Kamis, 02 Mei 2024 | 16:04
OPINI

RUU Perampasan Aset yang Belum Disahkan

RUU Perampasan Aset yang Belum Disahkan
Ilustrasi RUU Aset (Dok IG)


Oleh: Idrus Al Azis
Mahasiswa dari Sekolah Vokasi IPB University Program Studi Komunikasi Digital dan Media

ASKARA - Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) belum kunjung dibahas oleh DPR meskipun pemerintah telah mengirimkan surat presiden sejak 4 Mei 2023. menyerukan urgensi pembahasannya untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan memotivasi langkah-langkah pencegahan tindak pidana. Meskipun RUU tersebut dianggap penting oleh pemerintah, belum ada kejelasan mengenai waktu pembahasan yang akan dilakukan oleh DPR. Keterlambatan ini telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat dan lembaga hukum terkait dengan ketegasan dan keseriusan pemerintah dalam memerangi kejahatan dan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana kepada masyarakat.

RUU Perampasan Aset harus terus didorong untuk mengoptimalkan penegakan hukum tindak pidana korupsi dan asset recovery. RUU Perampasan Aset akan mengatur mengenai pengelolaan aset yang terdiri dari sembilan jenis kegiatan, yaitu penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian aset. Selain itu, terdapat batasan aset tindak pidana yang dapat dirampas, yaitu aset yang bernilai Rp100 juta ke atas dan aset yang berkaitan dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara empat tahun atau lebih.

Banyaknya Tindakan Korupsi mengakibatkan melambatnya pertumbuhan ekonomi negara, menurunnya investasi, meningkatnya kemiskinan serta meningkatnya ketimpangan pendapatan Oleh karena itu, di butuhkan adanya tindakan untuk membuat para koruptor jera. Salah satu hal yang dapat dilakukan yaitu dengan melakukan Perampasan Aset sebagai bentuk pertanggung jawaban serta resiko atas kejahatannya.

Alasan pengajuan RUU Perampasan Aset adalah bahwa perkembangan tindak pidana yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan ekonomis berpotensi merusak tatanan perekonomian nasional sekaligus mengurangi kemampuan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan umum sehingga diperlukan pengaturan mengenai perampasan aset terkait dengan tindak pidana. Bahwa sistem dan mekanisme yang berlaku mengenai perampasan aset terkait tindak pidana pada saat ini belum mampu mendukung upaya penegakan hukum yang berkeadilan sehingga diperlukan pengaturan yang komprehensif, transparan, dan akuntabel (Pertanggung jelasan).

Di samping itu, Perampasan Aset Tindak Pidana dapat juga mengurangi tindak pidana, memberikan kepastian hukum, dan menjamin pelindungan hukum di Indonesia. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat, terutama investor untuk melakukan investasi dan mengembangkan kegiatan usaha di Indonesia. Berkurangnya tingkat kejahatan juga akan meningkatkan keamanan dana dan hasil pembangunan dalam kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Perampasan Aset yang tidak dapat dibuktikan perolehannya secara sah menurut hukum, juga dapat mencegah pengalokasian sumber daya ekonomi yang diperoleh dari hasil tindak pidana oleh pelaku tindak pidana.

Adanya “kerja sama internasional” terkait aset yang berada di luar negeri, termasuk dalam hal perampasan dan pengembalian aset tersebut. Dengan menjalin kerja sama dengan negara lain, probabilitas untuk melacak aset yang berasal dari tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri menjadi lebih mudah dengan bantuan dari aparat penegak hukum negara setempat

Seharusnya hal ini menjadi sebuah tantangan bagi para capres untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Oleh Karena itu, Pengesahan RUU Perampsan Aset menjadi salah satu pembahasan dalam debat capres pada Selasa (12/12) Malam, para paslon menekankan pentingnya pemiskinan dan perampasan aset bagi koruptor, mendesak penyelesaian segera RUU Perampasan Aset, serta menyoroti pentingnya contoh kepemimpinan yang sederhana dan berintegritas.

Jika merujuk pada Pasal 7 RUU Perampasan Aset, setidaknya ada empat kondisi sejauh mana perampasan aset dapat dilakukan. Pertama, tersangka atau terdakwa meninggal, melarikan diri, sakit permanen, atau tidak diketahui keberadaannya. Kedua, terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Ketiga, perkara pidananya tidak dapat disidangkan. Keempat, terdakwa telah diputus bersalah oleh pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap di kemudian hari diketahui terdapat aset yang belum dirampas.




 

Komentar