Paula Verhoeven Laporkan Hakim PA Jaksel ke Komisi Yudisial

ASKARA - Model dan publik figur Paula Verhoeven melaporkan seorang hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan (PA Jaksel) ke Komisi Yudisial (KY). Laporan itu didasarkan atas dugaan pelanggaran prosedur dalam pelaksanaan sidang elektronik (e-court) serta vonis yang menyatakan dirinya terbukti berselingkuh, tanpa adanya bukti konkret yang sah menurut hukum. Paula menyebut bahwa keputusan tersebut mencederai asas keadilan dan merusak nama baiknya sebagai seorang ibu dan perempuan.
Paula Verhoeven dan Baim Wong diketahui tengah menjalani proses perceraian yang bergulir sejak Oktober 2024 di PA Jakarta Selatan. Di tengah polemik rumah tangga yang menjadi konsumsi publik, gugatan cerai dilayangkan oleh Baim dengan tudingan bahwa Paula berselingkuh. Namun, yang mengagetkan publik bukan sekadar tudingan tersebut, melainkan putusan sementara majelis hakim yang menyatakan Paula terbukti berselingkuh—tanpa disertai bukti otentik dan pemeriksaan yang transparan.
Paula kemudian melaporkan hakim yang memimpin perkara tersebut ke Komisi Yudisial. Dalam keterangannya kepada media, Paula menyampaikan bahwa ia merasa hak-haknya sebagai pihak tergugat dalam proses persidangan e-court telah dilanggar. Ia menegaskan, ada prosedur persidangan yang dilewati secara sepihak tanpa kehadiran dirinya maupun kuasa hukum dalam momen-momen krusial pengambilan keputusan.
“Saya datang ke Komisi Yudisial untuk mencari keadilan. Ini bukan sekadar masalah pribadi, tapi ini soal integritas hukum dan penghormatan terhadap martabat seorang perempuan,” ujar Paula kepada awak media.
Paula tidak datang dengan tangan kosong. Ia membawa sejumlah dokumen, termasuk rekaman proses sidang serta salinan keputusan yang dinilainya bermasalah. Tak hanya itu, ia juga menunjukkan bukti berupa tangkapan layar pernyataan kuasa hukum Baim yang menyebutkan bahwa hak asuh anak otomatis berada di tangan ayah—sesuatu yang menurut Paula bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang jelas menyatakan bahwa anak di bawah usia 12 tahun berada di bawah pengasuhan ibu, kecuali dibuktikan sebaliknya.
“Saya bisa pertanggungjawabkan setiap tindakan saya, bahkan hingga ke akhirat,” tegas Paula, dengan suara gemetar menahan emosi.
Sebagai langkah hukum lanjutan, Paula juga menghadirkan saksi ahli dalam sidang, yakni Abimanyu Wachjoewidajat, seorang pakar telematika. Ia diminta untuk menganalisis rekaman CCTV yang menunjukkan dugaan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh Baim Wong. Rekaman tersebut menjadi salah satu senjata balik Paula dalam membuktikan bahwa dirinya bukan pelaku, melainkan korban.
Sementara itu, Baim Wong disebut telah mempersiapkan strategi untuk memperkuat klaim hak asuh atas dua anak mereka, Kiano dan Kenzo. Ia bahkan membawa saksi ahli psikologi anak yang menyebutkan bahwa anak-anak mengalami trauma akibat perlakuan Paula. Tak tinggal diam, majelis hakim pun telah melakukan pemeriksaan setempat ke kediaman masing-masing pihak untuk menilai kondisi rumah tangga dan kelayakan lingkungan bagi anak-anak tersebut.
Meski dihantam beragam tuduhan, Paula memilih untuk pasrah terhadap hasil akhir sidang. Ia menyampaikan bahwa dirinya akan menerima apa pun keputusan majelis hakim terkait hak asuh anak, sambil tetap menunjukkan rasa cintanya yang utuh kepada kedua buah hatinya.
“Saya tidak akan pernah berhenti mencintai Kiano dan Kenzo. Apa pun yang diputuskan nanti, saya percaya kebenaran akan menemukan jalannya,” ujar Paula dengan mata berkaca-kaca.
Kasus perceraian yang awalnya dianggap sebagai urusan pribadi kini berubah menjadi sorotan publik karena mencuatkan isu etik dan hukum yang lebih luas. Laporan Paula ke Komisi Yudisial bukan sekadar bentuk protes terhadap hasil persidangan, tapi juga sinyal keras agar proses peradilan, terlebih dalam ruang privat seperti rumah tangga, tetap berjalan dalam kerangka keadilan yang transparan dan bermartabat.
Komisi Yudisial hingga kini belum memberikan tanggapan resmi terkait laporan Paula. Namun publik menantikan, apakah laporan tersebut akan ditindaklanjuti demi menjaga marwah peradilan agama dan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum yang adil dan tidak berpihak. (Dwi Taufan Hidayat)
Komentar