Selasa, 14 Mei 2024 | 17:10
NEWS

Prof. Rokhmin Dahuri Beberkan Sebelas Kebijakan Politik-Ekonomi untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Prof. Rokhmin Dahuri Beberkan Sebelas Kebijakan Politik-Ekonomi untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan
Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS

ASKARA – Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, mensejahterakan petani dan nelayan, dan menjadikan sektor pangan (pertanian, dan kelautan dan perikanan) sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, perlu peningkatkan kapasitas dan etos kerja petani, peternak,  nelayan, dan produsen pangan lainnya melalui program Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan secara sistemik dan berkesinambungan.

“Maka, pembangunan bidang pangan mesti diarahkan untuk mencapai lima tujuan,” ujar Guru Besar Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan - IPB University, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, dalam artikelnya dikutip Jumat, 1 Maret 2024.

Antara lain, paparnya, (1) menghasilkan berbagai komoditas dan produk olahan pangan yang berdaya saing untuk memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor; (2) mensejahterakan seluruh petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya;

(3)  meningkatkan kontribusi sektor pangan terhadap perekonomian nasional (PDB, nilai ekspor, dan lapangan kerja); (4) meningkatkan status gizi dan kesehatan rakyat; dan (5) memelihara daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya pertanian, perikanan, dan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan. 

Pada tataran teknis, kita harus meningkatkan produksi semua bahan pangan yang bisa diproduksi di dalam negeri secara produktif, efisien, berdaya saing, ramah lingkungan, dan berkelanjutan. Menurutnya, ini dapat direalisasikan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi spesies (varietas) budidaya untuk semua sektor pangan. Yang meliputi tanaman pangan, hortikultur, perkebunan, peternakan, perikanan, dan material bioteknologi. 

Program ekstensifikasi diprioritaskan di lahan-lahan kritis yang kini luasnya mencapai 11 juta ha, tidak dengan membuka hutan lindung. Semua program intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi harus sesuai dengan RTRW, memenuhi skala ekonomi, menggunakan teknologi terbaik dan terkini (smart and green agriculture, aquaculture, and fishing), menerapkan ISCMS, dan mengikuti prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. 

Kemudian, optimalisasi usaha perikanan tangkap di laut dan perairan umum darat (sungai, rawa, danau, waduk, dan perairan rawa) sesuai dengan potensi produksi lestarinya di setiap wilayah perairan NKRI. Peningkatan usaha perikanan budidaya di ekosistem perairan laut, perairan payau (tambak), danau, waduk, sungai, sawah (minapadi), kolam, dan wadah (media) budidaya lainnya.

Prof. Dr. Rokhmin Dahuri MS menghadiri acara nadran di Desa Ender, Cirebon, Kamis (2/11/2023). (Foto: Dok RD Institute)

Sebelas Kebijakan Politik-Ekonomi

“Sederet kebijakan dan program teknikal akan berhasil, bila dibarengi dengan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif bagi kinerja dan tumbuh-kembangnya sektor pangan. Sedikitnya ada sebelas kebijakan politik-ekonomi untuk mewujudkan kedaulatan pangan, dan kesejahteraan bagi petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya,” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Pertama, stop impor seluruh bahan pangan yang saat ini total volume produksinya lebih besar dari pada konsumsi (kebutuhan) nasional, seperti jagung dan garam konsumsi. Untuk bahan pangan yang sekarang total volume produksinya lebih kecil ketimbang kebutuhan nasional, tetapi dengan program intensifikasi dan ekstensifikasi, produksinya dapat ditingkatkan hingga mencukupi kebutuhan nasional, katakanlah dalam tiga tahun ke depan. 

“Maka, dalam 3 tahun boleh diimpor, dan setelah itu stop impor. Contoh komoditas pangan semacam ini adalah beras, kedelai, gula, buah-buahan, dan garam industri. Sementara itu, untuk bahan pangan yang secara bio-ekologi (hukum alam) memang tidak bisa diproduksi di dalam negeri, tetapi dibutuhkan, seperti ikan salmon, maka kita boleh mengimpornya,” kata Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.

Prof. Rokhmin Dahuri  menyebut, tiga skenario impor pangan ini memerlukan data setiap jenis bahan pangan pokok, yang terkait dengan produksi, stok (cadangan), dan kebutuhan nya yang absah, akurat, dan sinkron (satu data) antar lembaga yang bertanggung jawab.

Yakni Kementerian Pertanian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kemenko Perekonomian, Bapanas, dan Bulog.  “Dengan demikian, tidak ada lagi celah bagi para mafia pangan untuk bermanuver dan mendulang keuntungan dari impor pangan,”  sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Kedua, konsumsi beras harus segera dikurangi, dari saat ini sebesar 111,2 kg per kapita menjadi 60 kg per kapita melalui diversifikasi konsumsi pangan sumber karbohidrat lainnya yang lebih sehat, seperti sagu, jagung, singkong, ubi jalar, sorghum, porang, dan tales. Dengan konsumsi per kapita 60 kg, total kebutuhan beras nasional untuk memenuhi 278 juta jiwa penduduk hanya 16,69 juta ton.

Sementara, rata-rata total konsumsi dan produksi beras nasional pada kurun 2020 – 2023 mencapai 35,37 juta ton dan 34,36 juta ton (USDA, 2023).  Selain rakyat bakal lebih sehat, pengurangan konsumsi beras juga akan membuat Indonesia surplus beras rata-rata sebesar 17,67 juta ton per tahun. Kemudian, secara simultan kita tingkatkan proporsi protein hewani (ikan, telur, daging, dan susu), sayuran, dan buah dalam menu keseharian makanan rakyat.

“Secara bertahap, kita kurangi impor gandum, dengan menggantikan bahan baku untuk produksi mie, roti, dan lainnya dengan sagu, sorghum, dan jenis tanaman pangan lokal lainnya. Sembari terus meningkatkan produksi sapi nasional, untuk mengurangi impor sapi, kita harus meningkatkan konsumsi ikan, dari sekarang 50 kg menjadi 100 kg per kapita seperti di Islandia dan Jepang,” terang Ketua Umum Masyarakat AKuakultur Indonesia (MAI) itu.

Ketiga, pengembangan lahan pangan abadi, tidak boleh ada lagi konversi lahan pertanian dan perikanan untuk penggunaan lahan lainnya.

Keempat, akselerasi dan penyempurnaan reformasi agraria untuk memastikan bahwa lahan usaha petani minimal 1,5 ha (sesuai skala ekonomi) melalui redistribusi lahan secara berkeadilan, sertifikasi tanah, penyelesaian konflik agraria, larangan praktik ’land bank’, dan peningkatan kerjasama antara UMKM dengan Korporasi Besar di bidang pengan secara saling menguntungkan.

Kelima, penguatan dan perluasan peran BULOG sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok. BULOG bukan lembaga ekonomi untuk mencari laba, apalagi sarang mafia pangan.  Tapi, BULOG merupakan lembaga yang didesain sebagai pilar utama ekonomi pangan bangsa untuk mewujudkan kedaulatan pangan, serta mensejahterakan seluruh petani, peternak, dan nelayan.

Keenam, secara bertahap mengurangi dan akhirnya meberhentikan subsidi terhadap input (sarana) produksi seperti pupuk, benih, dan alsintan, karena selama ini kurang tepat sasaran dan sangat rawan penyelewengan. 

Selanjutnya, secara simultan menggantikannya dengan memberikan subsidi  ganda  untuk hasil panen (double subsidy pada output). “Sehingga, petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya bisa hidup sejahtera. Pada saat yang sama, para konsumen di seluruh wilayah NKRI pun mendapatkan pangan berkualitas yang cukup dengan harga yang terjangkau,” kata Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Ketujuh, pengembangan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, dengan mempercepat transisi energi.  Kedelapan, stop pencemaran, pengikisan biodiversitas, dan bentuk kerusakan lingkungan lainnya yang mengancam produktivitas dan keberlanjutan usaha produksi pangan.

Kesembilan, penyediaan kredit khusus untuk sektor pangan, dengan suku bunga relatif rendah dan persyaratan lebih lunak seperti di negara-negara produsen pangan utama lainnya.

Sudah saatnya Indonesia memiliki bank khusus yang melayani semua jenis investasi dan usaha di bidang pangan, seperti Thailand Bank of Agriculture and Agricultural Cooperative, Vietnam Bank of Agriculture and Rural Development, India National Bank for Agriculture and Rural Development, Agricultural Bank of China, dan Korea Nonghyup Bank of Agriculture. 

Kesepuluh, peningkatan anggaran pembangunan (APBN) untuk sektor pangan guna merevitalisasi dan membangunan baru infrastruktur pertanian dan wilayah pedesaan, penguatan dan pengembangan SDM pangan, dan penguatan dan pengembangan institusi serta regulasi.

Kesebelas, menciptakan iklim investasi (seperti perizinan, kemudahan berbisnis, keamanan berusaha, kepastian dan keadilan hukum) yang kondusfi bagi kinerja dan tumbuh-kembangnya sektor pangan. 

Prof. Dr. Rokhmin Dahuri MS mengunjungi Kelompok Tani Cantigi di Kabupuaten Indramayu (Foto: Dok RD Institute)

Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GNTI) itu menjabarkan, melalui implementasi secara terintegrasi dan berkesinambungan segenap kebijakan teknikal dan politik-ekonomi diatas, maka Indonesia diyakini tidak hanya akan berswasembada pangan, dan petani serta nelayannya hidup sejahtera; tetapi juga bakal mampu feeding the world, dan menjadi bangsa yang maju, sejahtera, dan berdaulat, paling lambat pada 2035.

Indonesia memiliki potensi produksi perikanan tangkap terbesar di dunia, sekitar 15,5 juta ton per tahun terdiri atas 12 juta ton per tahun di laut dan 3,5 juta ton per tahun di perairan umum darat. Hingga kini, kita baru memanfaatkannya sekitar 65 persen. 

“Demikian juga halnya dengan perikanan budidaya, sekitar 100 juta ton per tahun, dan baru diproduksi 23 juta ton pada 2023,” ujar Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Sejak 2009, terangnya, Indonesia merupakan produsen perikanan terbesar kedua di dunia, setelah China (FAO, 2022). Dengan menggunakan bioteknologi (genome editing), nanoteknologi, dan AI yang ramah lingkungan, kita pun bisa membudidayakan tanaman pangan (padi) di ekosistem perairan laut. Seperti yang telah dikerjakan di China sejak 2007.

Penguatan dan pengembangan produksi bibit dan benih unggul melalui berbagai inovasi teknologi ramah lingkungan, termasuk kultur jaringan, biologi molekuler, genome editing, nano teknologi, dan AI. Peningkatan volume produksi sarana produksi pangan lainnya, mulai dari pakan ternak dan ikan, pupuk, obat-obatan, sampai alsintan. 

Dengan demikian, akses para petani, peternak, nelayan, dan produsen pangan lainnya terhadap semua sarana produksi yang unggul dan murah akan lebih terjamin.  Penguatan dan pengembangan industri pengolahan dan pengemasan pangan guna meningkatkan nilai tambah, pasar, multiplier effects, dan lapangan kerja.

Penguatan dan pengembangan Sistem Logistik Pangan Nasional untuk memperlancar, mempermudah, dan menjamin keamanan distribusi komoditas hasil panen para petani dan nelayan, dan berbagai jenis sarana produksi.  Melalui penerapan ekonomi hijau, ekonomi biru, dan ekonomi digital; kita bangun sistem pangan yang tanpa limbah (zero-waste) dan tanpa emisi (zero-emission).

“Kemudian, revitalisasi dan pembangunan baru infrastruktur pertanian dan perikanan (bendungan, jaringan irigasi lahan pertanian, dan jaringan irigasi tambak udang) maupun infrastruktur dasar pedesaan, termasuk jaringan jalan, air bersih, listrik, gas, telkom, dan internet,” kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia itu.

Komentar