Minggu, 05 Mei 2024 | 11:44
COMMUNITY

Budayawan: Pemilu Tak Membuat Rakyat Bahagia

Budayawan: Pemilu Tak Membuat Rakyat Bahagia
Diskusi Indonesia Di Persimpangan Sejarah

ASKARA - Di tengah gencarnya kampanye perebutan kekuasaan di Tanah Air apa yang disebut pemilu itu tak membuat rakyat bahagia. Meskipun peristiwa pilpres dan cawapresnya itu kerap diberi merek pesta demokrasi.

Katidakbahagiaan itu disebabkan para calon pemimpin yang sedang mengemis suara kepada rakyat itu bersikap pragmatisme. Seperti jargon politik yang sesungguhnya siapa mendapatkan apa.Tidak ada nilai kebangsaan yang telah dicanangkan oleh para founding parents yang dijadikan rujukan. Nilai-nilai kebangsaan yang adiluhung perlahan pupus oleh nilai kapitalis dan demokrasi yang sangat liberal.

Demikian kutipan yang dipetik dari pandangan perjalanan sejarah Indonesia kiwari dari dua Budayawan Isti Nugroho dan Dr. Dr. Zastrouw Al-Ngatawi dalam Diskusi Kebudayaan Indonesia di Persimpangan Sejarah yang digelar di Warung Apresiasi, Bulungan, Jakarta, Selasa, 27 Desember 2023.

Sebagai moderator Amien Kamil membacakan riwayat hidup dan perjuangan Isti Nugroho dan Dr. Zastrouw Al Ngatawi, dengan cara seperti membaca puisi. Menarik.

Bagi Isti Nugroho, Indonesia bukan lagi ada di persimpangan sejarah tetapi berada dalam lika liku sejarah. Kekacauan sejarah yang kini terjadi sesungguhnya bermula ketika Suharto berkuasa."Suharto mengalihkan pandangan politik bahkan hidup ke Barat. Apa akibatnya Suharto pun tersungkur karena Barat," kata Isti Nugroho yang pernah dipenjara bahkan disiksa hanya karena membaca dan mendiskusikan buku-buku alternatif, seperti Karl Marx dan novel Pramudya Anantatoer.
"Saya hanya diskusi dibawa ke Nusakambangan," imbuh Isti Nugroho.

Harapan kehidupan berbangsa dan bernegara seperti di era orde lama, di mana pikiran para pemimpin Indonesia seperti Sutan Syahrir dan Soekarno menyala memberi jalan terang untuk kehidupan."Di sana adu argumen. Percakapan dan debat dalam rumusan tesa-antitesa-sintesa. Sekarang ini dialektika seperti itu tidak ada lagi.Tidak ada lagi dan tidak dibolehkan lagi adanya jalan alternatif. Kita kini berjalan di atas parit," ungkap Isti Nugroho.

Peristiwa Reformasi yang diharapkan menemukan jalan sejarah yang memiliki nilai-nilai kehidupan keindonesiaan, ternyata hanya melahirkan generasi Z yang pragmatisme hidup aman, cepat dapat, dan hidup enak." Tidak ada pengendapan ideologis seperti Hegel, Adam Smith atau Karl Marx. Maka seratus tahun lagi mungkin saja dalam pandangan bangsa Indonesia tidak ada lagi surga dan neraka," tegas Isti.

Padahal kata dia, sekalipun ajaran Karl Marx sekarang ini dikatakan omong kosong, bila diendapkan dalam pemikiran kita masih relevan. Paling tidak nilai perjuangan kelas dan nilai produksi.

Isti Nugroho yang telah banyak menulis buku bersinggungan dengan kebudayaan dan sosial, berpandangan, Indonesia dalam lika liku sejarah, di mana dalam mengelola negara semau gue, sak karepe dewek. Gak ada dialog dengan publik ketika merancang dan memutuskan sesuatu."Mereka anggap rakyat tidak ada,"tegas dia.

Dr. Zastrouw Al-Ngatawi yang dikenal sebagai budayawan santri itu memiliki pandangan, Indonesia bukan di Persimpangan Sejarah, tetapi telah terjadi penyimpangan sejarah. 

Mantan Asisten pribadi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gusdur yang mempunyai latar belakang pesantren dan sekaligus doktor di bidang sosial itu mengatakan, anak anak sekarang ini telah mengalami buta sejarah. Mereka tidak tahu ada seorang bernama Isti Nugroho pernah dikejar, dipenjarakan bahkan diinjak oleh aparat di masa lalu hanya baca buku kiri, sosialis komunis.

"Jangan jangan mereka juga tidak tahu apa itu PKI. Tidak tahu sejarah perang kemerdekaan, dan apa yang diperjuangkan para pahlawan. Semua sejarah itu tidak menghasilkan uang. untuk apa dopelajari," kata Zastrouw membaca fenomena Indonesia kekinian. Hidup tanpa identitas, hilang terseret pusaran sejarah Indonesia yang mengglobal liberal dan kapitalis.

Ketika seseorang belajar di Arab,  ketika pulang ke Indonesia.merubah sikap kehidupan keseharian seperti orang Arab pakaian gamis, panggilan ibu menjadi umi. Begitu juga pulang belajar dari Eropa berubah gaya hidupnya seperti orang Eropa.

"Orang orang dulu seperti Kyai Hasyim As'ary dan Kyai Ahmad Dahlan tidak menjadi Arab sepulang belajar dari Arab. Bahasa keseharian yang digunakan tetap bahasa Jawa. Begitu juga seperti Mohammad Hatta atau Cipto Mangunkusumo sepulang dari Eropa tidak menjadi orang Eropa," ungkap Zastrouw.

Menurut Zastrouw sudah saatnya kita yang beriak di antara ombak sampah peradaban mengajak generasi muda kembali mengenali bangsanya melalui sejarah. Seperti Isti Nugroho melihat sejarah dari sastra, misalnya. Bisa saja melihat agama dari sejarah agama yang ada di Nusantara. Sehingga anak anak muda tidak tercekoki oleh sampah peradaban seperti khilafah dan syariat yang keliru." Kita kembalikan anak anak muda itu ke khittah kebudayaannya. Beri contohh keteladanan orang orang tua dulu, boleh berbeda pandangan tapi tak lantas bermusuhan.Berkelahi dalam pemikiran telah dicontohkan oleh IJ Kasimo dan Prawoto Gondokusumo. " Ketika lawan politiknya, Prawoto tidak punya rumah. Kasimo menguhubungi teman teman mereka patungan membelikan rumah untuk Prawoto," jelas Zastrouw. Diakuinya sekarang ini sulit mencari sosok ideal untuk dijadikan teladan.

"Sulit mencari sosok dijadikan contoh. Orang menyebutnya kita berada di jaman post truth, melampaui kebenaran.Setan, demit, malaikat. Semuanya mengaku malaikat, walaupun tindakan mereka sesungguhnya seperti setan dan demit," tegas Zastrouw. 

Tak ada tempat kembali selain kepada nilai pancasila sebagai air danau sumber kejernihan. Tempat kita berbasuh, bahkan berbasuh muka."Sebelum membasuh di danau pancasila harus dibersihkan dahulu dari sampah peradaban. Jangan sampai kita membasuh wajah kita dengan air comberan yang kotor oleh sampah peradaban.

Komentar