Minggu, 28 April 2024 | 01:44
NEWS

Agromaritim Outlooks 2024 & Rapat Kerja Nasional III HA IPB

Prof. Rohmin Dahuri: Saat Ini Banyak Nelayan Terlilit Utang Dengan Bunga Cukup Tinggi

Prof. Rohmin Dahuri: Saat Ini Banyak Nelayan Terlilit Utang Dengan Bunga Cukup Tinggi
Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS

ASKARA - Dewan Pengurus Pusat Himpunan Alumni IPB menyelenggarakan Agromaritim Outlooks 2024 & Rapat Kerja Nasional III HA IPB dengan Tema “Akselerasi Kedaulatan Agromaritim dari Berbagai Daerah di Nusantara” di  IPB International Convention Center, Botani Square, Bogor, Selasa (27/2).

Saat menjadi keynote speaker, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan-IPB University Prof Dr Ir Rokhmin Dahuri MS menyebut suku bunga pinjaman yang tinggi dapat menyulitkan nelayan mengembangkan usahanya.

“Indonesia perlu menerapkan pembangunan perikanan budidaya yang produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan,” ujar Prof. Rokhmin Dahuri mengangkat tema " Perspektif Asosiasi Dan Pelaku Usaha Tentang Kebijakan Pembangunan Kelautan Dan Perikanan Untuk Menghasilkan Pertumbuhan Ekonomi Yang Tinggi, Inklusif, Ramah Lingkungan, Dan Berkelanjutan".

Ia mengungkapkan, tantangan penguatan industri kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya suku bunga pinjaman bank masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara lain, dan fungsi intermediasi (alokasi kredit) untuk sektor tersebut sangat rendah.

“Dari total alokasi kredit perbankan nasional, pinjaman yang diberikan ke sektor kelautan dan perikanan hanya mencapai sekitar 0,29 persen dari total nilai pinjaman Rp2,6 triliun. Sementara alokasi kredit tertinggi diberi ke sektor perdagangan besar dan eceran sebesar 26,94 persen,” katanya.

Di sisi lain, Indonesia masih menjadi negara dengan pemberi suku bunga pinjaman tertinggi, yaitu sebesar 12,6 persen, dibanding beberapa negara Asia, seperti Vietnam (8,7 persen), Thailand (6,3 persen), China (5,6 persen), Filipina (5,5 persen), dan Malaysia (4,6 persen). “Konsekuensinya, nelayan dari negara tersebut lebih kompetitif dibanding Indonesia,” sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan itu.

Dengan demikian, pemerintah, Bank Indonesia, dan penyedia jasa perbankan perlu memikirkan bagaimana dapat menurunkan suka bunga pinjaman sehingga ramah terhadap para nelayan dan pembudidaya skala kecil. Pasalnya, menurut Rokhmin, saat ini banyak nelayan yang hidup terlilit utang dengan bunga cukup tinggi.

"Banyak nelayan meminjam uang dari para rentenir dengan bunga tinggi, sekitar 5-10 persen per bulan. Kondisi itu menjadi salah satu penyebab banyak nelayan terus terjerat kemiskinan struktural," sebut Ketua Penasihat Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Kelautan dan Perikanan itu.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, kemiskinan dan rendahnya literasi perbankan di kalangan nelayan dan pembudidayamerupakan tantangan yang harus dipecahkan pemerintah di tengah penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, khususnya di bidang penguatan industri kelautan dan perikanan.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan fungsi dan peran KKP dalam pembangunan bangsa Indonesia. Yakni, mengatasi permasalahan internal sektor Sektor Kelautan dan Perikanan (KP); Berkontribusi secara signifikan dalam memecahkan permasalahan bangsa.

”Serta mendayagunakan potensi pembangunan KP secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, dan berkelanjutan (sustainable); dalam rangka mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada 2045, ” ujar Prof Rokhmin Dahuri.

Lalu, Prof. Rokhmin Dahuri mengemukakan Permasalahan dan tantangan pembangunan Indonesia. Antara lain: 1.Pertumbuhan Ekonomi Rendah (< 7% per tahun), 2. Pengangguran dan Kemiskinan, 3. Ketimpangan ekonomi terburuk ke-3 di dunia, 4. Disparitas pembangunan antar wilayah, 5. Fragmentasi sosial: Kadrun vs Cebong, dll, 6. Deindustrialisasi, 7. Kedaulatan pangan, farmasi, dan energy rendah, 8. Daya saing & IPM rendah, 9. Kerusakan lingkungan dan SDA, 10.Volatilitas globar (Perubahan iklim, China vs As, Industry 4.0).

Lebih lanjut, Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2020 – 2024 itu memaparkan, pesatnya kemajuan IPTEK telah membuat ekonomi dunia semakin berkembang, produktif, efisien, dan kompetitif. Kehidupan keseharian manusia pun semakin sehat, mudah, murah, cepat, dan nyaman. Namun, hingga kini baru sebagian kecil negara-bangsa di dunia yang sudah maju dan makmur (high-income country) dengan GNI (Gross National Income) per kapita diatas 12.695 dolar AS.

“Dari 194 negara-negara anggota PBB, baru 55 negara (28%) yang telah maju dan makmur, 103 negara (53%) berstatus sebagai negara berpendapatan menengah (middle-income country) dengan GNI per kapita antara 1.046 – 12.695 dolar AS, dan 36 negara (19%) masih miskin (poor country) dengan GNI per kapita lebih kecil dari 1.046 dolar AS. Pada 2021, GNI per kapita Indonesia baru mencapai 3.870 dolar AS (World Bank, 2021),” ucapnya.

Prof. Rokhmin Dahuri menyebutkan, pandemi Covid-19 berdampak terhadap perekonomian Indonesia. “Hal itu dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pengangguran terbuka, kemiskinan, dan koefisien Gini  (alat mengukur derajat ketidakmerataan distribusi penduduk),” kata Penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan 2020 – Sekarang.

Ia menyebutkan, pertumbuhan ekonomi pada September 2019 mencapai 5,02 persen, pada triwuan I, II dan III 2020 masing-masing 2,97 persen, (-5,32) persen, dan (-3,2) persen. Pengangguran terbuka meningkat hampir dua kali lipat dari 5 persen pada September 2019 menjadi 9,2 persen pada Triwulan III 2020.

Jumlah  orang miskin bertambah dari 9,2 persen (25,4 juta orang) pada September 2019 menjadi 10,2 persen (28 juta orang) pada Triwulan III 2020. Koefisien Gini naik dari 0,375 pada September 2019 menjadi 0,381 pada Triwulan III 2020. Artinya ketimpangan makin tinggi.

Prof. Rokhmin kemudian memaparkan perhitungan angka kemiskinan atas dasar garis kemiskinan versi BPS (2023), yakni pengeluaran Rp 580.000/orang/bulan. Tapi garis kemiskinan itu sangat rendah sekali. Padahal BPS menyebut garis kemiskinan sejumlah uang yang cukup bagi seorang memenuhi 5 kebutuhan dasar (pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan) dalam sebulan

“Sedangkan kalau garis kemiskinan yang tidak munafik berdasarkan Bank Dunia (2,5 dolar AS/orang/hari atau 75 dolar AS/orang/bulan (Rp 1.125.000)/orang/bulan). Maka  jumlah orang miskin Indonesia pada 2023 masih sebesar 111 juta jiwa (37% total penduduk), dan disitulah sebagian besar buruh, petani dan nelayan,” tandas Dewan Pakar Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Pusat itu.

Prof  Rokhmin Dahuri menyampaikan, kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB menurun. Hal ini, menurutnya, situasi deindustrilisasi terjadi di suatu negara, manakala kontribusi sektor manufakturnya maupun sebelum GNI (Gross National Income) perkapita nya mencapai US$ 12.536.

Ternyata 1 dari 3 anak di Indonesia yang mengalami stunting pun masih 24,4 persen. “Jika tidak segerea diatasi maka generasi mendatang fisiknya lemah dan kecerdasannya rendah (a lost generation),” terang Ketua Dewan Pakar MPN (Masyarakat Perikanan Nusantara) itu.  

Selain itu, Prof Rokhmin menambahkan, biaya yang diperlukan orang Indonesia untuk membeli makanan bergizi seimbang (sehat) sebesar 22.125/hari atau Rp 663.791/bulan. “Harga tersebut berdasarkan pada standar komposisi gizi healthy diet basket (HDB),” kata Prof. Rokhmin Dahuri mengutip FAO (2020).

Maka, mengutip Litbang Kompas, 2022 di Harian Kompas, 9 Desember 2022, kata Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia tersebut, atas dasar perhitungan diatas; ada 183,7 juta orang Indonesia (68% total penduduk) yang tidak mampu memenuhi memenuhi biaya tersebut. “Saya tidak habis pikir kalau pejabat Negara bisa tidur dengan data ini,” katanya.

Yang sangat memprihatinkan, rakyat Indonesia kekurangan rumah yang sehat dan layak huni. Berdasarkan laporan Bappenas, dari 65 juta rumah tangga, masih 61,7 % rumah tidak layak huni. “Padahal, perumahan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia (human basic needs) yang dijamin dalam Pasal 28, Ayat-h UUD 1945,” terang Ketua Dewan Pakar Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) itu.

Dalam kesempatan tersebut, Prof. Rokhmin Dahuri menterjemahkan definisi tujuh kebijakan pembangunan TSE. Yakni: Pertama, Dari dominasi eksploitas SDA dabn ekspor komoditias (sektor primer) dan buruh murah, ke dominasi sektor manufaktur atau Hilirisasi (sektor sekunder) dan sektor jasa (sektor Tersie) yang produktif, berdaya saing, inklusif, mensejahterakan, dan berkelanjutan (sustainable).

Kedua, Dari dominasi impor dan konsumsi ke investasi, produksi,  dan ekspor. Ketiga, Modernisasi sektor primer (kelautan dan perikanan, pertanian, kehutanan, dan ESDM) secara produktif, efisien, berdaya saing, inklusif, ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sedangkan ciri Ekonomi Modern, sebut Dosen Kehormatan Mokpo National University Korea Selatan tersebut, antara lain: Pertama, ukuran unit usaha memenuhi economy of scale. Kedua, menerapkan ISCMS (Integrated Supply Chain Management System). Ketiga, Menggunakan teknologi mutakhir pada setiap mata rantai Supply Chain System dan Keempat, mengikuti prinsip-prinsip Sustainable Development.

Keempat, Revitalisasi industry manufacturing yang unggul sejak masa Orba: (1) Mamin, (2) TPT (Tekstil dan produk tekstil), (3) Elektronik, ($) Otomotif, (5) Pariwisata, dan lainnya. Kelima, Pengembangan industry manufacturing baru: EBT, Semikonduktor, CHIPS, Baterai Nikel, Electrical Vehicle, Bioteknologi, Nanoteknologi, Kemaritiman, Ekonomi, Kreatif, dan lainnya.

Keenam, Pengembangan berbagai ekonomi dan industry di Luar Jawa, Wilayah Perdesaan, dan Wilayah Perbatasan. Ketujuh, semua pembangunan ekonomi (butir 1 s/d 4) mesti berbasis pada Pancasila (pengganti Kapitalisme), Ekonomi Hijau (Green Economy) dan Ekonomi Digital (Industry 4.0) serta TKDN  lebih 70%.

“Yang dimaksud Ekonomi Kelautan (Marine Economy) adalah kegiatan ekonomi yang berlangsung di wilayah pesisir dan lautan, dan kegiatan ekonomi di darat (lahan atas) yang menggunakan SDA dan jasa-jasa lingkungan kelautan untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) yang dibutuhkan umat manusia,” sebut Menteri Kelautan dan Perikanan-RI 2001 – 2004 itu.

Maka, jelasnya, atas dasar definisi itu total potensi ekonomi sebelas sektor Kelautan Indonesia: USS 1,348 triliun/tahun atau 5 kali lipat APBN 2023 (Rp 3.000 triliun = US$ 190 miliar) atau 1,2 PDB Nasional saat ini. “Kalau kita garap serius seharusnya 11 sektor ekonomi kelautan bisa providing sekitar 45 juta lapangan kerja atau 40% total angkatan kerja Indonesia,” katanya.

Dan tahun 2019 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 10,4%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), Kontribusinya lebih 30%.

Pada 2018 kontribusi ekonomi kelautan bagi PDB Indonesia sekitar 14%. Negara-negara lain dengan potensi kelautan lebih kecil (seperti Thailand, Korsel, Jepang, Maldives, Norwegia, dan Islandia), kontribusinya > 30%.

Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, sektor kelautan dan perikanan sangat berpotensi untuk meningkatkan kontribusinya secara signifikan bagi terwujudnya Indonesia emas 2045. ”Indonesia memiliki Potensi Produksi Lestari (MSY) SDI (Sumber Daya Ikan) laut terbesar di dunia (12 juta ton/tahun atau 13,3% total MSY laut Dunia, 90 juta ton/tahun), dan MSY SDI Perairan Umum Darat (Sungai, Danau, dan rawa) terbesar ke-5 di dunia.  Hingga, 2022 baru dimanfaatkan (diproduksi) sekitar 65%,’’ sebutnya.

Menurut Prof Penasehat Ahli Bidang Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu tersebut, produksi Perikanan Budidaya (Aquaculture) Indonesia (sekitar 100 juta ton/tahun) terbesar di dunia, dan pada 2021 baru diproduksi (dimanfaatkan) sekitar 19 persen dimana sejak 2009 hingga 2021 Indonesia menjadi produsen Perikanan Tangkap laut terbesar ke-2 di dunia setelah China, dan produsen Perikanan Budidaya terbesar ke-2 di dunia setelah China. “Indonesia mesti menjadi produsen Perikanan Tangkap laut dan Perikanan Budidaya terbesar di dunia, menggeser China pada 2028 atau paling lambat pada 2033,’’ tegasnya.

Prof Rokhmin Dahuri mengatakan sebagai negara kepuluan terbesar di dunia yang 75% total wilayahnya berupa laut dan 28% wilayah daratnya berupa ekosistem perairan tawar (danau, bendungan, sungai, dan rawa), Indonesia memiliki potensi produksi perikanan budidaya terbesar di dunia, sekitar 100 juta ton/tahun yang hingga kini baru dimanfaatkan sekitar 16%.

Saat ini, katanya, produksi ikan, krustasea, moluska, dan invertebrata (protein hewani) dari perikanan budidaya semakin meningkat over time mencapai 5,6 juta ton (44,7% total produksi) pada 2018. Ditambah rumput laut, total produksi perikanan budidaya sebesar 15,8 juta ton atau 67,5% total produksi perikanan Indonesia. Sementara itu berdasarkan data Puslitbang Gizi tahun 2012, sekitar 65% total asupan protein hewani (animal protein intake) rakyat Indonesia berasal dari ikan dan seafood.

Secara potensial, terang Prof Rokhmin perikanan budidaya dapat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi. Ia pun mencontohkan seperti potensi usaha budidaya udang vaname yang memiliki nilai ekonomi tinggi. “Dengan membuka usaha tambak udang Vaname 100.000 ha/tahun saja, dapat disumbangkan 2% pertumbuhan ekonomi per tahun,” terang koordinator penasehat menteri kelautan dan perikanan 2019-2024 bidang riset dan daya saing itu.

“Merujuk pada Kajian FAO, Bappenas dan IPB tahun 2015, aktivitas on-farm aquaculture menyerap banyak tenaga kerja, dan aquaculture membangkitkan multiplier effects (industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa) ekonomi yang sangat besar.  Setiap 1 orang bekerja di on-farm aquaculture menciptakan lapangan kerja di sektor off-farm (industri hulu, industri hilir, dan sektor jasa) rata-rata 3 orang tenaga kerja,” tegasnya.

Definisi Akuakultur

Prof. Rokhmin Dahuri mengatakan, akuakultur bukanlah ‘roket science’ dan bukan bisnis padat modal sehingga bisnis akuakultur pada dasarnya bisa dijalankan oleh kebanyakan orang, bagus untuk mengatasi pengangguran.

“Secara umum, kegiatan budidaya merupakan sektor ekonomi yang menguntungkan dan terbarukan yang sebagian besar berada di wilayah laut, pesisir, pulau kecil, dan pedesaan, baik untuk mengentaskan kemiskinan, memperkuat ketahanan pangan, mengurangi kesenjangan pembangunan daerah antara perkotaan vs pedesaan, dan mencapai SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan),” terangnya.

Menurut definisi FAO (1998), kata Prof. Rokhmin Dahuri, akuakultur tidak hanya menghasilkan ikan bersirip, krustasea, moluska, dan rumput laut; tetapi juga invertebrata, dan flora dan fauna lainnya (FAO, 1998).

“Akuakultur adalah produksi ikan, krustasea, moluska, invertebrata, alga, mikroba, tumbuhan, dan organisme lain melalui penetasan dan pemeliharaan di ekosistem perairan,” jelas Prof. ROkhmin Dahuri mengutip Parker (1998).

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan peran dan fungsi konvensional akuakultur menyediakan: (1) protein hewani termasuk ikan bersirip, krustasea, moluska, dan beberapa invertebrata; (2) rumput laut; (3) ikan hias dan biota air lainnya; dan (4) perhiasan seperti tiram mutiara dan organisme air lainnya.

Sedangkan peran dan fungsi akuakultur non-konvensional (masa depan): (1) pakan berbasis alga; (2) produk farmasi dan kosmetika dari senyawa bioaktif mikroalga, makroalga (rumput laut), dan organisme akuatik lainnya; (3) bahan baku yang berasal dari biota perairan untuk berbagai jenis industri seperti kertas, film, dan lukisan; (4) biofuel dari mikroalga, makroalga, dan biota air lainnya; (5) wisata berbasis perikanan budidaya; dan (6) penyerap karbon yang mengurangi pemanasan global.

Budidaya ganggang mikro, ganggang makro (rumput laut), tumbuhan air, dan organisme lain yang dapat menyerap CO2 dan Gas Rumah Kaca (GRK) lainnya dapat menjadi penyerap (sequestrian) GRK yang signifikan untuk memitigasi (menghentikan) Iklim Global Perubahan (Pemanasan Global).

“Sektor kelautan dan perikanan telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan Indonesia dimana sejak 2009 hingga saat ini Indonesia telah menjadi penghasil ikan dan hasil perikanan terbesar kedua dunia. “Singkatnya, jika dikelola dengan baik, akuakultur berpotensi menjadi ‘obat mujarab’ bagi begitu banyak masalah dan tantangan pembangunan ekonomi dan peradaban manusia di abad ke-21,” tuturnya.

Mengutip dari Lundin and Zilinskas (1995), menurut Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan definisi Bioteknologi Perairan  adalah teknik penggunaan biota perairan atau bagian dari biota perairan (seperti sel atau enzim) untuk membuat atau memodifikasi produk, memperbaiki kualitas genetik atau fenotip tumbuhan dan hewan, dan mengembangkan (merekayasa) biota perairan untuk keperluan tertentu, termasuk perbaikan lingkungan.

“Kementerian Kelautan dan Perikanan, Republik Korea tahun 2002 dalam Visi Kebijakan Kelautan Korea: Revolusi Biru untuk abad ke 21 menyebut Industri Bioteknologi Kelautan adalah adalah pasar yang besar, sekitar empat kali lipat ukurannya dari pasar industri IT,” ujar Rokhmin Dahuri.

Prof. Rokhmin Dahuri menegaskan karena basis utama dari industri bioteknologi kelautan adalah keaneragaman hayati laut (marine biodiversity), maka Indonesia sebagai negara dengan potensi marine biodiversity terbesar di dunia harusnya menjadi produsen produk industri bioetknologi kelautan terbesar di dunia.

“Saya kira kita bersama-sama teman-teman di KKP harus berkolaborasi untuk mengembangkan (industri bioteknologi kelautan-red) ini,” terangnya.

Domain Industri Bioteknologi Perairan

Prof. Rokhmin Dahuri memaparkan sejumlah domain dari bioteknologi kelautan yakni: 1. Ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota perairan untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kemudian, 2. Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul. 3. Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. 4. Aplikasi Bioteknologi untuk Konservasi.

Adapun permasalahan dan tantangan 4 pembangunan kelautan dan perikanan, Prof. Rokhmin Dahuri menguraikan: 1. Sebagian besar usaha perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan dilakukan secara tradisional (low technology) dan berskala Usaha Kecil dan Mikro.

Sehingga, tingkat pemanfaatan SDI, produktivitas, dan efisiensi usaha perikanan pada umumnya rendah. Nelayan dan pelaku usaha lain miskin, dan kontribusi bagi perekonomian (PDB, nilai ekspor, pajak, PNBP, dan PAD) rendah.

Lalu, 2. Ukuran unit usaha (bisnis) perikanan tangkap, perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, dan perdagangan hasil perikanan sebagian besar tidak memenuhi skala ekonomi (economy of scale) à Sehingga, keuntungan bersih (pendapatan) lebih kecil dari US$ 480 (Rp 7,5 juta)/orang/bulan, alias miskin.

Selanjutnya, 3. Sebagian besar pembudidaya ikan belum menerapkan Best Aquaculture Practices (Cara Budidaya Ikan Terbaik), sehingga sering terjadi serangan wabah penyakit yang menyebabkan gagal panen. 4. Pasokan pakan ikan berkualitas yang selama ini mengandalkan sumber proteinnya dari fishmeal (tepung ikan) semakin terbatas, sehingga mengakibatkan harganya terus naik.

Padahal, sekitar 60% biaya produksi untuk pakan ikan. 5. Sebagian besar usaha perikanan belum dikelola dengan menerapkan Sistem Manajamen Rantai Pasok Terpadu (Integrated Supply Chain Management System), yang meliputi subsistem Produksi – Industri Pasca Panen – Pemasaran. Sehingga, tidak ada kepastian pasar komoditas ikan bagi nelayan dan pembudidaya, kontinuitas pasokan bahan baku bagi industri hilir tidak terjamin, dan risiko usaha menjadi tinggi.

Selanjutnya, 6. Pada umumnya, tingkat pemanfaatan Perikanan Tangkap, Perikanan Budidaya, Bioteknologi Perairan, SD Non-Perikanan, dan jasa-jasa lingkungan kelautan belum optimal (underutilized). 7. Karena cuaca buruk atau musim paceklik ikan, pada umumnya nelayan sekitar 4 bulan tidak melaut, dan menganggur (tidak ada pekerjaan lain).

Akibatnya, banyak yang terjerat utang kepada rentenir dengan bunga sangat tinggi (60%). 8. Posisi nelayan dan pembudidaya ikan dalam Sistem Tata Niaga sangat tidak diuntungkan. Ketika membeli sarana produksi, harganya jauh lebih mahal ketimbang harga di pabrik. Sebaliknya, pada saat mereka menjual ikan hasil tangkapan atau budidaya, harganya jauh lebih murah dari pada harga di konsumen (pasar) terakhir. Ini karena banyakanya pedagang perantara (panjangnya rantai tata niaga), dan mereka mengambil untung besar.

Kemudian, 9. Pada umumnya pemukiman nelayan kurang higienis dan sehat, sehingga para nelayan dan keluarganya rentan terhadap penyakit (ISPA, kulit, dan waterborbe dieases) à menurunkan produktivitas dan meningkatkan pengeluaran rumah tangga. 10. Pada umumnya asupan gizi makanan keluarga nelayan kurang sehat dan kurang berimbang, terlalu banyak nasi dan ikan, tetapi sangat kurang buah dan sayuran.

Prevalensi penyakit gula dan stroke cukup tinggi à menurunkan produktivitas dan menaikkan pengeluaran keluarga (Kemenkes, 2014). 11. Kebanyakan nelayan kurang mampu mengelola keuangan keluarga secara bijakana (“lebih besar pasak dari pada tihang”).

12. Overfishing di beberapa wilayah perairan, sedangkan di sejumlah wilayah perairan lain mengalami underfishing. 13. Pencemaran, degradasi fisik ekosistem (pesisir, danau, dan sungai), dan kerusakan lingkungan lain. 14. Kecelakaan dan perampokan di laut. 15. Dampak negatip Perubahan Iklim Global (seperti peningkatan suhu dan permukaan laut, cuaca ekstrem, pemasaman perairan), tsunami, dan bencana alam lain.

16. Rendahnya akses nelayan dan pembudidaya ikan kepada sumber pemodalan (kredit bank), teknologi, infrastruktur, informasi, dan aset ekonomi produktif lainnya. 17. Kualitas SDM (knowledge, skills, dan etos kerja) nelayan dan pembudidaya ikan pada umumnya masih relatif rendah. 18. Kebijakan politik ekonomi (moneter, fiskal, RTRW, iklim investasi, dan kemudahan berbisnis) kurang kondusif.

Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap

Dalam kesempatan tersebut, Prof Rokhmin Dahuri yang juga sebagai Duta Besar Kehormatan Kepulauan Jeju dan Kota Metropolitan Busan, Korea Selatan itu. menawarkan 14 Kebijakan Pembangunan Perikanan Tangkap untuk mewujudkan Perikanan Tangkap Yang Maju, Mensejahterakan Nelayan dan Berkealanjutan. 

1. Peningkatan produktivitas (CPUE = Catch per Unit of Effort) secara berkelanjutan (sustainable) à Modernisasi teknologi penangkapan ikan (kapal, alat tangkap, dan alat bantu); dan penetapan jumlah kapal ikan yang boleh beroperasi di suatu unit wilayah perairan, sehingga pendapatan nelayan rata-rata lebih dari US$ 480 (Rp 7,5 juta)/nelayan ABK/bulan secara berkelanjutan.

Modernisasi armada kapal ikan tradisional yang ada saat ini, sehingga pendapatan nelayan ABK > US$ 480 (Rp 7,5 juta)/nelayan//bulan. Pengembangan 4.000 kapal ikan nasional modern (> 100 GT) dengan alat tangkap yang efisien dan ramah lingkungan untuk memanfaatkan SDI di wilayah laut 12 mil – 200 mil (ZEEI), dan 1.000 Kapal Ikan Modern dengan ukuran > 200 GT untuk laut lepas > 200 mil ( International Waters atau High Seas).  Kurangi intensitas laju penangkapan di wilayah overfishing, dan tingkatkan laju penangkapan di wilayah underfishing

2. Nelayan harus menangani ikan dari kapal di tengah laut hingga didaratakan di pelabuhan perikanan (pendaratan ikan) dengan cara terbaik (Best Handling Practices), sehingga sampai di darat kualitas ikan tetap baik, dan harga jualnya tinggi à Seperti penggunaan Palkah Berpendingin, Cool Box, RSW, dll. 3. Revitalisasi seluruh pelabuhan perikanan supaya tidak hanya sebagai tambat-labuh kapal ikan, tetapi juga sebagai Kawasan Indsutri Perikanan Terpadu (industri hulu, industri hilir, dan jasa penunjang), dan memenuhi persyaratan sanitasi, higienis serta kualitas dan keamanan pangan (food safety). 4. Untuk jenis-jenis ikan ekonomi penting, harus ditransportasikan dari Pelabuhan Perikanan ke pasar domestik maupun ekspor dengan menerapkan cold chain system.

5. BUMN, KOPERASI atau SWATA menyediakan (menjual) sarana produksi dan perbekalan melaut (kapal ikan, alat tangkap, mesin kapal, BBM, energi terbarukan, beras, dan lainnya) yang berkualitas tinggi, dengan harga relatif murah, dan kuantitas mencukupi untuk nelayan di seluruh wilayah NKRI.

6. Pemerintah menjamin seluruh ikan hasil tangkapan nelayan di seluruh wilayah NKRI dapat dijual dengan harga sesuai ‘’nilai keekonomian” (menguntungkan nelayan, dan tidak memberatkan konsumen dalam negeri).

7. Pada saat nelayan tidak bisa melaut, karena paceklik ikan maupun cuaca buruk (rata-rata 3 – 4 bulan dalam setahun), pemerintah wajib menyediakan mata pencaharian alternatif (perikanan budidaya, pengolahan hasil perikanan, pariwisata bahari, agroindustri, dan potensi ekonomi lokal lainnya) à supaya nelayan tidak terjerat renternir, seperti selama ini.

8. Evaluasi dan perbaikan sistem bagi hasil antara pemilik kapal dengan nelayan ABK supaya lebih adil dan saling menguntungkan. 9. Pemerintah harus menyediakan skim kredit perbankan khusus untuk nelayan, denga bunga relatif murah (3% per tahun) dan persyaratan relatif lunak.

10. Penyediaan asuransi (jiwa maupun usaha) untuk nelayan. 11. Pemberantasan IUU fishing dan destructive fishing. 12. Restorasi dan pemeliharaan lingkungan: pengendalian pencemaran, rehabilitasi hutan mangrove, terumbu karang dan ekosistem pesisir yang rusak, restocking, dan stock enhancement.

13. Mitigasi dan adaptasi terhadap Perubahan Iklim Global, tsunami, dan bencana alam lain: kapal ikan dengan energi surya, dll. 14. Pemerintah harus melaksanakan DIKLATLUH tentang teknologi penangkapan ikan yang efisien dan ramah lingkungan, Best Handling Practices, dan konservasi secara reguler dan berkesinambungan.

Kemudian, Prof. Rokhmin Dahuri menjekaslan Industri Bioteknologi Perairan, antara lain: Pertama, Pengembangan bioprospecting dan ekstraksi senyawa bioaktif (bioactive compounds/natural products) dari biota perairan untuk bahan baku bagi industri nutraseutikal (healthy food & beverages), farmasi, kosmetik, cat film, biofuel, dan beragam industri lainnya.

Kedua, Genetic engineering untuk menghasilkan induk dan benih ikan, udang, kepiting, moluska, rumput laut, tanaman pangan, dan biota lainnya yang unggul: SPF (Specific Pathogen Free), SPR (Specific Pathogen Resistance), dan Cepat Tumbuh (Fast Growing). Ketiga, Rekayasa genetik organisme mikro (bakteri) untuk bioremediasi lingkungan yang tercemar. Keempat, Konservasi: genetik, spesies, dan ekosiste

Adapun, Enabling Factors Untuk Akselerasi 6 Pembangunan Kelautan Dan Perikanan, Prof. Rokhmin Dahuri menjelaskan, antara lain: 1. Kebijakan dan regulasi Pemerintah (Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota) harus kondusif, atraktif, aman, dan kosisten bagi investasi dan bisnis di sektor KP. 2. Ketersediaan infrastruktur KP (Pelabuhan Perikanan, Hatchery, Irigasi Tambak, Kapal Angkut, dll) dan infrastruktur dasar (seperti Jaringan jalan, listrik, telkom dan internet, air bersih, bandara, dan pelabuhan udara).

3. Dukungan fungsi intermediasi perbankan (suku bunga relatif rendah, dan persyaratan relatif lunak seperti di negara-negara lain). 4. Ketersediaan SDM unggul (knowledge, skills, expertise, etos kerja unggul, dan akhlak mulia). 5. Pengembangan kerjasama Penta Helix. 6. Kebijakan politik-ekonomi yang kondusif.

Kerjasama Penta Helix

Pada kesempatan itu, Prof. Rokhmin Dahuri menjabarkan, Penta Helix merupakan sebuah model kerjasama inovatif yang menghubungkan Akademisi, Bisnis (Industri), Komunitas Pemerintah, dan Media Masa untuk menciptakan ekosistem kerjasama berdasarkan pada Kreatifitas, Inovasi IPTEK.

“Sedangkan Struktur Kemitraan Penta Helix, Industri (Swasta), Perguruan Tinggi, Komunitas, Pemerintah, Media Masa,” ujar Anggota Dewan Penasihat Ilmiah Internasional Pusat Pengembangan Pesisir dan Laut, Universitas Bremen, Jerman itu.

Adapun peluang Kerjasama Penta Helix UMC di sektor Industri Pengolahan Dan Pemasaran Hasil Perikanan, yaitu: 1. Tradisional Peningkatan kualitas dan daya saing, antara lain: ikan asap, pindang,  kering (asin dan tawar), fermentasi (peda), terasi, petis, dll;

2. Modern: live fish, fresh fish,  pembekuan, pengalengan, breaded shrimps and fish, produk berbasis surimi,  dll; 3. (product development) dan Penyempurnaan packaging serta distribusi produk;

4. Pemerintah harus memastikan, bahwa setiap unit industri pengolahan hasil perikanan memiliki mitra produsen (nelayan dan /atau pembudidaya); 5. Standardisasi dan sertifikasi; 6. Penguatan dan pengembangan pasar domestik dan ekspor.

Komentar