Kamis, 16 Mei 2024 | 05:24
NEWS

Memaknai 119 Tahun Gereja Katedral di Tengah Wabah Covid-19

Memaknai 119 Tahun Gereja Katedral di Tengah Wabah Covid-19
Gereja Katedral Jakarta di masa lampau. (Instagram)

ASKARA - Tanggal 21 April tidak hanya diperingati sebagai Hari Kartini melainkan juga menjadi tanggal bersejarah bagi umat Kristen di Indonesia. Tanggal itu merupakan kehadiran Gereja Katedral Jakarta. 

Gereja dengan nama resmi Santa Maria Pelindung Diangkat Ke Surga atau De Kerk van Onze Lieve Vrouweten Hemelopneming itu diresmikan oleh Mgr. Edmundus Sybrandus Luypen SJ.

Gereja yang berdiri sekrang merupakan bangunan baru yang sebelumnya ambruk pada tahun 1890 dan dibangun kembali pada 1891. Pembangunannya sempat terhenti sekitar satu tahun lebih yang kemudian dilanjutkan pada pertengahan Januari 1899 hingga akhirnya rampung dan diresmikan tanggal 21 April 1901. 

Kini, Gereja Katedral menjadi tempat peribadatan umat Kristen termegah di Jakarta dengan arsitektur bergaya neo gothik.

Humas Keuskupan Agung Jakarta dan Gereja Katedral Jakarta Susyana Suwadie mengatakan, pihaknya sangat memaknai tanggal 21 April. Terlebih saat ini dalam kondisi memprihatinkan akibat wabah virus corona (Covid-19) yang melanda dunia, tak terkecuali Indonesia. 

Dia mengaku bersyukur, Gereja Katedral dapat terus melayani seluruh umat meskipun secara virtual, dan para umat pun bisa mengikutinya dengan khidmat. Tidak lain hal ini juga berkat kekuasaanNya. 

"Dalam kondisi prihatin ini kami memaknai 119 tahun Katedral dengan bersyukur kepada Tuhan. Atas penyelenggaraan-Nya selama ini sehingga Katedral tetap dapat melayani umatnya walaupun pada saat pandemi ini melayani melalui cara online pada setiap misa," jelas Susyana saat berbincang dengan Askara.

Selama 119 tahun berdiri, Gereja Katedral tentu menjadi saksi sejarah pergantian zaman dan menjadi peneguh serta pemersatu iman umat. 

Susyana menuturkan, dalam hal ini juga para umat diharapkan mengingat apa yang disampaikan Uskup Agung Jakarta sekaligus Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Ignasius Kardinal Suharyo terkait penyebab di balik kehadiran virus corona yang disampaikan pada peringatan Paskah 12 April.

"Salah satu pendapat yang menarik disampaikan dengan sangat hati-hati masuk akal, akal budi kita tetapi juga akal iman kita. Pendapatnya begini 'bisa jadi wabah adalah reaksi natural atas kesalahan manusia secara kolektif terhadap alam'," beber Susyana menirukan Kardinal.

Lanjut Kardinal, dalam bahasa iman bahwa wabah antara lain disebabkan oleh dosa ekologis yang akibatnya berdampak kepada semua elemen alam.

"Wabah muncul karena manusia telah merusak tatanan dan harmoni alam, perusakan alam itu membuat alam tidak seimbang lagi. Dan ini mempunyai akibat yang sangat luas dan beragam misalnya pemanasan Bumi perubahan iklim polusi yang mengotori semua elemen alam di laut maupun di udara," jelas Susyana.

Sehingga hal itu memunculkan berbagai macam penyakit baru serta ketidakseimbangan alam yang membuat tubuh manusia tidak seimbang dan berdampak pada imunitas tubuh yang melemah.

"Manusia menjadi rentan terhadap wabah. Seharusnya alam memiliki caranya sendiri untuk meredam wabah tetapi ketika nafsu keserakahan dan kesombongan manusia telah merusak alam, wabah tidak terbendung. Mengenai keserakahan manusia ini Paus Fransiskus mengatakan dengan keserakahannya manusia mau menggantikan tempat Allah," tutur Kardinal.

Dengan demikian akhirnya membangkitkan pemberontakan alam. Dengan kondisi ini, semua manusia terlibat di dalam dosa terhadap harmoni alam yang telah diciptakan oleh Allah sebagai semua baik dan amat baik adanya.

"Itulah yang disebut sekali lagi dosa ekologis. Wabah menurut pendapat ini adalah isyarat alamiah bahwa manusia telah mengingkari jati dirinya sebagai citra Allah yang bertugas untuk menjaga Harmoni alam, bukan merusaknya," jelas Kardinal. 

Selain itu, hadirnya wabah ini menandakan adanya ciptaan yang rapuh yang tidak mungkin bertahan jika alam ciptaan lainnya dihancurkan. Di sisi lain, manusia harus bersyukur sebab di tengah-tengah pandemi virus corona meningkatkan solidaritas yang dahsyat dalam berbagai macam bentuknya.

"Dalam bahasa iman tumbuhnya kerelaan berkorban tumbuhnya solidaritas adalah Paskah yang nyata, semoga semua yang baik tidak berhenti ketika nanti wabah ini lewat. Tetapi kita juga masih berharap bahkan dituntut untuk merayakan Paskah yang lain yakni Paskah ekologis," papar Kardinal.

Ketika manusia dibebaskan dari dosa ekologi, kolektif maupun pribadi diharapkan dibebaskan dari sikap tidak peduli terhadap alam atau bahkan nafsu merusak alam.

"Dan juga diharapkan dianugerahkan kepada kita semua kekuatan untuk terus mewujudkan Paskah ekologis itu, memulihkan alam yang rusak, merawat dan menjaganya sebagai ibu Bumi rahim kehidupan yang sejahtera," tutup Kardinal. 

Komentar