan pada Juni 2020.

Dalam forum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII DPR Eddy Soeparno itu, Rabu (17/6), Zulkifli membeberkan skema penghitungan yang diberlakukan PLN di tengah pandemi Covid-19.

Dia menjelaskan bahwa pada Maret lalu PLN tidak menurunkan petugas penghitung meter ke rumah-rumah pelanggan, dengan alasan pandemi Covid-19. PSBB hingga mencegah penularan Covid-19.

"Karena Maret kami tidak turunkan penghitung meter maka tagihan bulan Maret itu berapa? Pemakaian bulan Maret yang ditagihkan di bulan April, itu adalah (tagihan) tiga bulan sebelumnya dibagi tiga. Jadi, Desember, Januari, Februari dibagi tiga. Itulah tagihan Maret yang dibayar bulan April," jelas Zulkifli.

Skema penghitungan rata-rata pemakaian tiga bulan terakhir itu merupakan base practice dan lazim berlaku di seluruh dunia. Misalnya ketika terjadi musim salju atau kondisi lain yang tidak memungkinkan bagi petugas mengecek meteran secara langsung.

Untuk bulan April, itu sudah mulai ada pelonggaran PSBB namun di beberapa daerah yang menerapkan penguncian, tetap belum membolehkan orang luar untuk masuk ke wilayah tersebut. Akibatnya, pada bulan April hanya 40 persen pelanggan yang betul-betul dicatat meterannya. Sedangkan 60 persen lagi kembali lagi ke skema penghitungan rata-rata tiga bulan sebelumnya yakni Januari, Februari, Maret lalu dibagi tiga.

Pada Mei, ketika PSBB dibuka, PLN menurunkan 100 persen petugas penghitung meteran dan mencatat langsung pemakaian pelanggan. Dari situ, PLN mengetahui posisi terakhir di bulan Mei yang ditagihkan di bulan Juni. Pencatatan itu adalah posisi riil pada bulan Mei.

"Karena bulan-bulan sebelum itu yang menggunakan rata-rata (tiga bulan) sebelumnya yang tidak covid maka pembayaran bulan Maret dan April sebetulnya tidak riil, karena bukan seperti itu pemakaian listriknya, lebih kecil (yang ditagihkan). Jadi yang dirugikan adalah PLN, bukan pelanggan," tegas mantan dirut Bank Mandiri itu.

Zulkifli menerangkan, kerugian dialami PLN karena tidak menagih sejumlah pemakaian yang sebenarnya lebih banyak pada Maret dan April tersebut.

Namun, itu menjadi konsekuensi korporasi karena tidak menurunkan petugas pencatat dan penggunaan skema penghitungan rata-rata.

"Itu kerugian PLN sebetulnya dengan kami tidak menurunkan itu (pencatat) karena tagihan Maret dan April itu tidak riil, (karena didasarkan) angka rata-rata sebelumnya yang sebelum covid," tutur.

Akan tetapi pada Mei ketika 100 persen petugas diturunkan untuk mencatat itu merupakan angka riil untuk dibayar Juni. Termasuk, selisih pemakaian bulan Maret dan April yang tidak riil muncul di pencatatan Mei. 

"Kami pastikan bahwa tagihan Juni itu betul-betul kami datangi di bulan Mei, dan itu adalah tagihan riil. Karena hampir 100 persen rumah tangga kami datangi dan sudah dicatat dengan angka sebenarnya," jelas Zulkifli.

Dia kembali menjelaskan bahwa untuk Maret dan April seharusnya sudah ada kenaikan tagihan akibat kenaikan pemakaian tetapi belum naik akibat pencatatan dengan rata-rata tiga bulan sebelumnya.
 
"Itu sebetulnya sedikit banyak itu pendapatan PLN turun di dua bulan itu, karena kenaikan penggunaan tidak kami tagihkan kepada pelanggan. Kalau Mei yang dibayar di Juni, itu kami yakinkan 98 sekian persen itu tagihan sebenarnya," kata Zulkifli.

Dia menyebutkan bahwa pelanggan yang mengalami kenaikan di atas 20 persen itu jumlahnya sekitar 4,7 juta dari total 76 jutaan member PLN. Selebihnya kenaikannya di bawah 20 persen.

"Kami bersimpati dengan situasi ini tetapi kami juga ingin menyampaikan statistik yang mengalami kenaikan seperti ini sebetulnya 4,7 juta dari 76 juta pelanggan. Sementara yang lain itu kenaikan di bawah 20 persen. Demikian," tandas Zulkifli. (jpnn)

Komentar