Fenomena Livestreaming: Antara Kebebasan Berekspresi dan Tantangan Etika di Era Digital

Nabila Fasya Agustin – Komunikasi Digital dan Media, Sekolah Vokasi IPB
Pendahuluan
Dalam era digital yang terus berkembang, teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara manusia berinteraksi. Salah satu inovasi yang mencolok adalah livestreaming, yang kini menjadi media komunikasi baru dengan pengaruh luas di berbagai aspek kehidupan. Tidak hanya sekadar alat hiburan, livestreaming juga berperan penting dalam pendidikan, pemasaran, hingga membentuk opini publik.
Namun, di balik kebebasan berekspresi yang ditawarkan, muncul tantangan baru terkait etika penyiaran dan dampak sosial yang ditimbulkan. Livestreaming mengubah pola penyiaran konvensional yang selama ini dikontrol ketat oleh regulasi dan kode etik. Platform seperti TikTok, YouTube, dan Instagram Live memberikan kebebasan hampir tanpa batas bagi penggunanya untuk menyampaikan ide, hiburan, hingga promosi produk. Kini, siapa pun dapat menjadi "penyiar" dan membangun audiens sendiri tanpa harus melalui proses seleksi atau sensor yang ketat.
Namun, kebebasan ini membawa konsekuensi besar. Livestreaming sering kali lebih mengutamakan interaksi dan keterlibatan audiens tanpa memperhatikan kontrol kualitas konten. Hal ini membuka peluang munculnya konten sensasional, misinformasi, dan konten yang tidak pantas, yang dapat berdampak negatif, terutama bagi generasi muda.
Kebebasan Berekspresi vs Tantangan Etika
Livestreaming memberikan kebebasan hampir tanpa batas kepada siapa saja untuk menjadi penyiar di ruang digital. Berbeda dengan penyiaran konvensional seperti televisi dan radio yang diatur ketat oleh regulasi dan kode etik, livestreaming memungkinkan individu mengekspresikan ide, opini, dan kreativitas mereka secara bebas tanpa melalui sensor atau kontrol ketat.
Namun, kebebasan ini juga menimbulkan tantangan besar. Kurangnya regulasi dalam dunia livestreaming membuka peluang bagi penyebaran konten yang tidak pantas, misinformasi, dan ujaran kebencian. Hal ini menimbulkan dilema dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial dalam bermedia digital.
Dalam penyiaran konvensional seperti televisi dan radio, terdapat kode etik penyiaran yang bertujuan melindungi audiens dari konten yang merusak norma sosial, seperti kekerasan, diskriminasi, atau ujaran kebencian. Sebaliknya, di dunia livestreaming, pembuat konten sering kali tidak terikat aturan serupa, sehingga tanggung jawab etika sepenuhnya berada di tangan individu.
Beberapa platform seperti YouTube dan Instagram memang memiliki kebijakan komunitas untuk mengatur perilaku pengguna. Namun, penerapan kebijakan ini sering kali kurang efektif, karena bergantung pada pelaporan pengguna atau algoritma untuk mendeteksi pelanggaran. Akibatnya, banyak konten melanggar etika tetap beredar sebelum akhirnya dihapus.
Dampak Sosial Livestreaming
Fenomena livestreaming mencerminkan perubahan besar dalam dunia komunikasi digital. Dengan memberikan kebebasan berekspresi yang luas, livestreaming memungkinkan individu untuk berbagi ide, hiburan, dan bahkan mempromosikan produk secara langsung. Namun, kebebasan ini juga membawa tantangan etika yang tidak bisa diabaikan.
Dalam lanskap media saat ini, media sosial telah menjadi saluran utama arus informasi. Media sosial memengaruhi hampir setiap aspek interaksi manusia, di mana setiap orang terhubung, berkomunikasi, dan mendapatkan berita (Dewi et al., 2022). Dengan cepatnya arus informasi, risiko penyebaran konten negatif juga meningkat.
Platform livestreaming pertama kali muncul pada tahun 2010, dan pada tahun 2015, teknologi ini berkembang menjadi siaran langsung interaktif yang memiliki kedekatan tinggi antara penyiar dan audiens (Wang & Lu, 2019). Sifat interaktif ini membuat livestreaming menjadi alat komunikasi yang sangat efektif, tetapi juga rentan terhadap penyalahgunaan.
Dampak sosial livestreaming tidak hanya terbatas pada penyebaran informasi yang cepat, tetapi juga mempengaruhi perilaku pengguna. Pengguna cenderung lebih terbuka dalam berbagi kehidupan pribadi mereka, yang menciptakan batas yang kabur antara kehidupan pribadi dan ranah publik digital. Fenomena ini dapat memperkuat identitas sosial seseorang di dunia maya, tetapi juga meningkatkan risiko pelanggaran privasi dan cyberbullying.
Selain itu, normalisasi konten sensasional dan ujaran kebencian dapat memengaruhi norma sosial masyarakat, terutama di kalangan generasi muda yang masih dalam tahap pembentukan identitas. Paparan terhadap konten semacam ini dapat mempengaruhi cara pandang mereka terhadap isu-isu sosial dan membentuk perilaku yang kurang sehat.
Kesimpulan
Menjaga keseimbangan antara kebebasan dan tanggung jawab sosial menjadi kunci dalam mengelola dampak livestreaming di era digital. Dengan memahami tantangan etika yang ada, baik pengguna, platform, maupun masyarakat secara keseluruhan dapat berperan dalam menciptakan lingkungan digital yang sehat.
Livestreaming memiliki potensi besar untuk menjadi alat komunikasi yang efektif dan berdampak positif bagi masyarakat. Namun, agar manfaatnya dapat dirasakan secara maksimal, pengguna harus bijak dan bertanggung jawab dalam memanfaatkannya.
Komentar