Sabtu, 11 Mei 2024 | 12:23
COMMUNITY

Ngerogo Sukmo

Perempuan Cantik Gunung Argopuro (2)

Perempuan Cantik Gunung Argopuro (2)
Dok. Wahyu Pujiningsih

ASKARA - Setelah sarapan kita melanjutkan perjalanan ke puncak Gunung Argopuro. Kita menaiki bukit lagi, ugh di sini makin berat aja medannya terjal, beberapa langkah jalan kita berhenti, di sini bukit paling berat saya rasa. Jalannya susah banyak pohon tumbang di sini jadi kita harus naik lewat atas pohon kadang harus nunduk-nunduk lewat bawah pohon yang tumbang, tas nyantol lagi, sudah bawa barang berat pake jalan nunduk lewat bawah terus tanjakannya itu tinggi banget, dengkul ketemu jidat. Kita jalan merangkak-rangkak, hadeh menyiksa cukup banyak menguras tenaga. 25 menitan kita jalan kita lihat bendera.

"Ada bendera bang," ujarku
"Jangan-jangan itu bendera top summit, ayo buruan," jawab Candra.
Ternyata benar. Kita sampai di puncak Gunung Argopuro, kita break di sini, foto-foto, bikin vidio alay. Angin masih aja bertiup kencang, udara juga masih dingin. 20 menitan kita di sini lalu jalan lagi ke Puncak Hyang. Kita menuruni bukit dengan track batu dan tanah yang licin habis keguyur hujan, kita harus ekstra hati-hati dan benar-benar harus merhatiin jalan, meleng dikit bisa jatuh kita kepleset terperosok masuk dalam jurang. Jarak Puncak Argopuro dengan Puncak Hyang gak begitu jauh hanya 20 menitan. Sampai di Puncak Hyang ada petilasan, kita menyempatkan berdoa di sini dan ninggalin uang receh. Di sini banyak sekali uang receh, gak tau kenapa tapi pendaki yang melewati tempat ini pasti ninggalin uang receh. Kita gantian berdoa. Di sini atmosfernya gak enak banget, hawanya itu beda gitu sama tempat sebelumnya.

Pas temanku Candra berdoa dan aku nungguin dia, Nona Belanda itu muncul lagi, dia terlihat dari kejauhan berdiri di bawah pohon ngelihatin kita. Cara dia ngelihat itu lho ya Allah menakutkan, bikin merinding. Aku langsung deg-degan, jantungku berdetak cepat. Mungkinkah aku lagi jatuh cinta??? 

"Ndut! Udah," ujar Candra.
"Udah apa?" tanyaku.
"Capeknya udah ilang belum? Kalau udah kita jalan lagi," jawab Candra.
"Ya ayok," kataku.
Kita pun memakai tas kita lagi. Tiba-tiba angin bertiup kencang sekali pohon-pohon sampai pada gerak. 
"Ayo ndut buruan jalan," kata Candra. Kita pun jalan menuruni bukit lagi. Medannya makin susah aja masih bebatuan dan tanah yang licin. Untuk memudahkan kita turun dan juga supaya aman kita turun menggunakan tali webing. Kita jalan terus saja sudah, naik turun bukit. Yang bikin susah itu sruktur tanahnya yang licin, beberapa kali kita jatuh terpeleset, kadang kita harus ngesot-ngesot pas melewati medan yang licin. Dua jam kita jalan sampailah kita di sungai kecil. 
"Break dulu ndut ngisi air," ujar Candra.
Kita pun minum air di sungai itu lalu mengisi botol kami dan mencuci muka yang penuh keringat. 
"Hari ini usahakan sampai bawah, jadi jangan break terlalu lama. Pokoknya hari ini kita harus sampai ke kampung," ujar Candra.
"Kenapa emangnya?" tanyaku
"Gak papa," jawab Candra.
"Ndut nanti kalau ada apa-apa kamu lari duluan ya, gak usah pedulikan saya kamu tinggalin saya. Pokoknya kamu harus lari selametin diri kamu. Pokoknya kamu harus selamat ngerti," ujar Candra.
"Ogah, kita berangkat bareng jadi pulang juga harus barengan, aku gak mau ninggalin kamu dalam keadaan apapun kita harus pulang bareng. Emangnya kenapa? Ada apa? Kok kamu ngomongnya kayak gitu?" tanyaku.
"Jadi gini ndut, kamu ingat pas kita lihat-lihat bangunan yang udah hancur itu? Di situ ada Nona Belanda dan dia udah empat hari ini ngikutin kita, maaf aku gak cerita sama kamu karena aku takut kamu panik dan ketakutan."
"Nona Belanda?" tanyaku.
"Iya" jawab Candra.
"Dia memakai gaun putih dan memakai topi? Aku juga lihat, aku juga tahu dia ngikutin kita udah empat hari ini," ujarku.
"Terus kenapa kamu gak cerita?" tanya Candra.
"Aku khawatir kamu takut," jawabku.
"Kamu ingat tiga petani yang kita sapa kemarin, sepertinya itu bukan manusia, coba kamu pikir savana 1 itu ketinggiannya udah 1500 MDPL ngapain petani naik sampai situ, nyari apaan coba? Mereka jalan gak bawa apa-apa, air aja enggak. Pas kita sapa mereka juga jawabnya singkat, gak berhenti, gak nengok ke kita. Biasanya ndut kalau orang disapa dia pasti berhenti dan balik nanya ke kita. Kayak orang-orang yang kita temuin di kebon. Jarak kita sama mereka cuma 10 menit tapi kita gak ngelihat mereka lagi kan, padahal kita di atas mereka di bawah. Kita sama sekali gak bisa ngejar mereka padahal kita jalan juga cepat dan gak break. Kalau orang biasa mereka pasti capek, mereka pasti haus dan berhenti minum di sungai yang kita lewati tapi gak ada kan? Mereka hilang gak tahu ke mana. Terus waktu kamu nyuruh aku nanya orang yang kamu bilang ada dua orang duduk di bawah pohon dan empat orang mondar mandir di rumah. Aku ngeliat di rumah itu gak ada orang sama sekali di sana makanya aku langsung ngajakin kamu balik gak jadi ke rumah itu. Terus tadi aku marahin kamu karena kamu nawarin kopi mulu ke orang. Itu sebenarnya gak ada orang, aku lihatin kamu ngomong sendiri gak ada lawan bicaranya. Makanya pas kamu di deket batu itu aku manggil kamu. Karena kamu ngomong sendiri dari tadi," ujar candra.

"Ah masa sih? Aku ngobrol sama bapak-bapak, gimana bisa gak ada orang. Jelas-jelas ada orang kok. Aku berniat ngasih sendalku sama kaos kaki ke bapak petani itu karena dia gak makai alas kaki, nyeker dia. Aku kasihan pasti dingin banget itu kakinya makanya aku ngajakin dia ke tenda kita nawarin dia kopi tapi dia gak mau," ujarku.
"Muhammad gak percayaan banget sih, sumpah ndut celaka hidup saya sudah kalau saya bohong. Tadi saya denger suara harimau makanya saya bilang kalo ada apa-apa kamu lari duluan gak usah peduliin saya. Saya mati di sini gak papa yang penting kamu selamat," jawab Candra sambil mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.

Mendengar ucapan Candra kayak gitu aku kaget banget. 
"Gak kita harus sama-sama, kita pulang sama-sama. Pokoknya aku gak mau ninggalin kamu apapun yang terjadi," ujarku.
"Ya sudah ayo jalan lagi," kata Candra.
Kita pun ngelanjutin perjalanan, kita mempercepat langkah kita. Pokoknya hari ini kita harus sampai ke desa.
Kita naik turun bukit lagi, keluar masuk hutan lagi. Pas di Hutan Lumut udah capek banget aku, udah lemes jalan, udah sempoyongan, mata kabur. Tiba-tiba braak! aku jatuh kesandung akar pohon.
"Ndut kamu gak papa?" tanya Candra sambil membantuku berdiri.
"Aman. Cuma kesandung akar pohon doang," jawabku.
"Makanya hati-hati jalan yang bener. Kamu beneran gak papa? Bikin orang khawatir aja," ujar Candra
"Gak papa aman kok. Gak usah khawatir, aku udah gede," jawabku sambil ketawa.
"Mau break dulu?" tanya Candra
"Gak usah, ayo lanjut jalan keburu sore," jawabku.
Kita pun lanjut jalan, manjat-manjat pohon tumbang nyeberangin sungai. 
"Ndut Nona Belandanya kok gak kelihatan lagi ke mana ya dia?" tanya Candra
"Bodo amat gak keliatan. Mungkin dia bosen, capek ngikutin kita jalan mulu," jawabku
Kita pun sampai di Danau Taman Hidup. Pas lagi enak-enak jalan tiba-tiba Candra berhenti mendadak. "Braak, aku nabrak tasnya Candra karena aku gak tahu dia berhenti.
"Kalau mau berhenti ngomong dong jangan berhenti dadakan sakit tau," ujarku sambil ngelus-ngelus pipiku.
"Sssttt, diem ada orang ndut di pinggir danau," kata Candra.
"Itu orang beneran apa bukan bang?" tanyaku
"Gak tahu! Ayo kita cari tahu," jawab Candra.
"Kalau bukan orang gimana?" tanyaku.
"Kayaknya itu orang beneran, masak iya setan mancing. Ayo samperin," kata Candra.
Candra jalan ke arah orang yang duduk di gubuk ujung jembatan. Aku masih diem berdiri di situ, eh Nona Belanda muncul lagi dia di sisi kiriku, duduk di batang pohon yang tumbang. Aku langsung lari ngejar Candra.
"Bang Nona Belandanya ada lagi," kataku.
"Udah biarin aja. Itu ada orang tiga di sana lagi mancing. Alhamdulilah ndut, selamat kita," ujar Candra.

Ketiga orang itu mancing, satu di jembatan yang dua lagi di ujung duduk di gubuk lumayan jauh tempatnya. Kita pun nyamperin bapak-bapak yang duduk di gubuk ujung jembatan. Sebelum ke bapak itu kita nyempetin ngambil foto dulu. Pas kita foto-foto bapak itu nyamperin kita. Candra menyapa bapak itu dan dia nawarin rokok ke Candra. 
"Mau naik atau turun dek?" tanya bapak itu.
"Kita mau turun pak. Dari sini ke desa masih jauh pak?" tanya Candra.
"Masih jauh dek, ini udah sore turun besok saja bareng saya soalnya jalurnya banyak persimpangannya, terus gak ada petunjuk arahnya daripada nanti kesasar. Baru pertama kali naik ke sini ya?" tanya Pak Yul.
"Iya pak," jawab Candra
"Adek ini dari mana dek?" tanya Pak Yul
"Saya dari Kalimantan pak," jawab Candra.
"Ayo istirahat di pondok saya. Pondok saya ada di ujung sana tapi kalian lepas dulu sepatunya karena jalannya berair lewat rawa," ujar Pak Yul sambil menunjuk ke arah gubuknya berada. Kita pun melepas sepatu dan jalan ngikuti Pak Yul. Si bapak jalannya cepat banget. Pas jalan di rawa kayak gini aku sedikit takut kalau ada lintah atau ular di dalam sini. 
"Bang, hoy," ujarku
"Apa?" tanya Candra.
"Jalan di sini aku kok berasa di Film Anaconda ya jalan, jalan tiba-tiba yang belakang hilang dimakan ular," ujarku.
"Hus sembarangan aja kalau ngomong. Buruan jalannya, jangan lambat kayak siput," kata Candra.

Singkat cerita kami pun sampai di pondok. Ternyata yang dimaksud pondok sama Pak Yul itu semacam bifak yang terbuat dari plastik panjang yang biasanya dipakai petani untuk menutupi bibit tanaman. Dua orang tmnnya Pak Yul ngelihatin kita dari kejauhan dengan tatapan yang aneh. Aku sama Candra diriin tenda di sebelah pondoknya Pak Yul. Malamnya kita ngobrol sama mereka bertiga. Kita ceritain apa yang kami alami selama berada di atas Gunung Argopuro. Setelah mendengar cerita kita, mereka bertiga ngobrol sendiri, aku gak tahu mereka ngomong apa karena mereka ngomong pakai Bahasa Madura. Keesokan harinya kita turun jam empat sore setelah mereka selesai mancing di Danau Taman Hidup. Jam tujuh malam kita sampai di perkampungan. Pak Yul nyuruh kita mampir dulu ke rumahnya dan bermalam di sana karena hari udah gelap. Keesokan harinya pas kita mau pamit pergi, kita ditahan sama Pak Yul disuruh sehari lagi di sini. Dan keesokan harinya lagi kita pamit pergi tapi dilarang lagi sama Pak Yul katanya disuruh besok aja sekarang Pak Yul mau ke Banyuwangi dulu. Habis dari Banyuwangi kita mau dianterin ke pasar tempat nyegat bis. Kita pun sehari lagi di rumahnya Pak Yul. 

Anehnya tiba-tiba aku ngerasa sedih galau banget tiba-tiba nangis sendiri tanpa alasan. Aku sampai bingung aku itu sedih kenapa? Terus kenapa aku nangis, aku nangisin apa? Padahal aku gak punya masalah berat tapi kenapa aku sedih banget kayak ada beban batin yang mendalam. Aku nangis tanpa alasan. 
"Bang kenapa ya tiba-tiba aku galau kayak ada beban batin yang mendalam gitu padahal aku gak punya masalah," ujarku sambil nahan nangis. 
"Ya mungkin emang udah waktunya sedih aja," kata Candra.
Jawaban Candra gak membuatku puas malah bikin mood-ku memburuk aku pergi ninggalin dia dan masuk kamar. Aku nangis di kamar.

Sorenya, Vin anaknya Pak Yul ngajakin main ke taman, di situ ada sungai gak tahu kenapa pas lihat sungai aku ingin terjun nyemplung ke sungai itu. Aku jalan mendekati sungai itu tapi tiba-tiba Vin sudah berdiri di belakangku.
"Ngapain mbak di sini? Awas jatuh lho itu sungainya dalam, ayo pulang mbak udah sore," ujar Vin.
Kita pun pulang ke rumah, pas mau nyebrang ada mobil lewat aku jalan ke tengah, gak tau kenapa kayak ada yang menyuruhku untuk jalan, otakku memerintahku untuk jalan. Untung aja ditarik sama Vin.
"Mbak gimana sih ada mobil malah malah mau nyebrang kalau ketabrak gimana coba," ujar Vin.
"Iya maaf ya Vin aku meleng," jawabku.

Sampai dirumah aku bantuin istrinya Pak Yul masak. Aku motongin tempe sementara istrinya Pak Yul pergi ke warung gak tau beli apaan. Pas lihat pisau tiba-tiba aku jadi ingin mengiris tanganku sendiri. Aku lihatin terus itu pisau dan dan berhenti memotong tempe. Tiba-tiba terdengar suara adzan, aku sedikit bingung dan kaget karena Candra memanggilku, kuletakkan pisau itu dan ngambil air wudhu pergi Solat Ashar diajakin berjamaah sama Candra.

Keesokan harinya aku duduk di kamar aku lihat sangkurnya Candra di meja. Aku mengambil sangkur itu dan mengeluarkannya dari sarungnya, aku pegangi, aku elus-elus dan ingin kuiris pergelangan tanganku. Untung aja Candra masuk ke kamar.
"Heh ngapain kamu ndut?" tanya Candra.
Aku diem aja gak jawab. Candra langsung ngambil sangkurnya dan memasukkannya ke sarungnya, dia kemudian duduk di sampingku dan memarahiku.
"Kamu itu ngapain? Malah diem aja, kamu itu kenapa? Astaghfirulloh ndut kalau kamu mati saya yang masuk penjara, ngerti kamu. Kamu itu kenapa sih, jangan kayak gitu lagi," ujar Candra sambil marah-marah. Aku pun diam aja sambil nangis, Candra pun pergi ke luar dan membawa sangkurnya. Aku nangis di kamar. 
Bersambung.

Wahyu Pujiningsih
(Pencinta alam, tinggal di Madiun)

Selanjutnya:
Perempuan Cantik Gunung Argopuro (Tamat)

Komentar